Ancaman Delegitimasi KPK
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pengangkatan Pelaksana Tugas Pimpinan KPK hanya berusia 162 hari. Penolakan Perppu oleh Komisi III DPR bukanlah sesuatu yang aneh jika ditilik dari konstruksi konstitusi. Karena, memang sudah menjadi kewenangannya berdasarkan Undang-Undang 10 Tahun 2004. Akan tetapi, di balik penolakan ini, patut ditakutkan bahwa DPR tengah menyuguhkan ancaman deligitimasi terhadap KPK. Akankah sejarah berulang?
Selasa (2/3), Komisi III DPR menolak penerbitan perppu. Tujuh fraksi sepakat menolak. Penolakan didasarkan pada argumentasi bahwa perppu sudah tidak lagi memiliki nilai fungsi. Apalagi setelah kembalinya Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ke KPK. Sementara itu, dua fraksi lain, yakni Demokrat dan PKB menerima dengan alasan perppu bertujuan untuk menyelamatkan KPK.
Jika hendak menoleh ke belakang, keberadaan perppu sebenarnya sudah cacat sejak lahir. Dasar sepihak penerbitan perppu disebabkan berkurangnya jumlah pimpinan KPK karena ada proses hukum. Saat itu, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah dijadikan sebagai tersangka karena dituding terlibat kasus dugaan penerimaan suap. Sedangkan, Antasari Azhar menjadi tersangka kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Titik konflik penerbitan perppu pada saat itu berkaitan dengan tindakan presiden yang dinggap melanggar hukum. Sebab, sebagai salah satu lembaga independen (Independent Agency ), proses pengisian pimpinan kelembagaan KPK tak bisa dilakukan secara sepihak oleh presiden. Ada proses silang antara dua cabang kekuasaan yang harus dilalui. Oleh karena itu, dalam rumusan UU KPK, disebutkan secara tegas bahwa proses pengisian pimpinan lembaga itu juga harus melibatkan peran DPR.
Tidak hanya karena terang-terangan 'membajak' kewenangan lembaga legislatif. Keberadaannya pun dianggap tidak memenuhi unsur keadaan memaksa. Kegentingan ini menjadi kehilangan makna jika dihubungkan dengan subjektivitas presiden. Patut dicatat, pimpinan KPK hanya menjalankan fungsi administratif dan manajerial. Jika kehilangan pimpinan yang lain, tidak bisa dikatakan KPK berada dalam keadaan yang genting. Dengan demikian, logika keadaan memaksa terbantah sudah.
Penolakan Perppu KPK
Patut dicemaskan, DPR memiliki agenda lain dalam penolakan perppu ini. Kewenangan konstitusional DPR ( constitutional gift) harus kita baca secara berlapis dengan pendekatan yang berbeda. Tidak hanya melihat dari perspektif kewenangan, tetapi juga dari agenda 'tersembunyi'.
Langkah ini menjadi sangat penting dilakukan, untuk mengungkap ada atau tidaknya upaya perlawanan balik koruptor ( Corruptor Fight Back ). Karena, diyakini, kekosongan pimpinan KPK usai Tumpak akan menghidupkan lagi perlawanan lama tentang aspek kolektivitas pimpinan KPK. Reinkarnasi arus serangan balik oleh subjek yang sama.
Masih kuat dalam ingatan kita, pada fase awal pemberhentian Antasari Azhar sebagai ketua KPK, banyak pihak dalam Komisi III yang sangat bernafsu untuk menyekat laju lembaga ini. Paling tidak, catatan serius pada waktu itu terletak pada keinginan untuk melakukan seleksi ulang pimpinan KPK. Poin ini dimunculkan untuk mengarahkan pendapat publik pada sifat kepemimpinan KPK yang harus kolektif. Atas dasar itulah, DPR menilai, jika seleksi tidak dilakukan dan selama pengganti Antasari belum ada, KPK tidak bisa mengambil kebijakan yang sifatnya strategis.
Jika lembaga ini 'dilarang' untuk mengambil kebijakan strategis, sudah pasti akan sangat membahayakan agenda pemberantasan korupsi. Logika destruktif ini bisa jadi alat pemutus 'jaring' yang direntangkan untuk menjerat koruptor. Apalagi jika dikaitkan dengan agenda KPK pada tahun macan.
Dalam catatan ICW, paling tidak ada beberapa kasus besar yang menjadi prioritas penanganan KPK. Misalnya, kasus dugaan suap terkait Miranda Swaray Goeltom ketika menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada Juni 2004. Kasus lain yang tak kalah besar berkaitan dengan dugaan korupsi pengadaan sapi dan mesin jahit Departemen Sosial dengan tersangka mantan menteri sosial, Bachtiar Chamsyah.
Termasuk juga kasus fenomenal, Anggodo Widjojo yang dijadikan alat untuk mengkriminalisasikan dua pimpinan KPK. Beberapa kasus di atas belum termasuk skandal megabesar Century. Napas KPK sedang diuji untuk membongkar kasus yang diduga melibatkan banyak aktor di lingkaran kekuasaan. Tesis sederhananya, bagaimana mungkin KPK akan mampu menuntaskan kasus tersebut di tengah intaian delegitimasi yang mengancam serius.
Oleh Donal Fariz (Peneliti Indonesia Corruption Watch)
Tulisan ini disalin dari Republika, 8 Maret 2010