Antara TEMPO, Asian Agri, dan JI; Aset Berharga Bernama sang Pembocor
WILLIAM Mark Felt, Sherron Watkins, dan Inu Kencana memiliki persamaan: mereka adalah peniup peluit (whistleblower) alias pembocor praktik tak terpuji dari lembaga yang mereka kenal dengan baik. Mark Felt adalah bekas wakil direktur Biro Penyelidik Negara (FBI) Amerika Serikat. Dalam kurun 1972-1974, dia membocorkan kepada wartawan The Washington Post, Bob Woodward, mengenai skandal Watergate yang berujung pada terjungkalnya Nixon dari kursi kepresidenan pada 1974. Lebih dari 30 tahun dunia hanya mengenal Mark Felt sebagai Deep Throat karena Woodward memegang teguh janjinya untuk menutup rapat jati diri sang pembocor tersebut, sampai Mark Felt sendiri yang mengungkapkan perannya itu secara terbuka 2005.
Sherron Watkins adalah petinggi bidang pembukuan Enron, sebuah perusahaan energi di AS. Pada 2001, Watkins membocorkan penyelewengan keuangan di perusahaan tersebut hingga membangkrutkan perusahaan itu dan menyeret sejumlah petingginya ke penjara. Adapun Inu Kencana adalah dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang dalam empat tahun terakhir ini rajin menelanjangi sejumlah kebobrokan yang terjadi di lembaga tempatnya mengabdi tersebut.
Deretan nama itu bisa ditambah dengan Vincentius Amin Sutanto. Dia mengurusi keuangan Asian Agri, perusahaan yang terkait dengan Sukanto Tanoto yang pernah dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya nomor satu di Indonesia. Pada 2006, Vincent membocorkan dugaan penggelapan pajak perusahaan tempatnya bekerja itu kepada majalah dan koran TEMPO.
Para pembocor dari kalangan dalam adalah aset amat berharga dalam setiap proses investigasi, baik itu investigasi yang dijalankan lembaga-lembaga resmi negara (kepolisian, kejaksaan, pengadilan) maupun investigasi tidak resmi yang dijalankan media massa melalui praktik jurnalisme investigatif (JI). Semua buku rujukan penting JI menganjurkan agar wartawan berupaya mendapatkan para pembocor dari kalangan dalam tersebut.
Para pembocor itu boleh jadi memiliki motif tertentu saat membocorkan rahasia dapur lembaganya. Entah karena sakit hati lantaran perlakuan tak adil dari perusahaan, ingin memojokkan seteru mereka, ataupun semata-mata karena niat murni dan tulus ingin memberantas praktik busuk yang tak sesuai dengan hati nurani mereka. Wartawan tetap perlu berhati-hati terhadap motif-motif tersebut. Namun, urusan motif bisa dikesampingkan jika wartawan memiliki keyakinan penuh bahwa kepentingan publik yang lebih besar tengah menjadi taruhan. Mereka yang memahami dunia jurnalistik hingga ke tingkat praktis -bukan sekadar berkutat dengan teori tanpa pernah bersinggungan secara langsung dengan situasi di lapangan yang penuh dinamika- tentu tidak merasa asing lagi dengan pedoman di atas.
Jika tidak ada Mark Felt, Sherron Watkins, Inu Kencana, dan Vincentius, hampir pasti masyarakat tidak akan mendapatkan informasi mengenai skandal Watergate, kebusukan para petinggi Enron, kebobrokan IPDN, dan dugaan praktik penggelapan pajak Asian Agri. Di banyak negara yang memiliki niat sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan publik, para pembocor itu dilindungi, bahkan beroleh dispensasi dalam proses hukum, kendati melakukan kejahatan pidana, asalkan mau membantu proses penyelidikan.
***
Tjipta Lesmana, Hermin Indah Wahyuni, dan Wahyu Wibowo dipersatukan oleh sebuah diskusi publik di Jakarta, 18 Desember 2007, yang disponsori Asian Agri. Ketiga nama itu secara terpisah telah dilibatkan Asian Agri untuk meneliti berita-berita tentang dugaan skandal pajak perusahaan tersebut yang dimuat majalah dan koran TEMPO.
Tjipta yang dikenal ahli komunikasi dari Universitas Pelita Harapan diminta sebagai pribadi. Hermin yang menyandang titel doktor komunikasi dan menjabat ketua Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada diminta secara kelembagaan. Wahyu, alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang bergiat di bidang penelitian komunikasi, mengaku bertindak proaktif menawarkan jasa lembaganya, Pusat Penelitian dan Pengkajian Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, untuk meneliti topik yang sama. Logo UGM dan UI pun terpampang terang benderang di spanduk acara itu, kendati belakangan UGM menyatakan akan menelusuri lebih jauh riwayat munculnya penelitian tersebut. Sementara itu, UI membantah dengan mengatakan bahwa lembaga Wahyu tak memiliki kaitan dengan UI.
