Ancaman Boikot Pungut Pajak
PERSATUAN Perangkat Desa Nusantara (Parade Nusantara) mengancam memboikot seluruh kegiatan pemerintahan di tingkat desa, seperti pemungutan pajak bumi dan bangunan (PBB) jika RUU Desa tidak ditetapkan DPR sampai Oktober mendatang (SM, 20/09/11). Ancaman itu sangat kontradiktif dengan upaya Ditjen Pajak yang mengajak wajib pajak (WP) bangga membayar pajak dan mengajak keluarga/ teman peduli pajak. Slogan ’’Ayo Peduli Pajak, Bangun Negeri dengan Bayar Pajak’’ dipublikasikan lewat media massa, termasuk harian ini, terkait dengan sensus pajak nasional.
Ketika kasus Gayus Tambunan mencuat, muncul wacana ajakan boikot tidak membayar pajak, didorong oleh kejengkelan masyarakat atas ulah pegawai (waktu itu) Kantor Pajak di Jakarta tersebut. Ajakan boikot bayar pajak, seandainya dilaksanakan semua WP, tentu lebih besar dampaknya bagi kehidupan bernegara ketimbang ancaman memboikot kegiatan memungut PBB, sebagai upaya memaksa DPR mengesahkan RUU Desa.
Bagaimana sebaiknya masyarakat, WP, dan perangkat desa menyikapi ajakan tersebut? Apa dampaknya bagi pengajak boikot tidak memungut PBB? Seperti diketahui, tidak seperti pajak pusat lainnya, yang menganut sistim self assessment , besarnya PBB terutang ditetapkan oleh kantor pajak. Kemudian WP PBB menerima surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT), di dalamnya disebut pokok PBB terutang, dan besarnya sanksi administrasi bila terlambat membayar.
Persentase kontribusi PBB terhadap penerimaan pajak nasional relatif kecil dibanding dengan pajak lain yang dipungut pusat. Walaupun demikian peranannya turut membiayai negara tidak dapat diabaikan. Maka ajakan memboikot memungut PBB menjadi serius untuk disikapi secara bijak.
Dalam perkembangannya, makin banyak WP menyetor sendiri PBB melalui bank persepsi atau kantor pos, cukup dengan menunjukkan SPPT/ bukti setor tahun sebelumnya. Jasa pemungut PBB cenderung makin berkurang, upah pungut yang diterima semestinya berkurang sebanding dengan perannya, apalagi kalau mereka memboikot memungut pajak.
Tetap Terutang
Umumnya orang kurang rela membayar pajak karena pajak pada dasarnya pengalihan kemampuan ekonomis WP ke negara. Pemungutan pajak harus diatur oleh UU agar tidak semena-mena dan penagihannya dapat dilakukan secara paksa. Hasil pungutan pajak (fungsi budgeter) secara tidak langsung dinikmati semua warga negara dalam bentuk fasilitas dan pelayanan umum.
Selain berfungsi budgeter, pajak mempunyai fungsi mengatur lewat regulasi. Kebijaksaan pemberian stimulus fiskal bagi industri strategis, penentuan tarif PPN BM dan lain-lain, tidak lepas dari upaya mengatur agar ada percepatan pertumbuhan industri strategis yang dibutuhkan negara dan masyarakat serta terwujudnya keadilan. Pihak yang kaya menanggung beban pajak lebih besar, sesuai daya pikulnya,
Bagi WP yang terbujuk ajakan, seyogianya berpikir panjang karena utang pajak tidak akan hilang karena ikut boikot bayar. Mustahil pengajak boikot bisa menghapuskan pajak terutang beserta sanksinya karena dia tak punya kewenangan untuk itu. Artinya, pajak itu tetap terutang dan UU membenarkan petugas boleh menagih secara paksa, kalau WP tidak membayar.
Membayar pajak selayaknya dipandang tidak hanya kewajiban tapi juga hak warga negara untuk bela negara. Bela negara dengan membayar pajak agar negara makin mampu melindungi warga dan wilayahnya, sehingga hidup dalam suasana aman, nyaman, dan makin sejahtera. Bayar pajaknya, awasi penggunaannya, kata ajakan ini jauh sebelum kasus penyalahgunaan anggaran mencuat, telah disampaikan Ditjen Pajak, dan patut dilaksanakan semua pihak.
Sensus pajak nasional untuk intensifikasi dan ekstensifikasi pemungutan pajak patut didukung karena bertujuan terciptanya perpajakan yang adil dan meningkatkan kemampuan negara menyejahterakan rakyatnya. (10)
Drs Satori Adib Sihwadi MM, anggota Persatuan Para Pensiunan Pegawai Pajak (P5), tinggal di Semarang
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 1 Oktober 2011