5 ALASAN MENGAPA HARUS TOLAK REVISI UU KPK
Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly pada (Jum’at 27/11) lalu akhirnya menyetujui Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) menjadi prioritas yang harus diselesaikan pada tahun 2015. DPR beralasan Revisi UU KPK penting dilakukan untuk menyempurnakan kelembagaan KPK.
Upaya ngotot untuk membahas RUU KPK bukan baru kali ini terjadi. Upaya yang sama pernah dilakukan pada Juni 2015 dan Oktober 2015, dimana sejumlah politisi gencar menekan pemerintah agar segera menyelesaikan RUU KPK. Maju mundurnya sikap pemerintah - yang semula sebagai pengusul RUU KPK – membuat kesal banyak politisi, hingga akhirnya DPR mengambil alih dengan menjadikan RUU KPK sebagai inisiatif DPR.
Pemerintah sendiri juga tidak bersikap tegas menolak pembahasan RUU KPK atau mengeluarkan rancangan ini dari Prolegnas 2014-2019. Terakhir, Luhut Panjaitan, selaku Menkopolhukham, malah setuju dengan Revisi UU KPK meskipun terbatas pada 4 (empat) isu krusial yaitu Dewan Pengawas KPK, pengangkatan penyelidik/penyidik internal, kewenangan penghentian penyidikan, dan pengaturan mengenai penyadapan. Pemerintah juga mengklaim bahwa ide tersebut sejalan dengan pimpinan KPK. Pemerintah dan KPK menyatakan jika ternyata ada penyimpangan dari empat point tersebut, maka kedua institusi ini menegaskan akan mundur dari pembahasan.
Rencana Pemerintah dan DPR untuk membahas Revisi UU KPK dan menyelesaikan pada tahun 2015 harus ditolak dengan sejumlah alasan.
Pertama, substansi RUU KPK versi DPR melemahkan posisi KPK. Beberapa bentuk pelemahan tersebut di antaranya adalah, hapusnya kewenangan penuntutan KPK, pembatasan masa kerja KPK hanya 12 tahun, KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan kerugian negara Rp 50 miliar ke atas, KPK harus mendapatkan izin ketua pengadilan negeri untuk melakukan penyadapan terhadap target pelaku terduga koruptor.
Kedua, percepatan RUU KPK dicurigai karena barter dengan regulasi lain. Salah satu regulasi yang masuk daftar prioritas oleh Pemerintah dan DPR RI adalah RUU KUHP. Namun, proses pembahasan RUU KUHP sendiri masih pada pembahasan awal dan jauh dari kata selesai. Muncul kecurigaan publik bahwa masuknya RUU KPK yang menjadi inisiatif DPR pada penghukung 2015 ini adalah karena pertukaran kepentingan (barter) dengan RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang merupakan usul inisiatif pemerintah.
Ketiga, pembahasan di DPR sangat mungkin tidak terkontrol atau menjadi bola liar. Meski Pemerintah dan DPR setuju Revisi UU KPK terbatas hanya empat isu tersebut, namun DPR melalui Firman Soebagyo, Wakil Ketua Baleg menyatakan tidak bisa memastikan bahwa pembahasan RUU KPK hanya akan mengakomodasi usul KPK. Artinya sangat mungkin isu krusial lain akan dibahas bahkan disahkan oleh DPR.
Tahun 2015 akan berakhir dalam hitungan hari. Artinya, dengan waktu yang mepet akan menjadikan proses pembahasan menjadi terburu-buru, tidak logis dan asal jadi. Kondisi demikian hanya menjadikan DPR akan menjadi tukang stempel terhadap subtansi RUU KPK.
Keempat, pengusulan RUU KPK tanpa disertai dengan Naskah Akademik. Padahal Pasal 43 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mewajibkan adanya Naskah Akademik dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya Naskah Akademik, maka proses legislasi RUU KPK dapat dikatakan cacat prosedural dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Kelima, Revisi UU KPK dicurigai merupakan agenda atau upaya balas dendam dari pihak-pihak yang terganggu dengan kerja KPK memberantas korupsi. Bahkan, banyak pihak menduga bahwa usulan Revisi UU KPK merupakan titipan para koruptor atau pihak-pihak yang berpotensi menjadi tersangka KPK. Bukan rahasia bahwa banyak politisi di DPR tidak menyukai keberadaan KPK. Dalam catatan ICW, terdapat sedikitnya 82 politisi dari berbagai Partai Politik yang dijerat oleh KPK.
Rencana DPR dan Pemerintah untuk melanjutkan Revisi UU KPK terhadap KPK perlu dilawan. Jika KPK berhasil dilemahkan, maka akan menjadi malapetaka bagi upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Koruptor akan kembali berjaya dan negeri ini akan bertambah sengsara.
Oleh karena itu seluruh pihak perlu menolak rencana melemahkan KPK melalui revisi UU KPK ini.
Jakarta, 3 Desember 2015
Lalola Easter
Peneliti Hukum ICW
HP 081290112168