Apa Arti Hukum Tanpa Moralitas
Nyaris setiap hari pemberitaan kasus korupsi mewarnai media cetak maupun elektronik. Seakan perilaku korupsi menjadi gaya hidup para pejabat. Belum habis proses hukum untuk satu pejabat, polah sama dari pejabat lain pun muncul. Rupanya vonis bagi koruptor di negeri ini belum memberi efek jera.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi dasar hukum untuk menjerat perilaku menyimpang pejabat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi. Umumnya terdakwa dijerat dengan Pasal 2 dan atau Pasal 3.
Pasal 2 mengatur bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Adapun Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Mengutip seorang penulis asal Amerika, David M Chalmers, istilah korupsi dalam berbagai bidang berkaitan dengan penyuapan, manipulasi di bidang ekonomi, serta kepentingan umum.
Di Indonesia dasar hukum yang digunakan sebisa mungkin menjadi rambu-rambu pelanggaran berupa korupsi. Namun, sekali lagi, dasar hukum yang diterapkan belum menimbulkan efek jera.
Menengok perkara-perkara yang disidangkan di pengadilan negeri di berbagai kota dan kabupaten di Jawa Timur merupakan kasus korupsi yang melibatkan unsur kepala daerah.
Salah satunya Bupati Pasuruan (nonaktif) Dade Angga yang disidangkan di Pengadilan Negeri Sidoarjo. Dia didakwa melakukan tindak pidana korupsi dari dana kas daerah (kasda) Pemerintah Kabupaten Pasuruan senilai Rp 10 miliar.
Jaksa penuntut umum menilai terdakwa melanggar Pasal 2 (primer) dan Pasal 3 (subsider) sehingga pada sidang dengan agenda pembacaan surat tuntutan pada 26 Oktober, jaksa menuntutnya delapan tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Menikmati bunga kasda
Penilaian tersebut muncul karena Dade memerintahkan Kepala Bagian Keuangan Pemerintah Kabupaten Pasuruan Indra Kesuma memindahkan dana kas daerah dari Bank Jatim Pasuruan ke Bank Bukopin Malang. Pemindahan dana kas yang dilakukan pada 26 Mei 2003 tersebut menjadi permasalahan.
Tanggal tersebut merupakan sepekan sebelum masa jabatan Dade Angga sebagai Bupati Pasuruan periode pertama berakhir. Oleh sebab itu, dia dinilai turut menikmati bunga simpanan kasda.
Melalui penasihat hukumnya, Sudiman Sidabukke, terdakwa menganggap tuntutan jaksa lemah. Apalagi jaksa mempermasalahkan pemindahan kasda pada tahun 2003, padahal pemindahan dana tersebut telah dilakukan sejak tahun 2001.
Sidang putusan bagi Dade Angga yang sedianya digelar pada 25 November lalu ditunda karena ketua majelis hakim Abdul Aziz sakit. Rencananya sidang akan digelar pada Kamis (2/12).
Seperti Dade Angga, Bupati Jember (nonaktif) Mohammad Zainal Abidin Djalal juga sedang menunggu putusan majelis hakim.
Dia menjadi terdakwa karena diduga melakukan korupsi dalam pengadaan mesin daur ulang aspal senilai Rp 1,5 miliar. Akibat tindakannya, MZA Djalal diduga menyebabkan kerugian negara Rp 459,18 juta.
Djalal harus menjalani proses hukum atas tindakan yang dilakukan saat masih menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Bina Marga Jawa Timur pada tahun 2004.
Hampir sepanjang persidangan yang digelar mulai 6 Oktober, bisa dikatakan Djalal berada di atas angin.
Berbagai fakta dan bukti yang dihadirkan oleh unsur hakim, jaksa, dan pengacara di persidangan hampir seluruhnya menguatkan posisi terdakwa.
”Angin perlawanan” berembus saat seorang ahli dihadirkan untuk memberi keterangan, yaitu Setya Budi Arijanta. Saksi tersebut hadir atas supervisi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam pemaparannya di hadapan majelis hakim, disebutkan bahwa metode penunjukan langsung dalam pengadaan mesin daur ulang aspal oleh Dinas PU dan Bina Marga Jatim tahun 2004 tidak sesuai prosedur.
Apalagi instansi yang saat itu dikepalai Djalal berperan sebagai pengguna anggaran dan menunjuk langsung PT Sakalino Fajarmas untuk pengadaan barang senilai Rp 1,495 miliar.
Meski dituntut relatif rendah oleh jaksa, Djalal tetap tidak puas. Dia menganggap tuntutan yang ditujukan kepadanya terlalu berat dan menyudutkan posisinya yang hanya sebagai pengguna anggaran, bukan pelaku proses pengadaan.
Apalagi dua orang yang Djalal anggap bertanggung jawab dalam kasus ini, yaitu kuasa pengguna anggaran, Maxwell Taxana, dan ketua panitia, M Shulton, dinyatakan tidak bersalah.
Keduanya juga telah direhabilitasi. ”Seharusnya saja juga dituntut bebas,” ucapnya sesaat setelah sidang di Pengadilan Negeri Surabaya pada 18 November.
Di Jember bukan hanya Djalal yang tengah tersandung kasus korupsi, tetapi juga Wakil Bupati Jember Kusen Andalas dalam kasus dana operasional pimpinan DPRD setempat dengan kerugian Rp 745 juta.
Keduanya kini sudah dinonaktifkan dari jabatannya oleh Menteri Dalam Negeri sejak 17 November lalu. Kusen menjalani persidangan di PN Jember.
Saling menyusul
Bukan Dade Angga dan MZA Djalal saja yang tersandung kasus korupsi di tengah masa kepemimpinan mereka sebagai kepala daerah.
Masih ada mantan Bupati Jember Syahrazad Masdar dan mantan Bupati Banyuwangi Ratna Ari Lestari.
Saat persidangan jaksa menyatakan Syahrazad Masdar bersalah dalam kasus korupsi dana bantuan hukum Pemkab Jember senilai Rp 416 juta ketika menjadi Penjabat Bupati Jember antara 16 Mei sampai 11 Agustus 2005.
Akan tetapi, dalam sidang tanggal 1 November, Syahrazad Masdar, yang kini menjadi Bupati Lumajang, dinyatakan tidak bersalah.
Majelis hakim menilai Pemkab mengeluarkan dana itu antara bulan Oktober 2005 saat Syahrazad Masdar sudah tidak lagi menjadi Penjabat Bupati Jember.
Adapun Ratna, yang pernah menjabat sebagai Ketua Tim Panitia Pembebasan Lahan, diduga melakukan korupsi karena menggelembungkan harga tanah tahun anggaran 2006-2007.
Lahan tersebut akan digunakan untuk lapangan terbang. Akibat perbuatannya, negara mengalami kerugian hingga Rp 19,76 miliar sehingga dia diperiksa di Kejaksaan Agung pada 8 November 2010.
Pengacara senior Trimoelja D Soerjadi menilai penanganan kasus-kasus korupsi di Jatim terkesan diskriminatif, lamban, dan tidak serius.
Meski demikian, kejaksaan mulai menunjukkan iktikad baik meski juga kerap dikejar target.
Keberadaan masyarakat yang kritis dan peduli menjadi kontrol agar unsur-unsur penegak hukum bisa disiplin dan tegas.
”Sebab para pelaku korupsi umumnya berusaha mengisi kantongnya sendiri, padahal menduduki jabatannya karena memperoleh kepercayaan masyarakat,” ujarnya.
Sejauh ini terdapat beberapa kasus korupsi, sebagian di antaranya tergolong ”abu-abu”. Maksudnya kasus yang dimajukan ke persidangan hanya menjerat ”ikan teri” dengan tujuan meloloskan si ”ikan besar” yang notabene otak di belakangnya.
Selain itu, banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi karena masuk dalam lingkaran setan. Artinya dalam proses hingga menjadi pejabat betapa banyak pihak terkait sehingga begitu terpilih kepentingan banyak pihak harus dipenuhi.
Apalagi biaya untuk memenangi pemilihan kepala daerah begitu besar sehingga ketika terpilih justru sibuk berusaha agar ”balik modal” dan kalau bisa malah menghasilkan keuntungan lebih besar lagi. ”Inilah yang membuat orang bisa tersandung kasus korupsi dengan cara apa pun,” kata Trimoelja.
Menilik kasus-kasus korupsi di Indonesia, memperlihatkan bahwa penegakan hukum masih diskriminatif, belum sepenuhnya ditegakkan.
Semuanya tidak bisa lepas dari moral termasuk para penegak hukum. Quid leges sine moribus, apa artinya hukum jika tidak disertai moralitas?
Fabiola Ponto, wartawan Kompas
Tulisan ini disalin dari Kompas Jawa Timur, 29 November 2010