Anggaran Pendidikan 2009 Rawan Manipulasi

Audit BPK 2007 Temukan Pelanggaran Rp 852 Miliar

Anggaran pendidikan 2009 akan melonjak hingga mencapai Rp 224 triliun. Namun, besarnya anggaran tersebut berpotensi menimbulkan banyak praktik manipulasi yang dilakukan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dihimpun Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukkan kekhawatiran tersebut. Pada semester II tahun 2007, BPK menemukan pelanggaran anggaran pendidikan Depdiknas sebesar Rp 852 miliar.

Temuan BPK tersebut meliputi denda yang belum dipungut, kerugian negara, pemborosan, pertanggungjawaban tanpa bukti, dana yang tidak tepat sasaran, dan penyimpangan pengelolaan aset oleh Depdiknas. Penyimpangan yang disebut terakhir menyedot anggaran Rp 815 miliar, terbesar jika dibandingkan pelanggaran lain.

Koordinator Bidang Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan menyatakan, dengan anggaran tahun 2007 yang "hanya" mencapai Rp 126 triliun, nominal pelanggaran yang ditemukan BPK sedemikian besar. Dengan rencana lonjakan anggaran sebesar itu, pemerintah sampai saat ini belum memiliki rencana strategis (renstra) untuk memaksimalkan pengelolaan dana tersebut. "Tidak bisa diperkirakan berapa jumlah pelanggaran yang akan terjadi (pada 2009) nanti," kata Ade.

Menurut Ade, kebijakan penggunaan anggaran selalu bermasalah setiap tahun. Salah satu contohnya, Depdiknas tidak pernah memiliki porsi yang jelas alokasi dana bagi pendidikan dasar hingga tinggi.

Apalagi pembahasan Depdiknas dengan DPR selama ini jauh dari kata transparan. Jangankan terlibat, tidak ada ruang bagi publik untuk sekadar tahu bagaimana proses pembahasan anggaran tersebut. "Ada rezim rahasia negara yang selalu ini dipegang kuat oleh Depdiknas," kata Ade.

Lebih lanjut, Ade mengingatkan, rezim yang dibawa Depdiknas itu sudah menimbulkan praktik korupsi anggaran pendidikan di semua tingkatan. Jika pada pembahasan anggaran 2009 sistem pembahasan anggaran yang sama masih terjadi, dikhawatirkan pelanggaran yang dilakukan akan semakin besar. "Karena polanya sama, harus ada pihak ketiga yang mampu mengawasi proses itu," desak Ade. (bay/nw)

 

Sumber: Jawa Pos, 23 September 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan