Ada Apa Dengan KPK?

Akhir-akhir ini, KPK sedang menjalani masa uji coba di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK) karena adanya dugaan beberapa orang yang merasa hak konstitusinya terlanggar sehubungan dengan penetapan mereka menjadi tersangka atau terdakwa.

Di dalam UUD 45 khusus Bab XA, setiap orang wajib dilindungi hak asasinya baik hak politik, sipil, ekonomi dan hak sosialnya (lihat Pasal 28 A - I). Akan tetapi, di dalam UUD 45 itu juga ditegaskan bahwa negara dapat membatasi hak-hak asasi tersebut sepanjang untuk tujuan ketertiban dan kesusilaan masyarakat luas asalkan pembatasan hak asasi tersebut dilakukan dengan suatu undang-undang (lihat Pasal 28 J).

Berdasarkan Ketentuan Bab XA UUD 1945 tersebut jelas bahwa UUD 1945 telah menganut prinsip keseimbangan antara hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia serta peranan negara dalam melakukan penyeimbangan tersebut. Implementasi wujud hak asasi manusia dalam UUD 1945 tersebut dituangkan di dalam berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan keempat bentuk hak asasi manusia tersebut di atas.

Hak sipil dalam sistem hukum pidana diwujudkan di dalam Undang- Undang Hukum Acara Pidana, UU No 8/1981, yang substansinya menganut pendekatan due process model (DPM), dan ditinggalkannya pendekatan crime control model (CCM) sebagaimana dianut dalam HIR buatan kolonial.

Pendekatan DPM sudah mengacu kepada Model PBB dalam proses beracara dan sesuai dengan international best practices of human rights dalam bidang peradilan pidana. UU No 31/1999 yang diubah oleh UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah menetapkan hukum acara masih menggunakan Hukum Acara vide UU No 8/1981 sebagai lex generalis, namun di dalam beberapa hal tetap digunakan pendekatan CCM sebagai lex specialis.

Pendekatan lex specialis tersebut bukan tanpa dasar hukum yang sah karena dilandaskan kepada bunyi ketentuan Pasal 103 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara eksplisit dimungkinkan dibentuknya ketentuan khusus yang menyimpang dari ketentuan umum yang diatur di dalam Buku I Ketentuan Umum sepanjang dilakukan dalam bentuk undang-undang.

Mengacu kepada ketentuan di dalam UUD 1945 khusus Pasal 28 J, Pasal 103 KUHP, UU No 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana, maka pemberlakuan UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan diposisikan sebagai lex specialis dengan penyimpangan-penyimpangan dalam batas-batas rambu-rambu UUD 1945 yang mengedepankan keseimbangan antara hak asasi manusia dengan kewajiban asasi manusia.

Tindak pidana korupsi sudah merupakan dan dimasukkan sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crimes) dan secara internasional telah diakui sebagai salah satu jenis trans-national organized crime. Pencegahan dan pemberantasannya pun harus menggunakan cara-cara yang bersifat luar biasa karena dampak korupsi yang juga merupakan salah satu penyebab kemiskinan masyarakat secara luas (lihat Penjelasan UU No 31/1999 jo UU No 20/2001).
Cara-cara luar biasa dalam proses pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia dilaksanakan antara lain, pembentukan lembaga penegak hukum baru, Komisi Pemberantasan Korupsi dengan wewenang yang bersifat luar biasa melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan di dalam satu tangan, dan di dalam melaksanakan tugas tersebut, KPK memiliki wewenang penyadapan, penyitaan, dan pembukaan rekening tersangka tanpa izin pengadilan atau Bank Indonesia.

Begitu pula sebagai rambu pengaman terhadap wewenang yang sangat luar biasa tersebut, KPK tidak boleh menghentikan penyidikan atau penuntutan di tengah jalan (SP3) sebagaimana halnya penyidik dan penuntut umum. Pencegahan terhadap penyalahgunaan wewenang luar biasa tersebut secara implisit terdapat di dalam larangan penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut atau merupakan kendali internal melekat.

Sudah tentu untuk memahami secara mendalam lahirnya UU KPK No 30/2002 dan UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tidak terlepas dari penafsiran historis, teleologis, sistematis dan penafsiran gramatikal. Keempat model penafsiran tersebut yang diperkenankan dalam sistem hukum pidana harus dibaca dan dipahami secara utuh dan tidak bersifat parsial.

Cara pengamatan yang bersifat parsial (pars pro toto) sudah tentu akan menimbulkan mispersepsi dan menyesatkan pembacanya, sedangkan cara pengamatan yang bersifat totem pro parte justru akan menimbulkan persepsi yang benar dan tidak menyesatkan tentang mengapa diperlukan KPK yang memiliki wewenang luar biasa, yang oleh sementara pihak disebut bertentangan dengan konstitusi. Dalam konteks permohonan judicial review UU KPK terhadap UUD 1945 merupakan proses pembelajaran yang demokratis dan patut dihargai dan diproses sesuai ketentuan yang berlaku.

Namun, di balik itu, sudah tentu pihak-pihak yang masih mencoba-coba untuk me-review UU KPK adalah hak konstitusional setiap warga negara. Tidak boleh ada pandangan negatif bahwa upaya judicial review terhadap UU KPK merupakan bentuk perlawanan (corruption fight back) karena sesungguhnya tidak ada gading yang sempurna dalam setiap hal yang manusia lakukan di dalam mempertahankan dan memelihara kehidupannya.

Begitu juga berlaku untuk suatu negara sebagai subjek hukum internasional. Yang penting di dalam penerapan UU KPK tersebut telah dilaksanakan sesuai proses beracara sebagaimana ditentukan di dalam UU Hukum Acara Pidana yang berlaku (UU No 8/1981) dan hukum acara khusus sebagaimana ditentukan di dalam UU KPK dan UU No 31/1999 jo UU No 20/2001. Artinya, semua hak asasi tersangka/ terdakwa sejak disidik, ditahan sampai dengan proses peradilan tipikor telah dinikmati oleh tersangka/terdakwa yang bersangkutan.

Apa yang dimohonkan oleh pemohon judicial review tentang wewenang KPK sesungguhnya dapat dilakukan mekanisme pra-peradilan sepanjang mengenai penangkapan dan penahanan yang diduga kuat disalahgunakan penyidik.

Hasil penelitian mengenai teknik penyusunan perundang-undangan antikorupsi yang telah dilakukan oleh Bank Dunia (Buletin No 58/Oktober 2001) membuktikan bahwa di dalam sistem pemerintahan yang korup dan di dalam masyarakat di mana memberikan sesuatu yang dianggap suap telah merupakan kebiasaan sehari-hari, maka penyusunan peraturan perundang-undangan antikorupsi harus menggunakan pendekatan bright line-rules, yaitu pendekatan yang meniadakan sekecil apa pun celah hukum untuk menimbulkan multiinterpretasi terhadap ketentuan perundang-undangan tersebut, dan meniadakan kemungkinan secara hukum diskresi oleh lembaga penegak hukum untuk menafsirkan ketentuan perundang-undangan tersebut secara subjektif. (*)

ROMLI ATMASASMITA, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad Ketua Forum 2004

Tulisan ini disalin dari harian Seputar Indonesia, 13 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan