Antinomi Hukum
Kasus pelantikan Wali Kota Tomohon benar-benar mengusik cita dan rasa penegakan hukum di negeri ini. Ia dilantik bukan di Tomohon, dalam sebuah sidang pleno luar biasa DPRD Kota Tomohon, mengucapkan sumpah dan janji untuk menjalankan peraturan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa setelah mendapatkan izin ketua majelis hakim tipikor.
Hal yang tentunya anakronistis, bahkan cenderung ironis dan tragis, karena pada saat yang sama ia sedang menyandang status terdakwa kasus korupsi. Bahkan, di tangannya, Pemerintah Kota Tomohon nyaris bangkrut (Kompas, 11/1/2011).
Hal yang sebenarnya bisa jadi bukti bahwa ia menjadi terdakwa karena tidak menjalankan peraturan dengan baik dan merugikan masyarakat, nusa, dan bangsa sebagaimana ketika ia dilantik lima tahun lalu.
Akan tetapi, begitulah sifat antinomi dalam sebuah peraturan, termasuk yang mengatur soal pelantikan kepala daerah. Antinomi yang lahir dari sebuah pertentangan klasik cara berpikir Immanuel Kant yang dituliskan dalam Critique of Pure Reason, tentang pertentangan fundamental antara akal dan alam.
Pertentangan itu kemudian memberikan pengaruh yang besar kepada cara berpikir hukum yang mencari kesetimbangan di antara berbagai hal yang berlawanan, tetapi harus tetap dijaga. Dari situlah konsep antinomi dalam hukum lahir, sebagai sebuah ”konsep pertentangan” yang menjadi pijakan dalam melakukan proses analitis terhadap norma-norma dan nilai-nilai di dalam suatu aturan hukum.
Dalam kasus wali kota Tomohon, itu yakni ketika ada kebutuhan untuk kepastian keberlanjutan hukum dan pemerintahan, serta pada saat yang sama ada kebutuhan untuk tuntutan etika dalam pemerintahan. Padahal keduanya berada pada posisi saling menegasi.
Sulit untuk ditolak bahwa ia harus dilantik karena dialah pemenang kontestasi politik yang ditetapkan dalam UU Pemerintahan Daerah. Mustahil juga untuk menolak sehingga membiarkan wakil wali kota terpilih yang tidak ikut menjadi tertuduh harus gagal dilantik akibat ”cacat” hukum pasangannya.
Akan tetapi, sulit untuk membayangkan seorang terdakwa kasus korupsi tiba-tiba harus menjadi kepala daerah, yang salah satu syaratnya adalah bersih dari segala tindakan berbau korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sulit untuk membayangkan, ia melantik para pejabat eselon III di lingkungan Kota Tomohon, mengambil sumpah mereka, sedangkan pada saat yang sama ia sendiri dihadapkan pada perkara pelanggaran terhadap sumpah yang telah ia ucapkan. Kondisi ini tercipta, lagi-lagi karena kualitas pembentukan peraturan perundang-undangan yang juga mengalami antinomi.
Transaksional, penuh kepentingan
Wolfgang Friedmann menjelaskan, pertentangan-pertentangan antinomi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terjadi sebagai akibat dari posisi alamiah hukum itu sendiri, yang berdiri di antara nalar filsafati dan kebutuhan praktis politik yang penat kepentingan.
Kategori-kategori intelektual hukum dibangun dari penalaran filsafat yang panjang dan holistik, sedangkan cita-cita keadilan di dalam hukum dikonstruksikan melalui sebuah mekanisme politik yang cenderung transaksional.
Akibatnya, menurut Friedmann, hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, melainkan merupakan resultan dari beraneka ragam proses internalisasi, intrusi, dan negosiasi berbagai kepentingan di antara faksi-faksi dan aktor-aktor dalam masyarakat.
Logika ini terasa di UU Pemerintahan Daerah yang memberikan jarak sangat lebar antara penjagaan kualitas individu kepala daerah dan proses administrasi pelantikan kepala daerah itu sendiri. Misalnya, harus ada rezim izin terhadap pemeriksaan kepala daerah.
Hal yang kita ketahui bersama menjadi sumber dari malapetaka birokratisasi penegakan hukum antikorupsi terhadap mereka yang melanggar. Pemberhentian yang menunggu putusan juga berpotensi memperpanjang durasi kepemimpinan kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi melalui sebuah kata sakti putusan, in kracht.
Hal-hal yang lahir bukan hanya karena pertentangan antara asas kepastian hukum atas hak individu pemenang pilkada dan etika masyarakat akan kepemimpinan, melainkan juga lahir dari proses pembentukan hukum yang penuh kepentingan. Kekosongan aturan yang bisa jadi karena by design ataupun by accident telah berakibat pada kejadian pelantikan Wali Kota Tomohon.
Langkah diskresif
Dalam konsep yang seperti ini, maka penegakan hukum seharusnya mau menghindari ”keterjebakan” pada posisi antinomi yang berpotensi saling mengunci dan tanpa kesudahan. Ruang kosong akibat tidak diatur dalam UU malah tidak dijadikan alasan untuk mengatakan UU ”memperbolehkan”.
Malah seharusnya, dicarikan terobosan hukum demi penegakan hukum yang lebih bermakna dan tentunya jauh lebih luas dibanding sekadar diterjemahkan sebagai UU. Sayangnya, terobosan hukum yang seringnya diberi label diskresi malah tidak dilakukan.
Harusnya, pemerintah mengantisipasi dengan mengisi kekosongan hukum dengan tindakan diskresif. Misalnya, begitu Jefferson Rumajar dilantik menjadi Wali Kota Tomohon, pada saat yang sama ia juga harus diberhentikan sementara sehingga terbuka peluang bagi wakil kepala daerah untuk memegang jabatan kepala daerah sementara. Membuka ”ruang jeda” bagi Wali Kota Tomohon untuk memimpin dari penjara adalah pelantun makna disosiasi akibat antinomi, termasuk ketika ia melantik pejabat di lingkungan pemerintahan daerah Kota Tomohon.
Untuk mencegah repetisi posisi kasus seperti ini, perbaikan aturan hukum tentu menjadi perlu. Dalam hal tertentu, pengisian aturan hukum untuk mengatur kepala daerah yang terpenjara sangat penting dilakukan meski di tengah terbukanya pertentangan akibat sifat dasar dari antinomi dalam hukum itu sendiri.
Hal yang harus dilakukan karena memang mencapai urgensi yang sangat tinggi, karena di ujungnya kita berhadapan dengan kualitas pemerintahan daerah yang menjadi sangat penting bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat.
Ketika kita gagal membangun dan menutup ruang kosong yang tercipta akibat antinomi dalam peraturan perundang-undangan, maka hal itu malah bisa merusak pelaksanaan demokrasi, termasuk cara pandang terhadap demokrasi itu sendiri.
Gagalnya hukum untuk memberikan rasa nyaman dan antikoruptif untuk dirasakan oleh semua kalangan masyarakat adalah lonceng penanda rapuhnya bangunan hukum dan demokrasi itu sendiri. Bangunan yang merepih dan kemudian akan terburai hancur tanpa bekas.
Zainal Arifin Mochtar Pengajar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta; Direktur PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 12 Januari 2011