Aliran dana BI; Pejabat BI dan Anggota DPR Diperiksa KPK
Empat mantan pejabat Bank Indonesia dan dua anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004, Selasa (4/11), hadir di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, diperiksa sebagai saksi kasus korupsi aliran dana Rp 100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia dan BI. Uang itu diduga, antara lain, mengalir ke DPR.
Mereka diperiksa untuk tersangka empat mantan deputi gubernur BI, yakni Aulia Pohan, Bunbunan EJ Hutapea, Maman Soemantri, dan Aslim Tadjudin.
Empat mantan pejabat BI yang diperiksa adalah mantan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono, Iwan Prawiranata (mantan Deputi Gubernur BI), serta mantan direktur BI Paul Sutopo dan Hendro Budiyanto. Sedangkan dua anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 yang diperiksa adalah Bobby SH Suhardiman dan Daniel Tandjung.
Ketika akan meninggalkan gedung KPK sekitar pukul 13.20, Soedradjad hanya mengatakan, ia ditanya banyak hal oleh penyidik. Sedangkan Iwan yang keluar bersama Paul dan Hendro, pukul 16.30, menyatakan, semua sudah jelas di pengadilan.
Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menuturkan, hampir semua fakta dan bukti dalam kasus aliran dana YPPI atau BI memang sudah dibuka dalam persidangan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi dengan terdakwa mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah; mantan pejabat BI, Rusli Simanjuntak dan Oey Hoey Tiong; serta dua anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004, Hamka Yandhu dan Anthony Zeidra Abidin.
Menurut Emerson, penyidikan kasus BI dengan tersangka Aulia Pohan dan tiga rekannya seharusnya bisa cepat karena lebih dimaksudkan memenuhi persyaratan formal penyidikan kasus. ”KPK perlu berusaha agar akhir tahun ini kasus itu dapat dibawa ke pengadilan. Selanjutnya, sebelum pemilihan presiden 2009, perkara ini sudah berkekuatan hukum tetap sehingga energi pemberantasan korupsi bisa segera dialihkan untuk agenda lain,” katanya.
Pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin menambahkan, KPK tak perlu memedulikan kemungkinan sejumlah pihak yang ingin memolitisasi kasus ini. Yang penting, KPK terus bekerja secara profesional. Sebab, politisasi dapat dilakukan siapa saja dan kapan saja.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, lanjut Irman, dapat melakukan politisasi, misalnya dengan menyatakan selalu serius dalam pemberantasan korupsi. Buktinya, tidak mencampuri proses hukum terhadap Aulia Pohan yang adalah besan Yudhoyono. Politisasi ini dapat efektif karena posisi KPK sebagai lembaga independen yang tidak dapat dicampuri pihak lain seperti presiden belum seluruhnya dipahami masyarakat.
”Sebaliknya, lawan politik Yudhoyono juga bisa melakukan politisasi dengan mengatakan, yang dialami Aulia Pohan menunjukkan korupsi telah terjadi di lingkungan terdekat Presiden Yudhoyono,” ujar Irman. (nwo)
Sumber: Kompas, 5 November 2008