7 AGENDA UNTUK KABARESKRIM BARU
Pernyataan Pers Indonesia Corruption Watch
- Penggantian Buwas sudah tepat untuk mengembalikan citra Polri dan Pemerintah
dan Kabareskrim baru harus tetap fokus dalam upaya pemberantasan korupsi -
Kontroversi seputar nasib Komjen Pol Budi Waseso, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim Polri) Kepolisian Republik Indonesia akhirnya berakhir setelah secara resmi Markas Besar (Mabes Polri) pada 3 September 2015 lalu melakukan rotasi jabatan pada tingkat perwira tinggi. Budi Waseso atau yang biasa disingkat Buwas yang sebelumnya menjabat Kabareskrim dipindah-tugaskan menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), menggantikan Komjen Pol Anang Iskandar. Sebaliknya, Anang Iskandar didapuk sebagai Kabareskrim Polri yang baru.
Isu mengenai pergantian atau pencopotan Buwas sebagai Kabareskrim sudah santer sejak beberapa hari lalu, dan memunculkan berbagai macam usaha yang terkesan ingin menggagalkan rencana pencopotan Buwas. Tak kurang, partai pendukung Jokowi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) secara resmi melakukan penolakan keras atas rencana pergantian Buwas sebagai Kabareskrim. Sementara terdapat elemen lain yang mengklaim sebagai organ mahasiswa menyayangkan usaha pencopotan Buwas karena dianggap sosok ini adalah pribadi yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia dalam usaha memberantas korupsi. Buwas menurut mereka tersandung oleh kekuatan politik yang tidak ingin sepak terjangnya dalam memberantas korupsi, khususnya dalam kasus mobil crane di Pelindo II.
Namun, argumentasi bahwa Buwas diberhentikan karena melakukan pemberantasan korupsi, bisa mendelegitimasi dengan fakta bahwa :
1. Buwas sebagai penyelenggara hingga hari ini tidak mau melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Hal ini bertentangan dengan UU 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Pasal 5 poin 3 yang menyatakan bahwa setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Buwas malah meminta KPK untuk menelusuri harta kekayaannya. Patut dipertanyakan komitmennya dalam pemberantasan korupsi jika ia tidak mau melaporkan LHKPN nya.
2. Pemberantasan korupsi oleh Bareskrim, memang sudah bekerja sejak dahulu. Bahkan di era Kabareskrim sebelumnya (Suhardi Alius), pemberantasan korupsi sudah berjalan. Sejak diangkat 24 November 2013 hingga akhir tahun 2014, tidak sedikit Kepala Daerah yang diproses oleh kepolisian dibawah kepemimpinan Suhardi Alius. Misal seperti Mantan Bupati Merauke, Johanes Gluba Gebze, Bupati Maybrat Papua, Bernard Sagrim dan Bupati Rembang, M Salin.
3. Peran pemberantasan korupsi di Bareskrim bukan tunggal oleh Budi Waseso. Melainkan ada pada Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dirtipikor) Mabes Polri. Seperti kita ketahui, Dirtipikor Mabes Polri masih diisi oleh Penyidik atau anggota kepolisian yang sebelumnya bertugas di KPK. Jantung pemberantasan korupsi di Kepolisian ada disana. Mereka juga bekerja mensupervisi kerja – kerja kepolisian di bidang pemberantasan korupsi mulai dari Polda hingga sampai ke tingkat Polres.
4. Data tren korupsi semester 1 tahun 2015 (Januari – Juni) ICW, hanya teridentifikasi 4 kasus yang ditangani Bareskrim dan naik ke penyidikan. Pertama, dugaan korupsi pengadaan pematangan lahan 2009 seluas 375.000 m3 dan peningkatan landas pacu 75.000 m2 tahun 2010. Kedua, dugaan korupsi penjualan kondensat. Ketiga, dugaan korupsi dalam implementasi atau pelaksanaan payment gateway di Kemenkumham. Dan keempat, dugaan kasus korupsi proyek pengadaan 49 paket UPS pada Suku Dinas Pendidikan Menengah Jakarta Barat dan Jakarta Pusat
5. Pertanyaan kunci justru perlu diajukan : di era Budi Waseso menjabat manakah kasus korupsi di Bareskrim yang selesai atau sekurangnya telah diproses hingga ke pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap? Kami tidak menemukan kasus korupsi tersebut.
