Anggaran Dan Kinerja DPR
KRITIK terhadap kunjungan DPR ke LN kembali bergulir. Dalam sebuah diskusi dengan mahasiswa Indonesia di Melbourne, anggota DPR tidak bisa memberikan alamat email resmi yang pada tahun 2010 dianggarkan sebesar Rp 10,9 miliar. Pertanyaan ini hanyalah salah satu dari sekian persoalan berkaitan dengan kunjungan DPR ke LN.
Anehnya, walaupun kunjungan kerja telah menjadi sorotan publik, anggaran untuk kunjungan publik terus saja meningkat 3,5 kali lipat dalam tiga tahun terakhir dan lebih dari 23 kali lipat sejak tahun 2005. Pada tahun 2005 anggaran kunjungan kerja ke LN hanya Rp 23,6 M dan meningkat signifikan dalam tiga tahun terakhir: 2010 (Rp 162, 9 miliar); 2011 (Rp 301 miliar); 2012 (Rp 541 miliar).
Anggaran total yang dikucurkan untuk mendukung kinerja 560 anggota DPR juga meningkat signifikan. Anggaran DPR meningkat lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Anggaran DPR berturut-turut untuk 2008-2012 adalah: Rp 1,7 triliun, Rp 2,021 triliun, Rp 2,7 triliun, Rp 3, 025 triliun dan lebih dari Rp 3,5 triliun untuk tahun depan. Artinya setiap anggota dewan di tahun 2012 akan mendapatkan dukungan anggaran kira-kira Rp 6,25 miliar setahun atau setara dengan Rp17 juta perhari. Anggaran yang fantastis ini tentu tidak diberikan jreng ke anggota dewan, tetapi dibagi menjadi dukungan sekretariat, tenaga ahli dan lainnya. Angka itu juga digunakan untuk menjamin terlaksananya tiga fungsi: anggaran, legislasi dan pengawasan. Tetapi tetap saja, angka ini menciptakan keheranan terutama jika dikaitkan dengan kinerja DPR.
Jumlah produk undang-undang yang dihasilkan DPR pada tahun 2008 dan 2009 hanya 56 dan 52 undang-undang. Hal ini termasuk sedikit karena setara sepuluh anggota DPR hanya menghasilkan satu undang-undang setiap tahun. Pada fungsi pengawasan, DPR lebih banyak bereaksi ketika masalah sudah terlanjur mencuat. Padahal, jika pengawasan berjalan baik, risiko bisa diminimalisir. Pertanyaannya, walaupun seluruh elemen civil society termasuk media telah dengan sangat keras mengkritik anggaran dan kinerja DPR, perilakunya cenderung tidak berubah dan bahkan semakin menjadi. Mengapa?
Pertama, disain arsitektur politik Indonesia yang menempatkan DPR sebagai lembaga yang sangat kuat. Penguatan fungsi DPR ini tercermin dalam produk-produk perundangan setelah Amandemen. DPR memiliki ”hak veto” dalam penentuan posisi-posisi strategis yang berada di Lembaga Sampiran Negara (state auxiliary agencies) seperti KPK dan KPU dan juga badan lain seperti pejabat di BI. Sebelum Amandemen, eksekutif lebih memainkan perannya. Sekarang, peran itu dibagi dengan DPR. Karena kuatnya posisi DPR, segala kritik yang ditimpakan kepadanya hanya berakhir menjadi angin lalu. Seluruh kritik tersebut tidak dapat menurunkan kekuatan politik DPR yang memang sudah ditegaskan dalam amanat konstitusi.
Kedua, komposisi internal DPR yang hanya memberikan porsi seperempat bagi Partai Demokrat (PD) yang mendukung pemerintah. Posisi PD yang tidak cukup kuat berpijak di DPR ini menyebabkan segala permintaan DPR akan selalu dituruti oleh eksekutif. Presiden, walaupun memenangkan pilpres dengan 60%, tidak cukup percaya diri menghadapi DPR. Keminderan ini terlihat dari upaya-upaya yang dilakukan dengan membentuk Setgab yang harapannya dapat mengamankan agenda eksekutif. Sayangnya, Setgab justru dimanfaatkan anggotanya untuk bermain politik dua kaki. PKS dan Golkar tidak pernah benar-benar mengamankan agenda PD dan eksekutif, tetapi lebih berorientasi pada kepentingan politik jangka pendek dan jangka panjangnya sendiri.
Dua hal ini membalikkan harapan terhadap kualitas DPR yang banyak berisi generasi muda dengan tingkat pendidikan yang tinggi sebagaimana mengemuka selepas Pemilu 2009. DPR tetap menunjukkan perilaku saudagar yang kental dengan suasana transaksional. Hampir bisa dipastikan, anggaran DPR untuk tahun 2013-2014 akan terus meningkat tidak terkendali sebagaimana tren yang ditunjukkan selama ini. Anggaran untuk kunjungan kerja LN juga akan terus meningkat walaupun kritik sudah sedemikian hebatnya. Gedung baru DPR juga akan tetap dibangun walaupun dengan penyesuaian kecil di sana-sini. Bahkan diduga pula bila DPR menganggarkan pulsa Rp 151 M tiap tahun.
Dengan arsitektur politik seperti ini, tidak banyak yang bisa diharapkan dari DPR hasil Pemilu 2009. Harapan satu-satunya bertumpu kepada para pemilih agar tak lagi mengulang kesalahan ketika memilih di 2009. Itupun jika pemilih cukup teguh berpegang pada prinsip membangun bangsa ini. Karena iming-iming yang ditawarkan, bisa jadi lebih gemerlap dari lima tahun sebelumnya, ketika anggaran DPR hanya sepertiganya.
(Oleh:Bayu Dardias, Penulis adalah pakar politik Fisipol UGM)
Tulisan ini disalin dari Kedaulatan Rakyat, 13 Mei 2011