Aktivitas Digital Pemerintah
Pelibatan influencer untuk mempromosikan sebuah produk, bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru. Seiring dengan perkembangan penggunaan internet oleh masyarakat, fenomena beriklan melalui sosial media semakin marak dilakukan, termasuk oleh pemerintah melalui belanja APBN ataupun APBD. Pada sektor pariwisata, Pemerintah gencar menggunakan internet dengan berbagai macam paket kebijakan sosialisasi untuk meningkatkan jumlah wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Pada konteks ini, internet telah membantu untuk menyebarluaskan informasi secara lebih cepat.
Namun, masalah akan muncul seandainya kebijakan publik yang disosialisasikan Pemerintah merupakan masalah sensitive, kontroversial dan penuh dengan perdebatan. Karena media sosial tidak memiliki mekanisme saringan fakta sebagaimana media massa resmi, berbagai hal kontroversial yang tengah diusung Pemerintah akan menjadi lebih bermasalah apabila pihak-pihak tertentu yang ingin menggolkan sebuah agenda kebijakan publik memborbardir masyarakat dengan informasi yang tidak akurat.
Demikian halnya, ketika informasi yang tidak akurat itu diresonansi oleh para influencer -sebutan bagi individu yang memiliki banyak pengikut di jagat dunia maya- yang mana mereka sendiri juga tidak memiliki pengetahuan yang cukup pada isu yang diangkat. Hanya karena bayaran dari pemberi pekerjaan, para influencer bisa menyampaikan informasi apapun, apakah informasi itu akurat atau tidak.
Sebagai contoh, kedekatan para artis dan musisi dengan pemerintah dan keterlibatan mereka dalam mendukung kebijakan pemerintah, pernah terjadi di awal masa pandemi COVID-19. Pemerintah menggelar konser BPIP yang melibatkan banyak artis dan musisi. Konser ini menuai banyak kecaman karena dianggap tidak sensitif terhadap kesusahan warga, dan bahkan dapat dianggap menormalisasi kerumunan orang di ruangan tertutup dalam rentang waktu yang lama, padahal Pemerintah meminta masyarakat menaati protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Contoh terbaru dari fenomena ini adalah, beberapa influencer seperti Ardhito Pramono dan Goffar Hilman yang mempromosikan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) lewat tagar #IndonesiaButuhKerja. Keduanya akhirnya meminta maaf setelah mempromosikan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang banyak ditolak oleh masyarakat, lewat akun media sosialnya.
Melihat perkembangan penggunaan sosial media, internet dan influencer dalam kontestasi kebijakan publik, dan melihat alokasi anggaran negara yang semakin besar untuk sosialisasi di dunia maya, ICW perlu melakukan penelusuran kegiatan pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah yang terkait dengan aktivitas digital dan pelibatan para influencer dalam menyebarluaskan program-program pemerintah. Tujuannya, supaya lanskap baru dunia maya yang kian intens digunakan oleh Pemerintah melalui, khususnya, APBN dalam mendiseminasi informasi dan membentuk opini publik tetap dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Informasi PBJ tersebut, diperoleh lewat penelusuran pada situs LPSE Kementerian, maupun Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), NK, dan dua lembaga penegak hukum yakni, Kejaksaan RI dan Kepolisian RI, dan dilakukan pada 14 Agustus-18 Agustus 2020. Periode penelusuran adalah informasi PBJ selama kurun waktu 2014-2018. Adapun kata-kata kunci yang kami gunakan untuk mengidentifikasi paket PBJ adalah, “media sosial / social media”, “influencer”, “key opinion leader”, “komunikasi”, dan “Youtube”.
Ada berbagai istilah yang dapat menggambarkan individu atau kelompok yang dapat memengaruhi opini publik seperti, buzzer, key opinion leader, pendengung, dll. Namun, pada paparan ini, kami menggunakan istilah “influencer”, untuk menggambarkan individu atau kelompok yang memiliki pengikut (follower) dalam jumlah signifikan, sehingga mereka bisa memengaruhi opini publik.
Baca kajian lengkapnya di SINI.