520 Rumah Sakit Belum Terakreditasi
Salah satu persoalan yang harus dibenahi rumah sakit di Indonesia adalah akreditasi. Persoalan itu menjadi hal krusial yang diamanatkan UU rumah sakit. Karena itu, akreditasi menjadi salah satu perhatian Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi). Sebab, masih ada 40 persen dari sekitar 1.300 rumah sakit di Indonesia yang belum terakreditasi.
Ketua Persi Dr Sutoto MKes mengatakan, proses akreditasi rumah sakit di Indonesia saat ini masih berlangsung. Tapi, dengan adanya UU rumah sakit, hal itu menjadi kewajiban. "Sekarang ini baru 60 persen RS yang sudah terakreditasi, masih ada 520 yang belum. Ini harus kita dorong dan support agar segera terakreditasi," terangnya.
Persi terus menyosialisasikan persoalan akreditasi dan memberikan masukan kepada Depkes untuk menyusun permenkes yang mengatur persoalan tersebut.
Sutoto menjelaskan, UU rumah sakit membutuhkan 28 instrumen penunjuang. Misalnya, PP, keppres, permenkes, peraturan menteri, dan perda kabupaten/kota, serta provinsi. "Nah, peraturan penunjang itu yang banyak. Isi perda di tiap kabupaten/kota tak boleh berbeda dengan PP. RS harus terakreditasi," jelasnya.
Dia menjelaskan, akreditasi bisa dilakukan lembaga independen, baik nasional maupun internasional. Depkes sendiri berperan sebagai regulator yang menentukan lembaga mana yang melakukan akreditasi dan mengawasi pelaksanaannya. Dengan mewajibkan rumah sakit mengantongi akreditasi, mereka diharapkan terpacu untuk memperbaiki kualitas pelayanan.
Ada sekitar 16 penilaian yang harus dipenuhi rumah sakit agar terakreditasi. Misalnya, kualitas pelayanan, manajemen rumah sakit, SDM (dokter, perawat, hingga cleaning service), standar pengobatan, maupun fasilitas pelayanan. Komunikasi yang baik antara dokter dan pasien juga menjadi salah satu indikator yang diperhatikan.
Komunikasi membawa dampak luar biasa bagi pelayanan kesehatan. Termasuk di dalamnya patient safety atau keselamatan pasien. "Apakah RS sudah menjalankan program keselamatan pasien. Selain itu, apakah ada dokter penanggung jawab pelayanan," ujarnya. Sebab, kalau pasien tidak memiliki dokter penanggung jawab pelayanan, mereka bisa mendapat obat dari banyak dokter. Dokter juga harus menerangkan perencanaan pengobatan yang dilakukan kepada pasien.
Dirjen Pelayanan Bina Medik Depkes Farid Husein menambahkan, proses akreditasi saat ini tidak dilakukan per bagian. Sebelumnya, akreditasi dilakukan per bagian. Misalnya, unit gawat darurat (UGD) terlebih dahulu. "Kita adopsi dari akreditasi internasional supaya nanti SDM kita bisa bekerja di internasional dan cepat menyesuaikan diri," ujarnya. Farid mengatakan, jika RS di Indonesia sudah terakreditasi, kepercayaan asuransi luar negeri untuk bekerja sama dengan RS Indonesia akan tinggi.
Depkes meminta dinkes kabupaten/kota mengawasi pelayanan rumah sakit di daerahnya yang tengah mengajukan akreditasi. "Harus dipantau apakah pelayanannya sudah memenuhi atau tidak," ujarnya.
Pelayanan RS Mengecewakan
Pelayanan di bidang kesehatan masih menjadi problem mendasar yang dikeluhkan sebagian besar masyarakat. Setidaknya, kesimpulan itu diperoleh melalui survei Citizen Report Card (CRC) Indonesia Corruption Watch (ICW) pada November 2009 terkait pelayanan kesehatan. Hasilnya, rumah sakit pemerintah dan swasta belum ramah terhadap pasien, terutama yang miskin.
Menurut Koordinator Divisi Monitoring Publik ICW Ade Irawan, hal itu terbukti dengan banyaknya keluhan pasien miskin terhadap pelayanan rumah sakit. Keluhan tersebut, antara lain, terkait dengan buruknya pelayanan perawat, sedikitnya kunjungan dokter pada pasien rawat inap, serta lamanya waktu pelayanan oleh tenaga kesehatan. Baik apoteker maupun petugas laboratorium. ''Selain itu, pasien mengeluhkan rumitnya pengurusan administrasi serta mahalnya harga obat,'' jelas Ade kemarin (20/12).
