Ampun, Polri!
Komisaris Jenderal Susno Duadji ditangkap di Bandar Udara Soekarno-Hatta menjelang terbang ke Singapura untuk general checkup, Senin, 12 April 2010. Kabar ini menyebar cepat, terutama di acara breaking news di televisi, dan menjadi isu panas baru yang menyorot institusi kepolisian.
Dari lalu lintas berita di televisi, radio, dan situs berita, tersebutlah penangkapan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI itu karena dugaan melanggar kode etik. Dia tak meminta izin saat bepergian ke luar negeri. Dengan mudah alasan ini dipatahkan para pengacara Susno: pelanggaran yang disangkakan tidak pernah terjadi karena yang bersangkutan tidak meninggalkan Indonesia. Namun tokoh kontroversial ini sudah telanjur dicokok Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dan digelandang ke Mabes Polri, walaupun kemudian dibebaskan.
Argumen itu sungguh cerdas. Landasannya kukuh. Hukum positif di Indonesia, sebagaimana disampaikan salah seorang pengacaranya, Henry Yosodiningrat, di siaran langsung televisi berita yang saya tonton, tidak bisa menjerat "percobaan pelanggaran"--apalagi etika--sebagaimana yang disangkakan. Menurut Henry, lain soal bila Susno sudah pergi ke luar negeri tanpa izin, kemudian sekembalinya ke Indonesia ditangkap Divisi Propam.
Saya membaca dan menonton tayangan update penangkapan Susno Duadji dengan perasaan mendua. Menyesali "ketidakcerdasan dan kepanikan" Mabes Polri (sebagai institusi) yang seharusnya terlatih dan tertradisi bertindak cermat sebagai penegak hukum sekaligus kagum pada kegenialan Susno Duadji bila rencana ke luar negeri yang dia buat adalah bagian dari strategi perangnya terhadap institusi kepolisian. Melihat langkah-langkahnya, saya tak heran bila Susno khatam memahami The 33 Strategies of War dari Robert Greene (2007).
Susno tahu persis apa yang dia lakukan. Bahkan terprediksi karena terlampau textbook sesuai dengan definisi Helmuth von Moltke (1800-1891) yang dinukil Greene bahwa, "Strategi lebih dari sekadar ilmu pengetahuan; strategi adalah penerapan pengetahuan terhadap kehidupan praktis, pengembangan pemikiran yang mampu memodifikasi ide pemandu semula menurut situasi yang berubah-ubah; strategi adalah seni bertindak di bawah tekanan kondisi-kondisi yang paling sulit."
Penangkapan yang dilakukan Divisi Propam di Bandara Soekarno-Hatta alhasil jauh dari bukti kemampuan polisi mengantisipasi potensi pelanggaran yang mungkin terjadi, melainkan keampuhan strategi dan paripurnanya pengetahuan Susno terhadap kelemahan di lingkup internal Polri.
Penyangkalan
Lindu yang kini menerpa institusi Polri dengan Susno Duadji sebagai episentrumnya dimulai ketika dia dicopot sebagai Kepala Bareskim dan tiba-tiba muncul bersaksi di persidangan tindak pidana yang melibatkan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar. Begitu gonjang-ganjing kehadirannya sebagai saksi mereda, dia meledakkan skandal makelar pajak Gayus Tambunan, dan yang terbaru makelar kasus dengan tokoh utama sosok yang disebutkan sebagai Mister X.
Apa reaksi Polri sebagai institusi? Ketika Susno bersaksi di sidang tindak pidana yang melibatkan Antasari, Mabes Polri menyatakan akan melakukan pemeriksaan karena pelanggaran etika dan prosedur. Tatkala dia buka mulut tentang makelar pajak, reaksi pertama Mabes Polri adalah membantah adanya rekayasa hingga Gayus Tambunan bebas dari jerat hukum. Yang terakhir, pernyataannya di hadapan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat tentang makelar kasus yang diduga sosok berinisial SJ, direspons dengan penolakan yang tak kurang kerasnya dari Mabes Polri.
Lucunya, belum ada satu pun tindakan Susno Duadji yang memberikan ruang bagi Polri untuk menjatuhkan hukuman. Yang terlihat, justru ada pola yang konsisten: Mabes Polri sangat defensif dengan serta-merta menolak tanpa terlebih dulu melakukan upaya penelitian dan penyelidikan. Yang menyedihkan, paling tidak dalam dua peristiwa pertama, Mabes Polri harus menjilat ludah sendiri. Untuk kesaksian di sidang tindak pidana Antasari Azhar, sampai sejauh ini tak ada sanksi atau hukuman apa pun. Di kasus Gayus Tambunan, justru terbukti "kicauan" Susno Duadji memiliki kebenaran yang sukar dibantah.
