Aliran Dana BI, Cermin Lemahnya Kelembagaan dan Etika Pejabat Kita
Bantuan hukum hakikatnya adalah hak seseorang untuk mendapat pembelaan jika dituduh bersalah. Namun, apakah menjadi kewajiban lembaga membela habis-habisan mantan pejabatnya yang terbelit pelanggaran pidana, dengan menggunakan sumber pendanaan lembaganya atau lembaga lain yang terkait?
Pertanyaan itulah yang kini terlontar di masyarakat, ketika pengujung tahun ini terungkap adanya bantuan hukum bagi mantan pejabat Bank Indonesia (BI) dan aliran dana ke sejumlah anggota DPR. Dalam kasus ini, terungkap dana Rp 100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), yayasan milik BI, dipakai bank sentral untuk kepentingan bantuan hukum serta diserahkan ke Komisi IX DPR untuk kepentingan penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), diseminasi, dan pembahasan revisi Undang-Undang (UU) BI. Padahal, ada anggaran resmi BI untuk bantuan hukum Rp 27,74 miliar.
Berdasarkan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sebagaimana dinyatakan Ketua BPK Anwar Nasution, melalui suratnya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 14 November 2006, selain bertendensi melanggar ketentuan, aliran dana itu diduga juga menyimpang. Bahkan, BPK menilai, ada indikasi yang menimbulkan sangkaan korupsi. Karena itu, Badan Kehormatan (BK) DPR dan KPK bergerak menelusuri kasus itu. Sampai akhir tahun ini, memang belum tampak nyata penyelesaian perkara tersebut.
Namun, buntut terungkapnya laporan BPK itu, hingga kini BI dan DPR, selain pejabat dan sejumlah mantan pejabatnya, disorot publik. Jika penyelidikan BK DPR dan KPK selesai, dengan terungkapnya aliran dana BI beserta mereka yang terlibat, sempurnalah kebobrokan lembaga negara di negeri ini, seperti yang pernah disampaikan Ketua BPK Anwar Nasution, dan lemahnya etika pejabat dan mantan pejabat kita. Anwar juga mengaku jengkel dengan perilaku oknum pejabat di lembaga negara kita.
Lazimnya, pembelaan tentu boleh saja dilakukan. Namun, dana yang dikeluarkan itu tak membuat lembaga itu bermasalah. Lebih adil lagi, jika bantuan hukum seperti itu berlaku bagi semua pegawai, dan bukan hanya bagi mantan pejabat.
Menjaga citra
Menilik latar belakang munculnya kasus aliran dana BI, memang berawal dari keinginan pejabat BI untuk menjaga citra bank sentral di mata publik nasional maupun internasional, pascakasus Bantuan Likuiditas BI (BLBI) yang belum tuntas.
Untuk pertama kalinya, pada 17 Maret 2003, muncul surat permohonan dana operasional dan konsultasi hukum dari tiga mantan anggota Direksi BI, yang tersangkut kasus penyaluran dana BLBI. Pejabat itu adalah Hendro Budiyanto, Heru Soepraptomo, dan Paul Sutopo. Ketiganya meminta bantuan penggantian dana mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, yang dijalaninya sejak 1997. Total biaya yang diperlukan hanya Rp 15 miliar.
Di bawah Gubernur BI waktu itu, Syahril Sabirin, surat ketiga mantan anggota Direksi BI itu dibahas dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), 20 Maret 2003. Disepakatilah permintaan mantan pejabat BI itu, dengan pertimbangan ketiganya ikut menyalurkan dana BLBI dalam kaitan melaksanakan tugas kedinasan BI, yaitu mengatasi krisis moneter dan menyelamatkan sistem perbankan yang ambruk tahun 1997. Dana yang diberikan pun tak perlu dipertanggungjawabkan.