Kesimpulan penelitian mereka mirip, meskipun dilakukan secara terpisah. Mereka menilai berita-berita TEMPO tentang kasus Asian Agri mengandung bias. Kesimpulan itu mereka tarik berdasar sejumlah pertanyaan. Di antaranya, mengapa TEMPO gencar memberitakan kasus Asian Agri dan seberapa berimbangkah pemberitaan TEMPO untuk kasus tersebut. Mereka menggunakan metode analisis isi, analisis wacana kritis, dan analisis kerangka. Di dunia akademis, metodologi yang mereka gunakan memang memiliki beberapa kekuatan. Misalnya, tak sulit dilakukan, berbiaya relatif rendah, bisa menelaah topik yang tengah ataupun telah berlangsung, tidak mengganggu pihak yang tengah diteliti (karena penelitian hanya berdasar teks). Namun, banyak pula kritik yang sudah dilontarkan terhadap metodologi tersebut, terutama karena kemungkinan hilangnya konteks yang menjadi dasar lahirnya sebuah teks.
Hilangnya konteks inilah yang amat kelihatan dalam hasil penelitian ketiga peneliti tadi. Mereka jadi tak peduli terhadap alasan TEMPO yang gencar memberitakan kasus Asian Agri tersebut. Padahal, jawabannya jelas: karena ada kepentingan publik yang besar di sana. Pers yang independen, bernurani, berani, dan bernyali pasti tidak akan mendiamkan kasus-kasus semacam itu. Para peneliti tersebut juga tak merasa perlu untuk memahami mengapa Vincentius kelihatan lebih diberi porsi dalam pemberitaan TEMPO. Jawabannya sebetulnya juga jelas: karena Vincent memang memiliki banyak informasi berharga yang didukung dokumen lengkap, sementara menurut pengakuan TEMPO, pihak Asian Agri tak begitu memberikan perhatian terhadap permintaan TEMPO untuk mengklarifikasi data-data yang dimiliki TEMPO. Dalam hal itu, Vincent adalah sang pembocor yang menjadi aset amat berharga sesuai dengan panduan dalam praktik JI sebagaimana yang dijelaskan di awal tulisan ini.
***
Pihak penyelenggara memberi tajuk diskusi publik tersebut dengan Menguak Misteri di Balik Berita Kasus Pajak Asian Agri. Istilah misteri di sini sebetulnya merujuk pada serangkaian pertanyaan yang diajukan para peneliti sebagaimana disebutkan terdahulu. Sebetulnya, justru hasil penelitian dari ketiga peneliti itulah yang mengandung banyak misteri alias pertanyaan. Dari segi independensi, tentu muncul pertanyaan bagaimana para peneliti tersebut bisa menjamin bahwa penelitian mereka independen, sementara penelitian itu dipesan pihak Asian Agri yang notabene adalah pihak yang tengah dibelit masalah dan diberitakan oleh TEMPO.
Hermin dari UGM menyebut, pihaknya menerima bayaran 10 persen dari Rp 1,3 triliun (angka yang disebut aparat pajak sebagai jumlah pajak yang digelapkan Asian Agri) atau setara dengan Rp 130 miliar, sebuah jumlah yang fantastis. Hampir pasti Hermin bergurau dan asal-asalan saat menyebut jumlah itu. Namun, tentu saja, penelitian Hermin dan timnya tidak gratis. Tjipta mengaku tak tahu akan dibayar atau tidak. Wahyu tidak menyebut angka, namun dengan terang-terangan menyebutkan bahwa dirinya suka amplop dan isinya; tidak seperti wartawan idealis yang tak mau menerima amplop dan isinya.
Memang, salah satu nilai ideal dalam dunia jurnalistik adalah larangan menerima amplop dari sumber berita. Sebab, jika wartawan menerima amplop, independensinya dikhawatirkan tergadai. Wartawan yang menerima amplop akan cenderung membesar-besarkan berita positif yang terkait dengan diri si narasumber pemberi amplop atau menutup-nutupi berita yang akan berdampak negatif kepada si pemberi amplop. (arya.gunawan@gmail.com)
Oleh Arya Gunawan, Pengamat media, mantan wartawan Kompas (1987-1995) dan BBC London (1995-2000).
Tulisan ini juga dimuat di majalah TEMPO edisi 6 Januari
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 7 Januari 2008
--------------
Sebuah Upaya Membuat Jera dan Jeri
SALAH satu nilai ideal jurnalistik adalah larangan menerima amplop karena dapat memengaruhi independensi: cenderung membesar-besarkan berita positif atau menutup-nutupi berita negatif, yang terkait si pemberi amplop.
Terkait ihwal independensi ini, ada baiknya merujuk Julien Benda, sosiolog dan sejarawan dari Prancis, yang pada 1927 menerbitkan buku La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Intelektual). Tesis utama Benda adalah bahwa intelektual yang seharusnya melakukan analisis rasional, logis, dan bertanggung jawab, berpeluang tergoda, sehingga mengatakan sesuatu sebagai kebenaran, padahal tak jelas apakah sesuatu itu benar-benar kebenaran, atau mengatakan sesuatu sebagai kebenaran, padahal tahu persis bahwa sesuatu tersebut bukan kebenaran.
Data dan fakta yang menjadi landasan ilmu bisa ditekuk dan dipilah sesuai keinginan seorang intelektual. Saya ingin merujuk ke artikel Tjipta Lesmana di Kompas, 23 Oktober 2003 (bisa dilihat di http://kompas.com/kompas-cetak/0310/23/opini/639583.htm). Dia menegaskan, pers bisa digugat untuk kasus pencemaran nama baik. Dia mencomot sejumlah contoh, antara lain dari AS. Saya menanggapi bahwa menggugat pers berdasarkan pengalaman di AS tidaklah semudah seperti dipaparkan Tjipta. Artikel Tjipta hanya menyajikan separo kebenaran. Fakta yang tak ditampilkannya saya hadirkan dalam artikel tanggapan saya (bisa dilihat di http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/30/opini/649866.htm).
Dalam artikelnya itu, Tjipta menyebutkan: Dalam putusannya terhadap delik pers New York Times versus Sullivan pada 1964, Mahkamah Agung AS dengan tegas mengatakan: Public officials no longer could sue successfully for libel unless reporters or editors were guilty of actual malice when publishing false statements about them. Ini berarti wartawan bisa dituntut secara hukum jika tulisannya ternyata tidak benar dan wartawan bersangkutan tidak mempunyai upaya untuk mengecek kebenaran informasi yang diperolehnya.
Memang benar wartawan bisa dituntut terkait tulisannya. Namun, kesimpulan Tjipta sangat berbeda nuansanya jika merujuk kepada teks Inggris yang dikutipnya. Sebab, teks tersebut justru menyatakan hal yang sebaliknya: para pejabat publik TIDAK LAGI bisa menuntut secara sukses dengan alasan pencemaran nama baik, kecuali jika si penuntut bisa membuktikan adanya actual malice (niat buruk yang disengaja).
Dia juga mengutip kasus Jenderal Westmoreland, mantan panglima pasukan AS di Vietnam, versus stasiun televisi CBS. Menurut Tjipta, CBS akhirnya mengalah dan bersedia membayar kompensasi tidak kecil kepada Westmoreland, selain minta maaf secara terbuka. Fakta versi Tjipta itu tidak sesuai dengan kejadian sesungguhnya, yaitu bahwa kasus ini berakhir dengan penyelesaian di luar pengadilan, dan kedua pihak dianggap sama-sama menyerah.
Kembali ke diskusi publik Asian Agri itu. Di sana Tjipta tampil dengan sejumlah komentar yang terkesan menyudutkan profesi jurnalistik, membesar-besarkan dirinya sebagai pakar yang mumpuni. Puncaknya, dia mengumpat Metta Dharmasaputra, wartawan Tempo yang melacak kasus Asian Agri ini, dengan menyebut: taik kucing itu Metta. Berdasar standar yang saya anut, sikap dan tutur kata Tjipta jauh dari apa yang lazim melekat pada seorang intelektual/akademisi.
***
Ringkasan penelitian UGM sepanjang 2,5 halaman tidak mudah dicerna. Ada kalimat ini: koefisien reliabilitas kesepakatan dua koder terhadap lima item berita yang berisi 88 paragraf melalui 28 kategori dan 134 unit kelas adalah 0.8731. Atau: Ketidakpadanan dalam menerapkan professional journalism standard dengan sendirinya berakibat pada ketidaksesuaian terhadap utamanya pasal 1, 2, 3, dan 8 yang ada di dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia. Atau istilah media yang diteliti, media yang terteliti. Semua mencerminkan kesulitan peneliti memaparkan pikiran mereka dengan jernih.
Akurasi juga layak dipertanyakan: mulai penulisan tahun yang ceroboh (tertulis 2027, semestinya 2007), hingga ke penarikan kesimpulan (contohnya, menyimpulkan berita-berita Tempo dalam kasus lumpur Lapindo tidak menuding Aburizal Bakrie sebagai orang yang harus bertanggung jawab. Padahal, sejumlah laporan Tempo menuntut tanggung jawab Aburizal Bakrie).
Era reformasi telah melahirkan kemerdekaan pers, dan salah satu bukti nyata pers yang merdeka adalah tumbuh dan berkembangnya JI (jurnalisme investigatif). Tentu saja banyak pihak yang tak suka, karena khawatir kepentingan mereka akan terusik. Berbagai upaya akan mereka lakukan untuk menghambat JI, agar pers jera dan jeri (dikenal sebagai chilling effect), entah lewat tekanan bisnis, ancaman, dan aksi kekerasan terhadap wartawan dan lembaga media, ataupun memanipulasi pandangan publik. Tidak ada yang bisa dilakukan pers yang punya nurani dan nyali, selain tetap merawat semangat JI, semata-mata demi kepentingan orang banyak. (arya.gunawan@gmail.com)
Oleh Arya Gunawan, Pengamat media, mantan wartawan Kompas (1987-1995) dan BBC London (1995-2000). Tulisan ini juga dimuat di majalah TEMPO edisi 6 Januari.
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 8 Januari 2008