8 Resiko Pelonggaran Pemberian Remisi
8 Resiko Pelonggaran Pemberian Remisi
Rencana Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Laoly merevisi PP No
99 Tahun 2012 dinilai sebagai upaya pelonggaran pemberian remisi kepada
koruptor. Dalam hal ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) memiliki
delapan catatan kritis jika pelonggaran remisi dilakukan.
Dalam Konferensi Pers yang berlangsung di Kantor ICW, Selasa (24/3/2015)
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Yuntho
menjelaskan, pemberian remisi merupakan hak setiap narapidana. Namun,
pemberian remisi juga harus mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 28
Tahun 2006 yang berkaitan dengan syarat dan tata cara pelaksanaan hak
warga binaan pemasyarakatan. Dalam hal ini, PP No 99 Tahun 2012
memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana
korupsi, terorisme, dan narkoba.
"Rencana meninjau kembali PP ini mengundang pertanyaaan besar terkait
komitmen pemerintahan Jokowi dan JK, dalam pemberantasan korupsi." kata
Emerson.
Pria yang akrab disapa Eson menjelaskan, pertama, pelonggaran remisi
bertentangan dengan program Nawacita Jokowi JK. Pada angka 11 huruf a
tegas menyebutkan, "Kami berkomitmen untuk membangun politik legilasi
yang jelas, terbuka dan berpihak pada pemberantasan korupsi".
Kedua, bertentangan dengan strategi nasional pemberantasan korupsi.
Dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2012 tentang nasional pencegahan dan
pemberantasan korupsi, telah mengamanatkan untuk melakukan pengetatan
pemberian remisi kepada terpidana korupsi. Selain itu Instruksi Presiden
(Inpers) No 1 Tahun 2013 tentang aksi nasional pencegahan korupsi juga
mengamanatkan hal yang sama. Dengan regulasi yang ada, seharusnya bisa
menjadi pijakan Menkum HAM untuk membatalkan niat memperluas pintu
remisi bagi koruptor.
Ketiga, jika alasan pelonggaran ini adalah koruptor memiliki hak yang
sama terhadap terpidana lainnya sehingga remisi patut diberikan,
sebaiknya Menkum HAM mencermati putusan Mahkamah Agung (MA) No 51
P/HUM/2013 yang telah memberikan legitimasi atas pelaksanaan PP No 99/2012.
"Pak Menteri tidak bisa menggunakan alasan kemanusian. Menkum HAM harap
membaca kembali keputusan dari MA,” ujarnya.
Keempat, negara telah sepakat bahwa korupsi merupakan kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime). Hal ini jelas dalam UU No 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kelima, Menkum HAM seyogyanya mendengar keinginan publik agar koruptor
tidak diberikan remisi dan tidak berseberangan dengan cita-cita Jokowi
sebagai Presiden pilihan rakyat.
Keenam, dari 395 perkara korupsi dengan 479 terdakwa, 372 terdakwa atau
77,6% divonis hanya 4 tahun. Sedangkan rata-rata vonis yang dijatuhkan
kepada koruptor hanya 32 bulan atau 2 tahun 8 bulan. Minimnya masa
hukuman bagi koruptor tidak memberikan efek jera. Keadaan akan lebih
buruk saat pelonggaran remisi diberikan.
Ketujuh, pelonggaran pemberian remisi berpotensi menghapus sejumlah
syarat pemberian remisi yang diatur dalam UU No 99/2012. Salah satunya
syarat berkelakuan baik yang belum jelas tolak ukurnya.
Delapan, pelonggaran pemberian remisi merupakan upaya pelemahan KPK atas
poksinya sebagai lembaga pemberantasan korupsi di mana KPK bisa
dipastikan sebagai pihak yang akan dirugikan. Data ICW di era
pemerintahan SBY 2004- 2014 saja menunjukkan sedikitnya sudah 42
terpidana korupsi. 35 di antaranya yang kasusnya ditangani oleh KPK
mendapatkan remisi dan akhirnya dapatkan pembebasan bersyarat dari
Kementrian Hukum dan HAM.
Oleh sebab itu, tegas Emerson, keputusan Menkum HAM berikan kelonggaran
remisi patut dipertanyakan, apakah ini merupakan keputusan pribadi,
ataukah ada tendensi dari pihak-pihak tertentu. Dengan latar belakangnya
sebagai anggota partai yang kadernya telah banyak ditetapkan tersangka
oleh KPK.
“Sebaiknya Menkum HAM membatalkan pelonggaran pemberian remisi, jelas
hal tersebut mencederai semangat pemberantasan korupsi,” tegas Emerson