Syahril diganti Burhanuddin Abdulah, Mei 2003, sebagai Gubernur BI. Dari risalah keputusan RDG pada 3 Juni, terungkap, Burhanuddin menggelar RDG, membahas upaya menanggulangi kebutuhan dana terkait pelaksanaan kegiatan yang bersifat insidental dan mendesak di BI, dengan menggunakan dana yang berasal dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), yang kemudian berubah menjadi YPPI.
Keputusan RDG yang dipimpin Syahril, yang menyetujui dana Rp 15 miliar untuk ketiga mantan petinggi BI, berubah diputuskan menjadi Rp 100 miliar, dan meluas kepada mantan petinggi BI lain, termasuk mantan Gubernur BI Sudradjat Djiwandono dan Deputi Gubernur BI Iwan Prawiranata.
Terungkap pula, dua Deputi Gubernur BI, Aulia Pohan dan Bun Bunan Hutapea, diminta membicarakan pelaksanaannya dengan pengurus LPPI. Berdasarkan RDG 3 Juni itu, dibuat catatan yang dikeluarkan Biro Gubernur Rusli Simandjuntak, 27 Juni 2003. Disebutkan, RDG juga menyetujui penggunaan dana tahap pertama Rp 50 miliar serta menunjuk Rusli Simandjuntak dan Oey Hoey Tiong dalam penyediaan dana.
Harapan ke KPK dan BK
RDG pada 22 Juli 2003, yang dipimpin Burhanuddin, memperkuat keputusan RDG 3 Juni 2003. Rapat dihadiri Anwar Nasution, Deputi Senior BI. Anehnya, pada RDG ini terdapat dua risalah RDG yang berbeda.
Risalah pertama, yang menjadi lampiran surat Anwar ke KPK, Deputi Gubernur Aslim Tadjudin tak menandatangani risalahnya. Isinya, hanya mempertegas penyisihan dana YPPI. Risalah lainnya, Aslim ikut menandatangani risalah.
Keanehan tak sebatas risalah RDG yang ganda, tetapi juga mempertanyakan kehadiran Anwar. Ia juga ikut memutuskan penyisihan dana YPPI untuk bantuan hukum mantan petinggi BI dan ke DPR, tetapi kenapa justru kini melaporkannya ke KPK dan meminta kasus itu diusut tuntas. Lalu, disebut-sebut antara Anwar dan Burhanuddin sudah saling menyelesaikan.
Juga muncul tudingan dari DPR, yang menilai audit BPK yang mengungkapkan adanya aliran dana BI, termasuk ke Dewan itu, kedaluwarsa dan menyalahi prosedural, karena tak dilaporkan ke DPR dulu. Justru langsung ke KPK. Namun, Anwar punya alasan tersendiri.
Keanehan juga terjadi pada BI. Hingga kini, tak ada yang mau bicara perihal tudingan dana BI yang diperkirakan bisa membuat citra bank sentral itu kembali terpuruk. Alasan BI, BI sudah menjelaskan kepada KPK. Direktur Perencanaan Strategis BI Muliaman yang pernah dihubungi bersikukuh tidak mau menjelaskan duduk soalnya. Demikian juga Deputi Direktur Direktorat Hukum BI Oey Hoey Tiong yang pernah dikontak ke telepon selulernya.
Aulia Pohan juga enggan menjawab saat dihubungi di rumahnya di Kebayoran Baru, Jakarta. BI, sejauh ini, hanya mau menjelaskan kasus itu sebatas background information.
Kasus aliran dana BI pun kini terus mengalir. KPK masih terus memeriksa sejumlah saksi, belum ada tersangka yang ditetapkan. BK DPR pun masih bermain di pinggiran, sebab belum ada seorang pun anggota Dewan atau mantan anggota DPR yang disebut-sebut menerima dana BI itu yang dipanggil.
Publik berharap dugaan aliran dana BI itu diusut tuntas dan menyeluruh, sehingga kebobrokan lembaga dan lemahnya etika pejabat kita tak terjadi lagi. Harapan juga digantungkan pada anggota KPK yang baru terpilih.
Suhartono
Sumber: Kompas, 13 Desember 2007