Aset Koruptor Tak Dapat Disentuh; Perjanjian Ekstradisi Hanya Pepesan Kosong
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura hanya dapat menyeret koruptor apabila persyaratan yang ketat bisa dipenuhi. Tetapi, ekstradisi itu tak bisa menyentuh aset koruptor.
Bahkan, perjanjian itu bisa disebut pepesan kosong karena tak memberikan keuntungan bagi Indonesia.
Kritik itu disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Internasional dari Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita dan Ketua Masyarakat Profesional Madani (MPM) Ismet Hasan Putro di Jakarta, Jumat (18/5).
Romli menegaskan, Indonesia sebenarnya rugi banyak dengan adanya ekstradisi dan MLA (mutual legal assistance in criminal matters atau bantuan timbal balik dalam masalah kriminal) ini. Buat apa orang bisa dibawa pulang, tetapi asetnya tak bisa ditarik sama sekali.
Apalagi, lanjutnya, kasus dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sudah diselesaikan dengan tiga opsi dari pemerintah, terutama terkait pengembalian kerugian negara. Singapura pasti menolak, sebab beranggapan BLBI diselesaikan secara perdata dengan tiga opsi itu. Sementara ekstradisi dan MLA berada pada ranah pidana.
Romli menjelaskan, perjanjian ekstradisi dengan Singapura hanya bisa menyeret koruptor. Itu pun bisa terkendala persyaratan administrasi yang ketat dari Singapura. Salah satu persyaratan itu adalah permohonan ekstradisi tersebut tak terkait dengan persoalan politis, etnis, atau ras. Ini juga harus melalui pengadilan.
Jaksa Agung harus memilah koruptor. Jika koruptor yang kasusnya belum berkekuatan hukum tetap bisa dilakukan ekstradisi, tetapi jika sudah berkekuatan hukum tetap sulit diekstradisi. Apalagi kalau koruptor itu sudah menjadi warga negara Singapura, kata Romli.
Menurut Romli, pengembalian aset koruptor bisa dilakukan dengan kerangka MLA yang ditandatangani tahun 2004 dan diratifikasi tahun 2007. Namun, dalam MLA terdapat kendala, yaitu penyitaan aset tak dapat diberlakukan surut.
Sementara itu, Ismet Hasan Putro menilai, perjanjian ekstradisi dengan Singapura merupakan pepesan kosong. Apalagi, Singapura melakukan perjanjian ekstradisi karena ada tekanan internasional, terutama dari Thailand, China, dan Filipina yang tidak menghendaki Singapura sebagai bungker koruptor.
Indonesia tak dapat apa-apa karena aset koruptor sudah terbang ke mana-mana, sudah dialihkan ke perusahaan di Singapura, kata Ismet lagi. (vin)
Sumber: Kompas, 19 Mei 2007