10 Tahun Reformasi; DPR dan MA Masih Sarang Koruptor

Sejumlah pengamat menilai, selama sepuluh tahun reformasi, masyarakat belum merasakan perubahan positif. Korupsi belum hilang dan sistem ketatanegaraan semrawut.

Sejumlah pengamat menilai, selama sepuluh tahun reformasi, masyarakat belum merasakan perubahan positif. Korupsi belum hilang dan sistem ketatanegaraan semrawut.

Semua instrumen (negara) hanya alat tunggangan para elite, kata pengamat politik ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir, dalam diskusi Refleksi Capaian Reformasi di Hotel Millennium, Jakarta, kemarin.

Menurut Revrisond, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat kerap melanggar konstitusi, tapi tak pernah menerima sanksi. Reformasi, kata dia, gagal membenahi sistem ketatanegaraan. Jabatan publik di sejumlah instansi hanya upaya membagi kekuasaan para elite politik.

Gerakan reformasi ditandai dengan jatuhnya penguasa Orde Baru, Soeharto, dari tampuk kepemimpinan pada 1998. Hasilnya, sejumlah kebijakan baru muncul, seperti otonomi daerah, pemilihan langsung kepala daerah dan presiden, serta pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah.

Dalam bidang ekonomi, kata dia, reformasi gagal menurunkan angka kemiskinan, sedangkan utang negara Rp 1.400 triliun tak terbayar. Sistem perekonomian, ujar dia, Masih kolonial.

Reformasi hukum juga dinilai gagal. Pakar hukum tata negara Denny Indrayana menilai sejumlah kasus suap kerap melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. DPD, yang seharusnya menjadi penyeimbang, kata Denny, justru kewenangannya dipangkas DPR. Kewenangan DPR makin kuat, tapi tak dikontrol, jadinya koruplah, katanya.

Maka, kata dia, hampir semua fungsi di DPR berbau korupsi dan suap. Penyuapan, kata dia, terjadi dalam bentuk jual-beli pasal. Seperti dalam pengalihan fungsi lahan hutan Bintan, katanya.

Sementara itu, Mahkamah Agung, kata Denny, masih rawan korupsi dan suap. Sikap MA menolak diaudit Badan Pemeriksa Keuangan menjadi indikasi. Ia menilai pesimistis kenaikan gaji pegawai menyelesaikan masalah. Korupsi bukan karena desakan kebutuhan, kata dia, Melainkan corruption by greed (kerakusan).

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Baharuddin Aritonang, berpendapat korupsi dan suap marak karena pengelolaan keuangan negara amburadul. Reformasi keuangan negara perlu, katanya. Dwi Riyanto Agustiar

Sumber: Koran Tempo, 15 April 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan