149 Rumah Dinas Kejagung Disalahgunakan
Sebanyak 149 unit rumah dinas/jabatan Kejaksaan Agung, berlokasi di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, ditempati oleh orang yang tidak berhak. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendesak Jaksa Agung mengeluarkan peraturan yang tegas tentang penghunian rumah dinas.
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan BPK dari tanggal 11 April sampai dengan 30 Juni 2005, terhadap Laporan Keuangan Kejaksaan Agung Tahun 2004, ditemukan dari 210 rumah dinas yang ada, 104 ditempati purnawirawan jaksa, 11 unit oleh pejabat yang telah dimutasi ke daerah dan 34 unit dihuni oleh orang lain.
Rumah dinas di Lebak Bulus itu terdiri dari 4 tipe, yakni tipe A diperuntukkan bagi eselon I, tipe B untuk eselon II, tipe C untuk eselon III dan tipe D untuk karyawan Kejaksaan Agung.
Dari dokumen yang diperoleh Media, rumah dinas yang ditempati pihak yang tidak berhak, yakni tipe A dengan jumlah 5 unit, 2 unit ditempati pihak yang tidak berhak dan 3 unit dibiarkan kosong. Rumah tipe B sebanyak 36 unit, 22 unit ditempati purnawirawan jaksa, 10 unit oleh orang lain. Tipe C, dari 46 unit, 26 unit ditempati purnawirawan jaksa, 10 unit orang lain dan 1 unit oleh pejabat yang telah dimutasikan ke daerah. Tipe D, dari 123 unit, 56 unit ditempati purnawirawan jaksa, 14 unit oleh orang lain dan 10 unit oleh karyawan yang telah dimutasi.
Menurut laporan Pejabat Pengelola Barang Investasi, para purnawirawan jaksa dan pejabat yang telah dimutasikan ke daerah itu belum bersedia menyerahkan rumah dinas itu kepada Panitia Perumahan Dinas Kejaksaan Agung. Alasannya karena mereka belum memiliki rumah pribadi. Padahal, pihak Kejaksaan Agung telah mengeluarkan surat teguran No B-1040/C/Cpl/10/1998, tertanggal 20 Oktober 1998 tentang penertiban rumah dinas.
Gugatan perdata
Pada bagian lain, Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM-Datun) akan melancarkan gugatan perdata guna menarik uang pengganti eksekusi hukuman dari para koruptor yang nilainya mencapai Rp1,3 triliun.
''Gugatan tersebut merupakan bagian dari upaya Kejagung menarik dana pengganti dari para koruptor,'' kata JAM-Pidsus Hendarman Supandji saat mendampingi Jaksa Agung dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, akhir pekan lalu.
Berdasarkan audit BPK, eksekusi hukuman uang pengganti sekitar Rp6,6 triliun yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, lebih dari satu tahun belum berhasil ditagih kejaksaan.
Dari Rp6,6 triliun itu, Kejaksaan Negeri di lingkungan Kejaksaan Tinggi seluruh Indonesia berkewajiban menagih sebesar Rp5,3 triliun. Sedangkan eksekusi hukuman uang pengganti dari perkara yang dilimpahkan ke Kejaksaan Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara yang belum ditagih sebesar Rp1,3 triliun.
Berdasarkan dokumen pemeriksaan BPK, kendala yang dihadapi kejaksaan menagih eksekusi hukuman uang pengganti itu karena yang bersangkutan tidak mampu, terpidana melarikan diri, terpidana atau ahli waris tidak diketahui keberadaannya, atau harta yang akan dirampas negara telah dipindahtangankan ke pihak ketiga.
BPK telah menyarankan agar Kejaksaan Agung melaksanakan surat perintah eksekusi untuk menagih uang mengganti dan hasilnya segera dimasukkan ke kas negara. Hil/P-3
Sumber: Media Indonesia, 3 Oktober 2005