Abdul Hakim Ritonga Membantah Ada Rekayasa Kasus Chandra dan Bibit
Diminta Jaksa Agung Terima Ekspose Kasus Chandra-Bibit
Dugaan adanya rekayasa kasus yang melibatkan dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra M. Hamzah dan Bibit S. Riyanto, terus memanas. Kali ini, Kejaksaan Agung mengklarifikasi dugaan rekayasa yang diduga melibatkan pejabat dan mantan pejabat di Korps Adhyaksa itu.
Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga membantah telah ada rekayasa kasus yang ditangani Mabes Polri tersebut. ''Saya tidak merekayasa, tapi melakukan prosedur penyelesaian perkara sesuai ketentuan perundang-undangan,'' katanya di Kejagung kemarin (27/10).
Dalam memberi keterangan tersebut, Ritonga didampingi Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intelijen) Iskamto dan Kapuspenkum Kejagung Didiek Darmanto. Ritonga mengungkapkan, pernyataannya itu sesuai jawabannya saat dipanggil Jaksa Agung Hendarman Supandji, Senin (26/10).
Dia lantas menguraikan tentang awal mula penyidikan kasus Bibit-Chandra oleh Mabes Polri. Ketika itu, Ritonga yang masih menjabat jaksa agung muda pidana umum (JAM Pidum) diminta jaksa agung menerima ekspose (gelar perkara) kasus pemerasan dan penyalahgunaan wewenang aparat KPK.
Selain Ritonga, JAM Pidsus Marwan Effendy diperintah mengikuti ekspose itu. ''Yang langsung ekspose adalah Kabareskrim (Komjen Pol Susno Duadji). Tidak tanggung-tanggung,'' ungkapnya. Dalam paparan ekspose, perbuatan yang disangkakan adalah penyalahgunaan wewenang, pemerasan, penggelapan, dan penipuan.
Ritonga lantas menanggapi paparan itu. Menurut mantan kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sulsel tersebut, ekspose tidak terkait dengan unsur tindak pidana umum sesuai bidang yang dipimpinnya kala itu. ''Yang terpikir dalam undangan (ekspose) adalah sehubungan pembunuhan Nasrudin. Makanya, saya tolak (ekspose),'' ungkapnya.
Setelah Ritonga, giliran Marwan Effendy memberi pendapat. Menurut dia, perbuatan yang disangkakan terkait dengan pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tipikor. ''Itu (terkait) pidsus (pidana khusus),'' terang Ritonga.
Setelah itu, perkara berlanjut ke penyidikan dan konsultasi dengan jajaran JAM Pidsus. ''Kasus ini adalah kasus pidsus, koordinasi bukan dengan pidum,'' tegas Ritonga.
Lantas, bagaimana dengan transkip pembicaraan yang menyebut-nyebut nama Ritonga? Dia menolak menanggapi. Alasannya, sumber transkrip tersebut belum jelas. ''Barangnya (rekaman, Red) belum jelas. Apa yang kita tanggapi sekarang?'' kelitnya. Dia juga merasa tidak perlu meminta rekaman tersebut ke KPK.
Saat disampaikan kemungkinan KPK membuka rekaman tersebut, Ritonga masih irit komentar. Namun, dia justru mengungkapkan, syarat untuk merekam atau menyadap oleh KPK adalah terkait dengan perkara korupsi. ''Kalau tidak menyangkut (perkara korupsi), tentu akan ada reaksi hukum,'' ujarnya.
Apakah mengenal Anggoro Widjojo (bos PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo)? Ritonga mengaku tidak mengenal. Namun, dia tahu dengan adik Anggoro, Anggodo. ''Seperti kata Pak Wisnu (mantan JAM Intelijen), semua orang kenal (Anggodo),'' katanya.
Jaksa Agung Hendarman Supandji yang ditemui sebelumnya menyatakan, berdasar keterangan Ritonga, yang dilakukan adalah terkait dengan tugas jaksa yang memberi petunjuk kepada penyidik.
Dia menegaskan hingga kemarin belum mengetahui dan mendengar langsung adanya rekaman yang disebut-sebut melibatkan pejabat Kejagung itu. ''Sekarang masalah tersebut benar atau tidak? Sumbernya dari mana? Saya tanya dulu buktinya mana?'' ujarnya tentang langkah yang akan diambil.
