Analisa Mingguan: Mahar Politik, Membeli Suara Partai
Friday, 14 August 2015 - 00:00
Pada tingkat yang wajar, uang diperlukan untuk menggerakkan demokrasi. Namun uang akan menyebabkan kerusakan dan kebusukan pada sistem jika ia menjadi satu-satunya cara untuk memenangkan kompetisi politik. Sistem politik yang berbiaya mahal juga memicu maraknya praktek korupsi. Demokrasi Indonesia tampaknya tengah terancam hancur karena dominasi uang dalam politik.
Pilkada serentak yang semestinya berjalan pada tahun 2015 ini masih terganjal oleh beberapa hal, terutama ketidaksiapan pasangan calon untuk maju. Masalahnya mengerucut pada satu hal, yakni adanya syarat mahar politik bagi calon yang hendak maju sebagai kepala daerah. Bukan hanya syarat mahar melahirkan kondisi abnormal dalam Pilkada karena memungkinkan hanya ada satu pasangan calon, akan tetapi juga menjegal langkah orang-orang yang berkualitas untuk turut serta dalam kompetisi (http://news.metrotvnews.com/read/2015/08/01/417404/mahar-politik-membuat-sepi-daftar-pilkada).
Mahar politik dalam pilkada bukanlah rumor belaka. Bukti-buktinya sudah menyebar. Sebastian Salang, pengamat politik dan aktivis FORMAPPI harus mundur dari pencalonan sebagai bupati Manggarai, Nusa Tenggara Timur karena syarat mahar yang telah ditentukan elit partai lokal yang akan mendukungnya. Demikian pula di Toba Samosir ada salah satu calon yang melaporkan kepada kepolisian setempat karena dirinya dimintai sejumlah uang oleh salah satu partai politik dalam rangka maju menjadi bupati Toba Samosir (http://www.beritasatu.com/nasional/297063-diungkap-mahar-politik-di-partai-gerindra-toba-samosir.html). Bawaslu juga telah mengendus praktek curang dalam pilkada itu dan telah meminta PPATK untuk menelusuri transaksi rekening para calon kepala daerah di sebagian besar wilayah Indonesia (http://www.pikiran-rakyat.com/politik/2015/08/04/336993/bawaslu-temukan-praktik-mahar-politik).
Mahar politik, sebagai syarat utama mendapatkan dukungan partai politik yang memiliki kursi di DPR/DPRD sesungguhnya merupakan praktek ilegal yang dilarang, dan karenanya bisa diproses secara hukum. UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota mengatur secara jelas sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada setiap orang dan partai yang memperdagangkan dukungan.
Dalam pasal 47 UU Nomor 8 Tahun 2015 disebutkan:
(1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
(2) Setiap partai politik atau gabungan partai politik yang terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.
Karena secara normatif terdapat pelarangan atas praktek mahar politik, maka kunci untuk membersihkan partai politik dan sistem politik dari korupsi adalah kemampuan Bawaslu untuk menindaklanjuti dan mengawasi setiap indikasi suap-menyuap antara kandidat dengan elit partai. Kerjasama yang baik antara Bawaslu, PPATK, unsur penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Dirjen Pajak dan KPK dalam memerangi praktek mahar politik akan mengerem maraknya politik transaksional dalam Pilkada.***