Perilaku Polri sebagai institusi itu mengingatkan saya pada apa yang disebut Michael Specter sebagai "denialism"' atau penyangkalan. Sejatinya pandangan Specter yang dipublikasikan dalam Deniaslism (2009) itu tidaklah bicara penyangkalan dalam konteks isu sebagaimana yang dialami Susno Duadji. Karyanya justru mengeksplorasi bagaimana manusia terus-menerus menyangkal bahwa apa yang dicapai dan dihadapi peradaban saat ini, dari aspek pencapaian teknologi (misalnya rekayasa genetika), adalah fakta-fakta yang sadar atau tidak mendapat penolakan keras. Padahal, di sisi lain, pencapaian itu justru membantu manusia mencapai kesejahteraan sosial dan ekonomi yang lebih baik.
Namun, sebagai istilah, penyangkalan tepat disematkan ke tubuh institusi Polri. Fakta bahwa institusi ini karut-marut disangkal dengan segala daya-upaya, yang bukan hanya melanggar hukum, tapi juga tampak bodoh dan konyol. Penangkapan Susno Duadji dengan sangkaan melanggar etika dan prosedur internal, sebelum hal itu terbukti dilakukan, menunjukkan "denialism" yang justru mengundang cibir orang ramai.
Perilaku itu, suka atau tidak, mengabsahkan apa yang ada di benak awam bahwa sejak dulu Polri memang bukan lagi institusi yang melindungi dan mengayomi masyarakat, melainkan sarang penyamun, tiran, dan pelanggar hukum berseragam.
Anomali
Akan halnya Komisaris Jenderal Susno Duadji, lepas dari apa yang dilakukannya adalah angin segar terhadap rekonstruksi ke arah Polri (dan Indonesia) yang lebih baik, sesungguhnya juga harus dicermati dengan sikap kritis. Mengapa dia baru buka mulut setelah bertahun-tahun nyaman bersarang dan bahkan mencapai posisi elite di lingkungan Polri? Mengapa dia tiba-tiba menjadi salah satu dari amat sedikit anomali di institusi ini?
Prasangka bahwa Susno Duadji berbalik melawan institusinya sebagai "balas dendam" karena sakit hati dicopot dari jabatan Kepala Bareskrim, menurut saya, bukan sekadar spekulasi warung kopi belaka. Apalagi kemudian media massa sebagai opinion leader, yang sebelumnya ramai-ramai "mengganyang" Susno dalam isu yang populer sebagai konflik cicak versus buaya, kini berbalik memposisikan dia sebagai sosok teraniaya dan karenanya harus dilimpahi simpati dan dukungan.
Anehnya, hampir tak ada media yang berupaya melakukan check and recheck serta balancing terhadap riwayat karier Susno Duadji sehingga publik mendapat gambaran komprehensif dan utuh terhadap sepak terjangnya. Tak pelak, Susno, yang sebelumnya adalah musuh bersama, kini justru bersulih menjadi pahlawan yang merepresentasikan keingintahuan dan pendapat masyarakat terhadap Polri.
Padahal, bila disejajarkan, apa yang dilakukan Susno sebenarnya sebangun dengan penyangkalan sebagaimana reaksi Mabes Polri dalam merespons sepak terjangnya. Mabes Polri terjebak mati-matian menyangkal fakta-fakta telanjang praktek buruk dan tercela di dalam institusinya, sementara Susno terjerumus pada upaya menyangkal bahwa bertahun-tahun dia sudah menjadi bagian dan menikmati privilese dari Polri yang buruk dan tercela itu.
Yang mengkhawatirkan dan membuat miris, bukan tidak mungkin akhir kisah silang sengkarut Polri versus Susno Duadji tak jauh dari pepatah "menang jadi arang, kalah jadi abu". Mabes Polri menanggung malu karena terpaksa mengakui kebobrokan institusinya serta harus melakukan perubahan radikal dan revolusioner dengan ongkos reputasi yang mahal. Sedangkan Susno Duadji hanyalah pahlawan kesiangan yang kalap akibat kehilangan peluang mewujudkan ambisi tertinggi seorang polisi, setelah berhasil mendaki hingga menyandang pangkat bintang tiga. Bila skenario itu menjadi fakta, apalagi yang bisa kita harapkan dari Polri sebagai institusi, kecuali kutuk dan sesal.
Katamsi Ginano, PENGGEMAR BUKU
Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 14 April 2010