Di tempat terpisah, mantan JAM Intelijen Wisnu Subroto yang disebut-sebut dalam transkrip rekaman dugaan rekayasa kasus Chandra-Bibit mengaku mengenal Anggodo Widjojo. Dia mengenal Anggodo sejak dua tahun lalu. ''Saya kenal Anggodo itu saat beli parket (lantai kayu),'' jelas Wisnu ketika dihubungi Jawa Pos kemarin. Kebetulan, Anggodo memiliki bisnis di bidang itu serta menekuni ekspor kayu jati.
Wisnu juga mengungkapkan bahwa keduanya sama-sama berasal dari Surabaya. Beberapa tahun lalu, Wisnu bertugas di Kejari Surabaya dan Anggodo tinggal di kota yang sama. Dia membantah keras disebut-sebut berada di balik dugaan rekayasa kasus tersebut.
''Kebetulan, Anggodo itu memiliki kasus di KPK yang melibatkan Anggoro. Ya dia konsultasi biasa. Nggak ada rekayasa itu. Ini konsultasi yang jadi malapetaka,'' ujarnya.
Pembicaraan kasus itu berlangsung sebelum dia pensiun sebagai jaksa agung muda intelijen (JAM Intel) di Kejagung. Dia menyatakan, karena dirinya disebut dalam rekaman, keluarganya kaget.
Menurut dia, obrolannya dengan Anggodo saat itu hanya hal biasa. ''Ya seperti saya ngobrol dengan Anda. Nanti kalau kena sadap bisa dituding mengatur pemberitaan,'' ujarnya. Yang pasti, bagaimana pembicaraan lewat telepon bisa menjadi rekayasa.
Wisnu menegaskan juga tidak mengenal dua pimpinan KPK yang kini menjadi tersangka kasus tersebut. ''Saya sama sekali nggak mengenal Pak Bibit dan Pak Chandra,'' tegasnya.
Dia juga tak mengenal pejabat di kepolisian. ''Sama Pak Susno, saya hanya tahu dia. Ketemunya juga di rapat dan seminar-seminar saja. Memangnya saya ini siapa bisa mengatur-ngatur polisi?'' ujarnya.
Dia menegaskan, antara dirinya dengan Anggodo juga tak ada hubungan uang segala. Wisnu tak mau mengomentari soal koleganya, Abdul Hakim Ritonga, yang juga disebut dalam transkrip percakapan itu. ''Saya tidak tahu kalau soal Pak Ritonga,'' katanya.
Tim pengacara Bibit dan Chandra, Ahmad Rivai, menuturkan bahwa penegak hukum harus menindaklanjuti fakta-fakta yang terungkap ke permukaan itu. ''Kalau tidak ada reaksi, KPK harus bertindak. KPK bisa menyupervisi kasus ini,'' ucapnya.
Dia menambahkan, bila pimpinan KPK saja bisa direkayasa seperti itu, bagaimana halnya dengan rakyat biasa? ''Ini memprihatinkan,'' ungkapnya.
Terkait dengan hal ini, Plt Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean sudah menegaskan bahwa rekaman pembicaraan tersebut tersimpan baik di kantornya. Yang pasti, KPK akan membuka rekaman tersebut bila diminta oleh penegak hukum lain atau di sidang.
Di bagian lain, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebutkan bahwa namanya telah dicatut dalam rekaman yang mengarah pada rekayasa kasus dua pimpinan KPK nonaktif tersebut. ''Presiden menegaskan pencatutan nama tersebut. Berita itu juga merupakan suatu aksi pencatutan nama oleh orang yang menyatakan itu dalam rekaman dan sama sekali tidak benar,'' jelas Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal di Kantor Presiden, Jakarta, kemarin.
Dia mengungkapkan, SBY tidak pernah membicarakan kepada siapa pun mengenai posisi dan dukungan terhadap wakil jaksa agung. ''Jadi, presiden mengharapkan masyarakat tidak terpengaruh berita pencatutan nama ini,'' tegasnya.
Apakah presiden akan menindaklanjuti pencatutan nama tersebut? ''Saya baru tahap mencari klarifikasi langsung ke presiden. Selanjutnya, saya akan cari jawabannya,'' kata Dino.
Dia menyatakan bahwa presiden telah menegaskan tidak akan ada kriminalisasi terhadap KPK. (fal/git/sof/iro)
Sumber: Jawa Pos, 28 Oktober 2009