Indonesia Corruption Watch (ICW) sendiri dalam posisi mengamini atau sudah tepat pergantian Budi Waseso karena selama ini sepak terjangnya dalam melakukan upaya ‘penegakan hukum’ justru melahirkan kontroversi. Ada kecenderungan bahwa kasus-kasus tertentu yang dibidik Bareskrim Polri terkait dengan berbagai pihak yang selama ini dianggap berdosa dan ikut serta dalam membatalkan pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Setidaknya ada beberapa kasus yang dianggap sebagai kriminalisasi dengan tujuan untuk membungkam gerakan antikorupsi, terutama yang diusung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pertama, proses pidana yang ditujukan kepada Bambang Widjojanto dan Abraham Samad (Pimpinan KPK Non aktif), yang kemudian melahirkan kembali Cicak versus Buaya jilid III. Kedua, kasus yang melibatkan penyidik KPK Novel Baswedan. Ketiga, dugaan korupsi yang menjerat Deny Indrayana, salah satu supporter KPK yang sangat vokal. Keempat, kasus pencemaran nama baik dua komisioner Komisi Yudisial yaitu Suparman Marzuki dan Taufiqurahman.
Beredar informasi pula bahwa sebenarnya ada kasus-kasus lain yang sedang digodok oleh oknum tertentu dengan target dan sasaran adalah anggota Ombudsman Republik Indonesia dan Komnas HAM. Sementara Pimpinan KPK lain seperti Johan Budi, Adnan Pandu dan Zulkarnaen disebut-sebut masuk dalam daftar tunggu proses hukum karena laporan tindak pidana yang dianggap melibatkan mereka sudah masuk ke Bareskrim. Selama Buwas menjabat sebagai Kabareskrim Polri, institusi korps Bhayangkara justru mendapatkan kesan atau citra negatif dimata publik karena dinilai melemahkan KPK dan agenda pemberantasan korupsi.
Meskipun pada saat yang sama, Buwas melakukan langkah-langkah pengungkapan kasus korupsi, seperti pengambil-alihan kasus dugaan korupsi pengadaan UPS di Pemda DKI Jakarta, kasus TPPI, kasus Pertamina Foundation, dan kasus Pelindo II, akan tetapi proses hukum yang dilakukan cenderung jalan ditempat. Hampir semua kasus yang menimbulkan kegaduhan tersebut hanya berhenti pada penetapan sebagai tersangka. Faktor inilah yang menimbulkan kecurigaan bahwa tujuan penegakan hukum yang dilakukan bermotifkan hal lain diluar hukum, semisal menjegal seseorang untuk bisa kembali menjadi pejabat publik.
Pada Era Buwas, kinerja Polri dalam upaya penegakan hukum menjadi tidak produktif dan dipertanyakan karena sejumlah tindakan yang tidak profesional dan kontroversial yang dilakukan oleh Buwas. Termasuk juga tekanan publik yang terus menerus agar Buwas dicopot sebagai Kabareskrim.
Oleh karena itu, dengan dicopotnya Budi Waseso sebagai Kabareskrim, Kami merekomendasikan sedikitnya 7 agenda atau pekerjaan rumah besar yang harus dilakukan sebagai prioritas oleh Komjen Pol Anang Iskandar selaku Kabareskrim baru, yakni:
1. Melakukan Gelar Perkara Khusus terhadap perkara kontroversial yang ditangani Bareskrimsebelumnya seperti kasus yang melibatkan Pimpinan KPK non aktif Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, Penyidik KPK Novel baswedan, mantan Wakil Menteri Hukum dan Ham Denny Indrayana serta dua Komisioner Komisi Yudisial, Suparman Marzuki dan Taufiqurahman. Bareskrim sebaiknya menghentikan proses penyidikan (SP3) terhadap kasus-kasus tidak wajar tersebut.
2. Fokus untuk menangani kasus pidana yang berskala besar dan menarikan perhatian publik, bukan justru menangani kasus – kasus sederhana seperti laporan pencemaran nama baik.
3. Memperbaiki koordinasi penegakan hukum yang baik dengan aparat penegak hukum atau lembaga lainnya untuk memaksimalkan agenda pemberantasan korupsi, sekaligus dalam penanganankasus dugaan korupsi seperti Pelindo II, TPPI, Pertamina Foundation dan Pengadaan UPS di DKI Jakarta.
4. Memperkuat supervisi dengan jajaran direktorat atau unit tindak pidana korupsi pada tingkatPolda dan Polres dalam penangan kasus korupsi di daerah.
5. Memperkuat Direktorat Tipikor Mabes Polri sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di Kepolisian.
6. Mengembalikan wibawa dan kepercayaan publik terhadap Kepolisian dengan tidak bertindak arogan yang mengatasnamakan penegakan hukum.
7. Menghentikan segala macam tindakan yang bertentangan dengan kebijakan Presiden Republik Indonesia sebagai pimpinan tertinggi negara.
Jakarta, 6 September 2015
Indonesia Corruption Watch