Survei ICW mengambil sampel 738 pasien miskin yang terdiri atas pasien rawat inap dan rawat jalan. Mereka adalah pemegang kartu jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas), keluarga miskin (gakin), dan surat keterangan tidak mampu (SKTM)) di lima daerah. Yaitu, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Total ada 23 rumah sakit yang disurvei.
Lebih lanjut, Ade menjelaskan, 28,4 persen pasien miskin menyatakan, pengurusan administrasi rumah sakit masih rumit dan berbelit-belit. Sekitar 46,9 persen mengeluhkan antrean panjang. Pasien rawat inap juga mengeluhkan ihwal rendahnya kunjungan dan disiplin dokter terhadap pasien. Sementara itu, 65,4 persen pasien perempuan rawat inap mengeluh kurang ramahnya sikap perawat terhadap mereka.
Itu baru masalah pelayanan. Peneliti senior ICW Febri Hendri menyebut, sekitar 10,2 persen pasien miskin menyatakan pernah diminta uang muka oleh pihak rumah sakit. Uang itu merupakan syarat untuk mendapatkan pelayanan. Besarnya uang muka rata-rata Rp 794 ribu. Tak urung, kata Febri, penetapan uang muka tersebut menjadi salah satu faktor penghambat warga miskin memperoleh pelayanan kesehatan.
Di samping itu, sekitar 12,8 persen pasien miskin mengatakan pernah ditolak rumah sakit. ''Salah satu alasannya, pihak rumah sakit menetapkan uang muka sebagai syarat kelengkapan administrasi,'' jelasnya.
Pasien rawat inap juga mengeluh lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengurus administrasi. Satu pasien sekitar 1 jam 45 menit. ''Hal itu kerap memaksa sebagian pasien untuk menggunakan jasa pihak ketiga atau calo,'' ungkapnya.
Peneliti Korupsi Kesehatan Ratna Kusumaningsih mengungkapkan, hasil survei CRC juga menunjukkan, ada 22,1 persen pasien miskin pemegang kartu jamkesmas yang harus membeli obat. Sebab, sebagian obat tidak masuk list yang dijamin oleh jaminan kesehatan dan habisnya stok obat rumah sakit. Obat tersebut dibeli dengan harga yang relatif tinggi. Hal itu terjadi lantaran dokter tidak memberikan resep obat generik kepada pasien miskin. Biaya yang harus dikeluarkan pasien untuk membeli obat sekitar Rp 400 ribu-Rp 500 ribu.
Ratna menambahkan, meski telah mendapatkan layanan rumah sakit, masih ada pasien miskin yang menghadapi kendala untuk mendapatkan kartu jaminan kesehatan. ''Itu terjadi karena rumitnya persyaratan administrasi dan adanya berbagai pungutan untuk mendapatkan keringanan atau berobat gratis,'' terangnya.
Dia menyebut, di antara 738 pasien miskin, sekitar 7,9 persen mengatakan dipungut biaya untuk mendapatkan kartu jaminan kesehatan. Besarnya biaya cukup beragam. bergantung jenis kartu. Pasien jamkesmas mengeluarkan biaya rata-rata Rp 345 ribu, pasien gakin Rp 101 ribu, dan pasien SKTM Rp 89 ribu.
Karena itu, kata Ratna, ICW merekomendasikan beberapa hal. Pertama, RS hendaknya meningkatkan kualitas pelayanan terhadap pasien miskin. Terutama, meningkatkan kunjungan dokter, keramahan perawat, dan kecepatan pelayanan kesehatan. Kedua, menyampaikan informasi tentang hak-hak pasien. Terutama, terkait standar pelayanan rumah sakit. Ketiga, membuka mekanisme keluhan atau pengaduan.
ICW juga meminta Menkes segera membentuk Badan Pengawas Rumah Sakit seperti diatur dalam UU Rumah Sakit. ''Badan ini diharapkan mampu mengawasi pelayanan rumah sakit dan pemenuhan hak-hak pasien,'' ujarnya. Selain itu, meminta Menkes memberikan sanksi administratif kepada RS yang memberikan pelayanan buruk terhadap pasien miskin. ''Entah itu berupa peringatan tertulis, pencabutan izin sementara atau izin tetap,'' imbaunya. (kit/oki)
Sumber: Jawa Pos, 21 Desember 2009