1.850 Peraturan Saling Tindih; Reformasi Birokrasi Berjalan Lambat
Saat ini ada 1.850 peraturan yang tumpang tindih dan 388 jenis pelayanan. Pembenahan peraturan dan sumber daya manusia merupakan hal terpenting yang harus diselesaikan dalam reformasi birokrasi.
Ironisnya, reformasi yang harus dilakukan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa itu, selama ini berjalan lambat karena ada pihak menikmati birokrasi yang abu- abu, kata guru besar administrasi negara Universitas Indonesia Eko Prasojo, Senin (23/4).
Secara terpisah, adanya 1.850 peraturan yang tumpang tindih dan 388 jenis pelayanan itu dikemukakan oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi. Dia juga mengakui, kondisi sumber daya manusia yang memprihatinkan.
Satu daerah di Surabaya punya 25.000 pegawai. Padahal, yang dibutuhkan hanya sekitar 6.000 pegawai. Sementara Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, memiliki 20.000 pegawai. Sedangkan penduduknya hanya 200.000, papar Taufiq saat dicegat wartawan di Kantor Kemitraan, Senin siang.
Menteri Komunikasi dan Informatika pernah bertanya kepada saya, apa diperbolehkan meliburkan setengah dari pegawainya, namun mereka tetap mendapatkan gaji? kata Taufiq menambahkan.
Dalam kondisi yang amat memprihatinkan ini, lanjut Taufiq, reformasi birokrasi dimulai. Menurut kami, reformasi harus dimulai dengan perlunya dipenuhi tiga syarat dalam pelayanan publik. Yaitu apa syaratnya, berapa biayanya, dan kapan selesai, tuturnya.
Cara lain, lanjut dia, dengan mengusulkan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan atau Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik.
Tumpang tindih
Pakar politik dari Universitas Gadjah Mada Purwo Santoso menanggapi adanya peraturan yang tumpang tindih dan pelayanan yang bermacam-macam itu. Menurut dia, hal itu muncul karena setiap pihak, terutama di daerah, berebut mendapatkan sumber-sumber pendapatan.
Sekarang ini, tujuan pembuatan aturan atau pelayanan bukan hanya untuk menciptakan ketertiban, namun juga untuk mendapatkan pemasukan, ucap Purwo.
Sementara itu, Eko Prasojo menuturkan, adanya peraturan yang tumpang tindih dan pelayanan yang bermacam-macam menandakan dua hal. Pertama, otonomi daerah yang sekarang berlaku terlalu bebas. Kedua, pemerintah pusat kesulitan mengontrol pemerintah daerah.
Eko juga menyebut, ada dua hal yang menyebabkan reformasi birokrasi selama ini cenderung berjalan lambat. Pertama, reformasi birokrasi bukan isu yang menarik, terutama jika dibandingkan dengan reformasi bidang hukum dan politik.
Sebab kedua karena birokrasi yang abu-abu seperti sekarang amat bermanfaat bagi sejumlah pihak seperti partai politik untuk mendapatkan sumber dana dan menggalang massa.
Menurut Eko, reformasi birokrasi dapat berhasil maksimal jika dijadikan gerakan nasional yang dipimpin langsung oleh Presiden.
Sementara itu, Deputi Humas Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Bambang Anom menuturkan, 1.850 peraturan yang tumpang tindih itu tersebar di tingkat pusat ataupun daerah. Bentuk tumpang tindih ini, misalnya, sebuah perda bertentangan dengan undang-undang, katanya.
Menurut Bambang, saat ini sedang diusahakan harmonisasi berbagai peraturan yang tumpang tindih tersebut. Harmonisasi ini terutama dilakukan dalam peraturan di bidang investasi. Prioritas terhadap investasi ini diambil karena kondisi tersebut diyakini akan menghambat investasi.
Selain harmonisasi peraturan, lanjut Bambang, Kementerian Negara PAN juga membudayakan sistem pelayanan satu atap untuk mempermudah dan memperkecil jenis layanan yang sekarang mencapai 388 buah. (NWO)
Sumber: Kompas, 24 April 2007