Antara Anton Bachrul Alam dan Susno
HARI-HARI ini Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri (BHD) dipastikan pusing tujuh keliling. Perseteruan antara Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji dan KPK membuat BHD terus-menerus mendapatkan serangan dan kecaman. Puncaknya ketika Polri menahan mantan Ketua KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah.
Tanpa ada yang mengomando, sejumlah tokoh nasional, ahli hukum, dan media massa serentak mengecam penahanan Bibit dan Chandra. Ratusan ribu orang juga menyatakan dukungan dan simpatinya kepada Bibit dan Chandra melalui jejaring sosial Facebook. Citra korps kepolisian pun terus merosot akibat permusuhannya dengan lembaga antikorupsi tersebut.
Polisi dituding sangat berlebihan dan panik setelah transkrip pembicaraan telepon antara pihak yang terkait kasus suap bos Masaro Anggoro Widjojo dengan petinggi Polri dan Kejagung terekspos di media massa. Isi rekaman itu semakin menguatkan dugaan adanya rekayasa dan kriminalisasi KPK dalam drama Cicak versus Buaya tersebut.
Sebelumnya, Kapolri didesak mencopot Kabareskrim Susno Duadji. Penyebabnya, pertama, Susno diduga terlibat penyuapan kasus Bank Century. Kedua, Susno dituduh terlibat kasus dugaan rekayasa untuk mengkriminalisasi pimpinan KPK terkait dengan kasus bos Masaro Anggoro Widjojo yang kini menjadi buron KPK.
Hingga kini, Kapolri belum juga menonaktifkan Susno Duadji dari jabatan sebagai orang nomor satu di jajaran Bareskrim Polri. Kapolri berdalih, Sidang Kode Etik Polri tidak menemukan adanya pelanggaran etika pada mantan Kapolda Jabar itu. Namun, publik kembali tidak puas dengan keputusan tersebut. Institusi kepolisian justru dianggap tidak serius dalam memeriksa Susno karena tidak menghadirkan saksi dari luar dan barang bukti yang dinilai bisa menguatkan tuduhan terhadap Kabareskrim.
Di tengah turunnya popularitas polisi itu, publik -khususnya di Jawa Timur- dikejutkan oleh pergantian Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Anton Bachrul Alam. Memang, bukan hanya Kapolda Jatim yang dimutasi. Beberapa Kapolda lainnya juga dimutasi yang serah terimanya sudah dilakukan di Mabes Polri pekan lalu. Irjen Anton yang baru delapan bulan menjadi Kapolda Jatim tiba-tiba ''di-sahli (staf ahli)-kan'' di Mabes Polri. Dia menjadi staf ahli Kapolri bidang sosial ekonomi.
Selama ini, jabatan sahli sering diidentikan dengan tempat ''pembuangan'' jenderal polisi yang bermasalah. Misalnya, mantan Kapolda Sumut Irjen Pol Nanan Soekarno yang ''di-sahli-kan'' pasca terjadinya unjuk rasa anarkis di DPRD Sumut yang mengakibatkan tewasnya Ketua Dewan Abdul Aziz Angkat. Kini Nanan yang disebut-sebut orangnya BHD itu menjadi Kadiv Humas Polri.
Kapolda Maluku Brigjen Pol Gatot Guntur Setiawan juga ditarik menjadi sahli Kapolri karena dinilai kecolongan atas pengibaran RMS (Republik Maluku Selatan) di depan presiden. Selain itu, Kapolda Kalimantan Barat Brigjen Pol Zainal Abidin Ishak masuk kotak di Mabes Polri menjadi sahli Kapolri. Dia dituding melakukan pembiaran terjadinya pembalakan liar di wilayahnya.
Beda Perlakuan
Pergantian Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bachrul Alam menjadi sahli Kapolri di luar perkiraan banyak orang. Bukan karena Anton diganti Brigjen Pol Pratiknyo yang sebelumnya menjadi Wakaba Intelkam Polri. Tapi, lantaran posisi baru Anton yang sama sekali bukan promosi. Padahal, kinerja Anton sebagai Kapolda Jatim tergolong sukses.
Dia berhasil menjaga suhu politik dan situasi kamtibmas di provinsi yang menjadi barometer nasional itu tetap kondusif. Mulai tiga kali pilgub Jatim, pileg, hingga pilpres. Di bawah kepemimpinan jenderal polisi yang alim ini, banyak kasus kriminal menonjol yang diungkap jajaran polisi di Jawa Timur. Tak cuma itu, masyarakat dan tokoh agama di Jatim juga gandrung dan cocok dengan penampilan Anton yang religius tersebut.
Kapolri mestinya tetap mempertahankan atau memberikan posisi yang lebih baik kepada petinggi polisi seperti Anton. Sebab, tak banyak polisi sekualitas Anton. Kinerja dan perilakunya yang baik sangat bermanfaat untuk memperbaiki citra kepolisian. Terutama saat ini ketika citra polisi sudah jatuh pada titik yang paling nadir.
Beda Anton, beda pula Susno yang bisa dibilang lebih beruntung. Jika banyak orang merasa kecewa atas mutasi Anton, sebaliknya, publik ngedumel karena Susno tidak juga dinonaktifkan dari jabatan Kabareskrim. Bahkan, Kapolri terkesan melindungi dan membela Susno Duadji. Padahal, dialah biang kekusutan dalam konflik antara polisi dan KPK yang tak kunjung berakhir itu.
Nama Susno Duadjo sebelumnya tidak masuk bursa menjadi Kabareskrim. Perwira tinggi polisi kelahiran Palembang ini tidak disebut-sebut sebagai orang yang akan mengisi kursi yang ditinggalkan BHD menjadi Kapolri. Saat itu, nama-nama calon Kabareskrim yang muncul adalah Wakabareskrim Irjen Pol Paulus Purwoko (Akpol 77), Irjen Pol Kadiv Telematika Irjen Alex Bambang Riatmodjo (Akpol 77), Komjen Pol Gories Mere (Akpol 76), Kadiv Binkum Irjen Pol Ariyanto Sutadi (Akpol 77), dan Irjen Pol Edi Darnadi (Akpol 74).
Baru belakangan nama Susno (Akpol 77) muncul dan langsung terpilih menjadi Kabareskrim. Saat itu, muncul kabar bahwa naiknya Susno menjadi bos reserse kriminal karena tiket yang diberikan Mensesneg Hatta Rajasa (sekarang Menko Perekonomian). Tapi, kabar itu langsung dibantah oleh Hatta Rajasa. Dia mengaku tidak punya hubungan khusus dengan Susno, meski sama-sama berasal dari Palembang. Dia juga membantah mencalonkan Susno sebagai Kabareskrim.
Kini, ketika figur Susno terkesan kebal dan kuat, kita kembali teringat dengan berita tersebut. Bagaimana Kapolri mau pasang badan hanya untuk membela Susno? Publik bertanya, adakah beking lainnya yang lebih besar berada di belakang Susno? Kapolri harus bisa menjawab semua pertanyaan itu dengan mengusutnya secara objektif dan transparan. (*)
Imam Syafi'i , Pemred JTV, Ombudsman Jawa Pos
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 4 November 2009