Ambivalensi Kasus Bibit-Chandra
Babak baru kasus Bibit-Chandra akan segera bergulir kembali.
Pengadilan Tinggi (PT) DKI telah mengabulkan permohonan pemohon Anggodo Widjojo dan menolak argumen Kejaksaan Agung sebagai pihak termohon. PT ternyata menguatkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang menegaskan penghentian penyidikan melalui SKPP tidak sah. Itu artinya pemeriksaan pokok perkara akan segera dilanjutkan, dengan mengesampingkan kemungkinan upaya hukum lain yang bakal ditempuh— karena perlawanan merupakan upaya terakhir—keduanya hampir pasti akan menjadi terdakwa.
Di tengah seleksi pimpinan KPK yang semakin hangat, tampaknya putusan PT ini akan semakin menjadi beban bagi institusi ini untuk mengusut perkara yang memiliki bobot tinggi, seperti kasus Century ataupun perpajakan. Meskipun diakui bahwa pimpinan KPK yang tersisa telah menunjukkan kinerja optimal. Di balik itu semua, tampak bahwa gempuran terhadap KPK kian gencar dan bertubi-tubi yang tak mustahil akan menggoyahkan daya tahannya. Namun, tetap diyakini bahwa hanya kekuatan civil society yang mampu menyelamatkannya kelak.
Kekuatan civil society merupakan kekuatan otentik masyarakat yang tidak ingin bangsa ini ambruk karena korupsi. Bangsa ini harus melakukan perlawanan habis-habisan terhadap mereka yang melakukan korupsi, termasuk juga terhadap mereka yang menggerogoti dari dalam institusi yang pembentukannya karena amanat reformasi ini.
Penetapan status sebagai tersangka yang akan diletakkan kepada keduanya kelak diyakini semakin menjadikan pertarungan memperebutkan kekosongan kursi pimpinan KPK kian marak, tak mustahil diwarnai pertarungan tak sehat. Orang-orang yang dinilai tidak steril, baik hukum maupun politik, akan turun gunung dengan konsepnya yang pasti, yakni membubarkan KPK dari dalam.
Bangsa ini akan mengalami kerugian untuk kesekian kalinya. KPK yang sejatinya lembaga yang diharapkan berada di garda terdepan dalam pemberantasan korupsi bersama lembaga hukum konvensional harus bertekuk lutut menghadapi serangan yang mengatasnamakan hukum. Hukum ternyata juga digunakan untuk melindungi koruptor. Sesuatu yang tidak pernah diakui sebelumnya. Bahwa dengan hukum semuanya akan beres, pelaku tindak pidana pasti dihukum, negeri ini bersih dari korupsi. Namun, fakta berkata lain. Koruptor melakukan serangan balik yang ternyata cukup menguras energi. Pimpinan KPK yang ditengarai melakukan pelanggaran hukum harus menghadapi tugas tambahan akibat kriminalisasi yang dilancarkan oleh beberapa pihak.
Ternyata, kekuatan yang tidak tampak terus bekerja agar keduanya mendekam di penjara, itu juga berarti mesin KPK perlahan akan mati. Pemberantasan korupsi oleh lembaga independen akan segera berakhir. Sementara lembaga konvensional yang diharapkan berada di garda terdepan hingga saat ini tetap berkutat pada masalah internal masing-masing. Kasus Gayus Tambunan mau tak mau telah menyerempet kedua institusi yang penyidiknya telah ditetapkan sebagai tersangka. Hal mana tidak mustahil terjadi juga di lingkungan institusi hukum lain. Korupsi begitu masif dan tak cukup dihadapi secara konvensional.
Ambivalensi
Salah satu kelemahan bangsa kita sehingga tak kunjung bangkit dari keterpurukan adalah sikap mendua, menggunakan standar ganda. Ambivalensi dapat dilihat dari pernyataan mengutuk koruptor. Namun, ketika proses hukum dilakukan terhadap tersangka, berbagai upaya dilakukan demi melindungi mereka. Jalan hukum pun ditempuh agar lolos dari jerat hukum. Kita pantas mengapresiasi penegak hukum yang mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK saat ini. Namun, ada yang dilupakan bahwa yang bersangkutan boleh jadi selama ini justru bergelimang kemewahan karena membela koruptor. Ini juga bentuk ambivalensi sikap.
Memberantas korupsi tak cukup bermodalkan tekad apalagi nekat. Kemampuan teknikalitas hukum dan bekerja secara kelompok ataupun perorangan, suatu keniscayaan. Tidak cukup mereka yang mencalonkan diri hanya memiliki keberanian, tanpa ada semangat untuk bekerja secara kolektif dan kolegial.
Putusan PT DKI yang menguatkan putusan PN Jakarta Selatan ini membuka babak baru pemberantasan korupsi di tengah-tengah tarik-menarik berbagai kepentingan untuk mengisi kekosongan pimpinan yang ditinggalkan oleh Antasari. Hampir dapat dipastikan ada kelompok yang bersorak gembira atas putusan PT tersebut. Juga dapat dipastikan pemberantasan korupsi semakin berat karena harus berkutat dengan masalah sektoral yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Oleh karena itu, keengganan mereka yang diyakini memiliki kompetensi untuk menjadi pimpinan KPK dapat dipahami.
Di sisi lain, rencana panitia seleksi untuk melakukan jemput bola terhadap calon tidak akan berarti banyak jika bayang-bayang kriminalisasi terus menghantui. Masalah masa jabatan pun masih menjadi persoalan tersendiri sehingga menambah daftar panjang keengganan mereka yang potensial untuk mendaftar diri. Kalau hanya satu tahun, tak sebanding dengan energi yang dikeluarkan. Akan tetapi, jika empat tahun, bertentangan dengan UU karena pemimpin yang terpilih adalah untuk menggantikan Antasari yang berakhir pada 2011. Juga bertentangan dengan prinsip kolektif kolegial kepemimpinan KPK yang seharusnya mereka berhenti serentak untuk kemudian dilakukan seleksi kepemimpinan baru.
Akibat ambivalensi itu juga, keduanya harus mengalami keadaan yang tragis, yakni menjadi terdakwa dalam penyalahgunaan kekuasaan. Berdasarkan prinsip rule of law, keduanya harus mendapat perlindungan hukum yang proporsional. Selama keduanya masih berstatus tersangka, prinsip hukum universal tidak boleh dilanggar. Keduanya tetap dibutuhkan, setidaknya hingga masa jabatan keduanya selesai akhir tahun depan. Dengan putusan ini, keduanya akan menjadi terdakwa kecuali Jaksa Agung berani mengambil langkah melalui deponeering, itu pun bukan tanpa risiko.
M ALI ZAIDAN Pengamat Hukum
Tulisan ini disalin dari Kompas, 9 Juni 2010