313 Kasus Politik Uang Ditemukan dalam Pileg 2014
Pemantauan ICW di 15 provinsi menggambarkan masih maraknya pelanggaran politik uang dalam Pemilu Legislatif 2014. Jumlahnya naik dua kali lipat dibandingkan Pemilu Legislatif 2009.
Berdasarkan wilayah pemantauan, Banten menduduki urutan pertama dengan 36 pelanggaran politik uang. Riau dan Bengkulu menyusul dengan jumlah yang sama, yaitu 33 kasus, diikuti Sumatera Barat dengan 30 kasus, dan Sumatera Utara dengan 29 kasus.
Inilah lima provinsi dengan temuan pelanggaran politik uang terbesar pada Pemilu Legislatif 2014, menurut Peneliti ICW Donal Fariz pada konferensi pers di Jakarta, Senin (21/4).
ICW dan jaringan kerja Lembaga Swadaya Masyarakat memantau pelaksanaan Pemilu Legislatif di Banten, Riau, Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Pemantauan dilakukan sejak 16 Maret 2014 terhitung sejak kampanye terbuka hingga hari-H pencoblosan 9 April 2014.
Dari 313 kasus yang berhasil ditemukan, pemberian uang menempati posisi pertama dengan 104 kasus. Menyusul pemberian barang sebanyak 128 kasus, pemberian jasa 27 kasus, dan penggunaan sumber daya negara sebanyak 54 kasus.
Berdasarkan besaran jumlah uang, terdapat 28 kasus dengan nilai Rp 26 ribu hingga Rp 50 ribu. Menariknya, aku Donal, masih banyak calon legislatif yang memberi duit dengan besaran antara Rp 5 ribu hingga Rp 25 ribu. Besaran duit ini menempati urutan kedua dengan jumlah 24 kasus.
“Harga suaranya murah, dan Ini banyak terjadi di Banten,” kata Donal. Menurut ia, aspek kondisi ekonomi masyarakat turut berpengaruh. Semakin rendah kondisi ekonomi masyarakat, semakin rendah biaya politik yang digelontorkan untuk membeli suara.
Pemberian barang juga tak luput jadi “salam tempel” bagi pemilih. Dari hasil temuan, umumnya barang berbentuk pakaian yang bukan atribut kampanye seperti baju koko dan baju muslim, kebutuhan pokok, dan alat-alat rumah tangga.
Sementara untuk pemberian jasa, ditemukan tujuh kasus hiburan atau pertunjukan, layanan kesehatan, dan janji tentang pemberian uang/ barang.
Penggunaan sumber daya negara seperti pemakaian kendaraan dinas untuk berkampanye dan politisasi birokrasi juga masih marak, dan umumnya dilakukan oleh pejabat petahana dan keluarganya, atau calon yang dekat dengan petahana (incumbent).
Memakai kendaraan dinas untuk kampanye juga punya trik sendiri. Biasanya kandidat akan mengganti nomor polisi mobil dinas tersebut saat kampanye.
Berdasarkan partai politik pelaku pelanggaran politik uang, Partai Golkar menempati urutan pertama dengan 57 kasus, disusul Partai Persatuan Pembangunan dengan 30 kasus. Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat menyeimbangkan kedudukan dengan 25 pelanggaran, sementara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan melanggar dengan 24 kasus. Inilah partai-partai besar yang banyak melakukan politik uang yang berhasil terjaring dalam pemantauan pemilu.
Berdasarkan aktor pelaku politik uang, yang paling banyak melanggar adalah kandidat caleg dengan 170 kasus, disusul tim sukses dengan 107 kasus. Menurut Donal, tergambar dominasi logistik masih dipegang oleh kandidat sendiri.
“Mereka belum percaya sepenuhnya logistik dipegang langsung oleh tim sukses,” ujar Donal. Sebab, ada juga kasus-kasus di mana kandidat caleg telah menyetor uang pada tim sukses, namun tim sukses tidak bekerja, malahan memakan sendiri uang tersebut. Masih ada ketidakpercayaan kandidat pada tim sukses, karena bahaya uang kandidat ditilap tim sendiri.
Berdasarkan tingkat pencalonan, pelanggaran pemilu paling marak terjadi di tingkat Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota dengan 126 kasus. Pada tingkat Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI ditemukan 76 pelanggaran, dan DPRD Provinsi menyumbang 67 kasus. Sementara pada tingkat Dewan Perwakilan Daerah ditemukan delapan kasus.
Hal ini disebabkan bahwa persaingan di wilayah yang sempit dan kandidat yang banyak mendorong maraknya politik uang.
Penerima dalam transaksi politik uang, paling banyak adalah warga dnegan 227 kasus, disusul kandidat caleg sendiri dan simpatisan dengan masing-masing 15 kasus.
Sejak memantau penyelenggaraan pemilu pada Pemilu 1999, 2004, 2009, dan 2014, terjadi lonjakan parah dalam pelanggaran politik uang. Pada Pemilu 2009 lalu, ditemukan 150 kasus pelanggaran politik uang, dan pada tahun ini, jumlahnya naik dua kali lipat yaitu 313 kasus.
Hasil pemantauan ini menunjukkan praktek politik uang masih marak terjadi dalam pemilu legislatif tahun ini dengan modus pemberian “prabayar”, yaitu sebelum hari-H pencoblosan berlangsung, dan “pasca bayar”, di mana transaksi berlangsung setelah Pemilu rampung digelar. Rencananya, seluruh temuan pelanggaran ini akan diserahkan pada Badan Pengawas Pemilu untuk ditindaklanjuti.
Melihat peningkatan pelanggaran dalam pemilu legislatif semakin masif, Peneliti ICW Abdullah Dahlan menilai demokrasi di tanah air masih terbajak politik jual-beli negatif.
“Ini bahaya dalam kultur demokrasi yang lagi kita bangun,” ujar Abdullah.
Menurutnya, selain dipengaruhi Pemilu umum di Indonesia yang menganut sistem proporsional terbuka, politik uang juga terjadi akibat kinerja dan infrastruktur partai masih buruk.
Akibatnya, modal sangat menentukan keterpilihan, ditambah lagi penegakan hukum kepolisian yang lemah dan pengawasan Badan Pengawas Pemilu yang tak terasa “menggigit”. Semua faktor ini, menurut Abdullah, menyumbang pada kerusakan pemilu di Indonesia.
Unduh Temuan Pemantauan Politik Uang pada Pemilu Legislatif 2014 di sini.