Achmad Ali Diperiksa Sebagai Tersangka Besok
Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan akan memeriksa Achmad Ali, mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan, besok. Pemeriksaan calon hakim agung itu terkait dengan kasus dugaan korupsi dana program pascasarjana di Universitas Hasanuddin senilai Rp 250 juta.
Kami sudah mengirim surat panggilan sebagai tersangka Selasa lalu untuk pemeriksaan pada Jumat, 10 November, ujar Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Mashyudi Ridwan di kantornya kemarin.
Pemeriksaan sebagai tersangka ini adalah kali pertama. Achmad sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka pada 20 September. Achmad adalah calon hakim agung yang lolos seleksi Komisi Yudisial. Sebanyak enam nama--termasuk Achmad--telah diserahkan Komisi Yudisial ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk diikutkan seleksi selanjutnya di DPR.
Tapi Masyhudi menyayangkan lolosnya Achmad sebagai calon hakim agung oleh Komisi Yudisial karena statusnya sebagai tersangka. Padahal, menurut Masyhudi, saat Komisi Yudisial mengutus anggota stafnya untuk mengecek kasus yang diduga melibatkan Achmad, kejaksaan memberikan data dan penjelasan serta memperlihatkan berita acara kasus itu.
Masyhudi menyayangkan pernyataan Komisi Yudisial bahwa Achmad Ali tidak terlibat korupsi. Ini naif. Terlalu pagi Komisi Yudisial menyatakan tidak terlibat. Komisi Yudisial tidak berwenang, dan bukan penyidik, katanya.
Masyhudi mengatakan pemeriksaan Achmad Ali tetap dilanjutkan hingga ada keputusan hukum tetap, meski dia lolos menjadi hakim agung. Tidak ada yang kebal hukum, ujarnya.
Dalam kasus ini, kata Masyhudi, penyidik kejaksaan telah memeriksa 36 saksi. Mereka di antaranya dosen yang dicatat dalam surat perjalanan dinas. Penyidik, kata Mashyudi, juga telah mengecek ke sejumlah tempat yang tertera dalam surat perjalanan. Ditemukan bahwa semuanya fiktif, ujarnya.
Sementara itu, Achmad belum bisa dimintai konfirmasi. Saat Tempo menghubungi melalui telepon selulernya malah diminta meninggalkan pesan. Bahkan pesan pendek (SMS) yang dikirim tidak dibalas. Dihubungi ke telepon rumah pun tidak ada yang menjawab. Tapi saat diwawancarai Komisi Yudisial pada 31 Oktober lalu, Achmad menilai penetapan dirinya sebagai tersangka tidak tepat. Sebab, dia menjabat sebagai dekan, bukan ketua program pascasarjana. Sebagai dekan, saya tidak pernah membuat kebijakan itu, ujarnya. Irmawat
Sumber: Koran Tempo, 9 November 2006