Amerika Minta Transparansi Yayasan TNI
Selain masalah hak asasi manusia, menurut Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, parlemen Amerika Serikat meminta transparansi yayasan dan koperasi milik TNI. Saya bilang, saya sekarang sedang mendata kembali semua bisnis TNI, kata dia kepada Tempo, Kamis (24/3), menjelaskan kunjungannya ke Amerika.
Tentang penataan bisnis TNI ini, Juwono berjanji akan menyelesaikannya pada Oktober nanti. Ia mengaku sudah dua kali bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin untuk melihat segi hukumnya. Adapun Menteri Keuangan akan mengevaluasi penerimaan yayasan milik TNI buat negara.
Bersama saya, kedua menteri akan menyusun pola pendataan sampai Oktober nanti. Nanti kalau sudah didata, Menteri BUMN akan melihat mana yang layak diteruskan sebagai bisnis, mana yang tidak, kata mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional itu.
Tentang kekhawatiran bahwa Kementerian BUMN tak bisa lepas dari kepentingan partai politik, Juwono menjelaskan, dengan tim interdepartemen, kementerian itu akan diimbangi oleh Departemen Pertahanan dan Departemen Keuangan. Menteri Keuangan, kata dia, bertanggung jawab sebagai bendahara negara karena TNI merupakan aset negara. Secara hukumnya, Menteri Kehakiman Hamid Awaluddin yang akan mengaturnya, ia menambahkan.
Menurut Juwono, tak ada resistensi terbuka dari kalangan TNI terhadap penataan bisnis militer ini. Ia pun mengaku, selama ini memang keuntungan bisnis tentara masih dinikmati kalangan atas. Makanya harus cari dokumen hukumnya. Kita cek penugasan (para jenderal yang menjadi pemimpin bisnis) itu, tuturnya.
Kepada parlemen dan pemerintah Amerika, Juwono mengaku banyak menjelaskan posisi TNI. Ia bahkan menemui senator dari Partai Demokrat, Senator Patrick J. Leahy (Vermont) dan Russell Feingold (Wisconsin), yang dianggap paling kritis dan paling tidak tahu tentang keadaan Indonesia.
Saya jelaskan bahwa prajurit Indonesia itu gajinya tak lebih dari US$ 70 sebulan. Anggaran kita cuma separuh dari yang kita butuhkan secara minimal. Hanya US$ 2,1 miliar. Padahal kita butuh US$ 5,2 miliar setahun. Saya menyebutkan TNI sebagai the best underpaid defense forces, kata Juwono.
Tentang alasan tidak dicabutnya embargo Amerika terhadap TNI, Juwono menjelaskan bahwa dalam perang citra TNI sudah telanjur dipojokkan dalam media massa. Citra TNI, kata dia, semua kejam, represif, dan brutal. Padahal, menurut dia, itu hanya dilakukan beberapa satuan dan segelintir orang saja.
Kendati begitu, ia menambahkan, pencabutan embargo tidak banyak artinya. Alasannya, anggaran TNI yang sangat kecil tidak mampu membeli peralatan tempur. Ia menyatakan sudah berbicara dengan Panglima dan Kepala Staf TNI tentang perlunya menghidupkan kembali alat utama sistem persenjataan yang terkena embargo. Kalau sudah dicabut, kita bisa menambah pesawat tempur tiap tahun dua unit sehingga tercapai satu skuadron dalam lima tahun, kata dia.
* Wawancara lengkap dengan Juwono di majalah Tempo
Sumber: Koran Tempo, 28 Maret 2005