Asian Agri Bisa Dijerat UU Anti Pencucian Uang
Skandal pajak Asian Agri terus bergulir. Di tengah cicilan dendanya pada negara, Kejaksaan Agung justru menempuh langkah mengagetkan. Kejagung menghentikan penuntutan pada delapan tersangka Asian Agri. Kedelapan tersangka ini menjabat posisi-posisi tinggi di perusahaan.
Mereka adalah Semion Tarigan, Eddy Lukas, Linda Rahardja, Andrian, Willihar Tamba, Laksamana Adhyaksa, Tio Bio Kok dan Lee Boon Heng. Selain itu Sukanto Tanoto, selaku pemilik maupun Asian Agri Group secara korporasi juga belum tersentuh secara hukum.
Pada konferensi pers “Usut Tuntas Skandal Pajak Asian Agri” di kantor ICW, Jakarta (17/3), pengamat pajak Yustinus Prastowo mengakui bahwa pintu masuk mengejar beneficial owner akan tertutup jika Kejaksaan Agung benar-benar menghentikan penuntutan pada Asian Agri.
Prastowo mempertanyakan mengapa Kejaksaan Agung tidak segera membawa kedelapan tersangka para petinggi Asian Agri ke persidangan, padahal telah lewat tujuh tahun sejak kasus ini terbongkar.
“Ketika Suwir Laut dibebaskan Pengadilan Negeri, kemudian Pengadilan Tinggi, kenapa tidak segera disusulkan, dituntut, sehingga akan memperkuat tindakan pidananya? Justru itu kita pertanyakan, mengapa butuh waktu sedemikian lama?” cecar Prastowo.
Menurut Prastowo, Kejaksaan Agung harus terus mengejar siapa penerima manfaat utama (beneficiary owner) dari pendapatan Asian Agri. Sebab, kata dia, Asian Agri sebagai perusahaan hanyalah alat untuk mencapai keuntungan. Dibalik itu, pasti ada orang-orang yang menikmati keuntungan. Itulah, kata Prastowo, yang harus dikejar Kejagung.
“Secara konseptual kita tahu, siapa yang menerima manfaat. Para pemegang saham dan pemilik perusahaan,” tutur Prastowo.
Masalahnya, kata Prastowo, perusahaan mudah dipindah tangan. “Makanya semakin lama, semakin bisa dikaburkan siapa pemilik perusahaan. Ini bukan perusahaan yang dimiliki satu orang. Ini sudah sedemikian canggih dan rumit struktur perusahaannya,” tegas Prastowo.
Namun ia mengakui, untuk mengejar beneficial owner, butuh penyelidikan dan penyidikan yang tangguh.
Asian Agri bisa dijerat Undang-Undang Anti Pencucian Uang
Peneliti Indonesian Legal Resource Centre Uli Parulian menjelaskan putusan Mahkamah Agung secara tegas menyebutkan Suwir Laut tidak sendirian dalam melakukan kejahatan. Putusan MA berisi hukuman percobaan pada Suwir Laut dan denda pajak Rp 2,5 triliun yang harus dilunasi Asian Agri.
Menurut Uli, peluang menjerat Asian Agri dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) bukan hal baru.
“Sebab, di putusan MA untuk Suwir Laut, terang benderang ada indikasi tindak pidana pencucian uang,” ungkapnya dalam kesempatan yang sama.
Uli menjelaskan tiga modus operandi pengemplangan pajak, yaitu transfer pricing (rekayasa penjualan) hedging, dan “biaya Jakarta”.
Transfer pricing adalah rekayasa penjualan oleh perusahaan. “Misalnya perusahaan yang ada di Indonesia menjual produk ke luar negeri, ke Belanda,” jelas Uli.
“Mereka itu ternyata bikin dokumen-dokumennya di Indonesia. Kemudian, hasil transfernya dimasukkan ke perusahaan-perusahaan kertas (paper company – sebutan bagi perusahaan “bodong” yang hanya ada di atas kertas) di Hong Kong maupun di British Virgin Islands,” ujar Uli menyebut kepulauan di bawah kekuasaan Inggris yang dikenal sebagai surga bebas pajak bagi orang-orang yang tidak ingin kena pajak. Pulau lainnya adalah Cayman Island dan Bahamas.
Rupanya, jelas Uli, perusahaan-perusahaan tersebut masih satu grup dengan perusahaan yang di Indonesia. Perusahaan-perusahaan inilah yang dijadikan fasilitator untuk menyediakan dokumen-dokumen “aspal”. Baru setelah itu, barang dikirim ke pembeli aslinya.
“Ini terbukti menjadi salah satu modus penggelapan pajak,” ujar Uli. Putusan Mahkamah Agung terhadap Suwir Laut membuktikan adanya rapat perencanaan pajak yang diketahui oleh Direksi Asian Agri.
Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Terdakwa Suwir Laut secara sengaja dan terencana telah melakukan salah satu bentuk modus operandi penghindaran pajak (tax evasion). Menurut Uli, dalam rapat inilah diketahui Asian Agri menggunakan metode transfer pricing.
Sementara hedging, menurut Uli, adalah modus penggelapan pajak untuk menciptakan perusahaan seolah-olah tampak seperti perusahaan publik. Sebab, dengan tampilan perusahaan publik, maka kewajiban pajak berkurang. Modus hedging, lanjut Uli bisa dilakukan dengan menyalurkan pendapatan kepada “orang-orang yang itu-itu saja”.
Biaya Jakarta, lanjut Uli, adalah istilah untuk biaya akal-akalan. Biaya Jakarta dipakai untuk mengelabui pembayaran pajak dalam rangka meraup untung.
“Ditransfer ke rekening-rekening yang atas namanya masih kelompok Asian Agri Grup. Kalau kita melihat UU TPPU yang baru, ini kan perbuatan menyamarkan dan memindahkan hasil tindak pidana asal (predicate crime), ke tempat lain,” jelas Uli.
Menurutnya, kriteria Ini sebenarnya sudah terpenuhi. Malah, katanya, kalau ada penggelapan pajak dengan tiga modus ini, bisa dikenakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang.
“Karena hasil penggelapan pajaknya dialihkan ke tempat lain,” tukas Uli.
“Inilah kelemahan dakwaan jaksa di kasus Suwir Laut, harusnya disertakan penyertaan dengan pasal 155 KUHP. Sebab, ada aktor intelektual,” ujar Uli.
Menurutnya, Suwir Laut hanya mededader atau pihak yang turut serta. “Dia mengikuti perusahaan. Yang dia lakukan adalah turut serta,” kata Uli.
Untuk menjerat aktor intelektual, lanjut Uli, jaksa harus melihat penerima manfaat sesungguhnya (beneficial owner) dari keuntungan Asian Agri. Ia menyayangkan jaksa yang tidak memakai konstruksi Tindak Pidana Pencucian Uang lewat Pasal 155 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
“Harusnya penerima manfaat utama Asian Agri bisa didakwa pakai UU TPPU,” sesal Uli.
Kini, kata Uli, publik bisa berharap pada Direktorat Jenderal Pajak yang punya kewajiban penyidikan berdasarkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
“Asal, Dirjen Pajak koordinasi dengan Pusat Penelusuran dan Analisis Transaksi Keuangan,” Uli mengingatkan.
Tak perlu tunggu predicate crime terbukti
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2010, menjerat penjahat tak perlu menunggu kejahatan asal (predicate crime) terbukti.
“Misalnya untuk kasus pajak, tidak perlu nunggu ini terbukti. Cukup ada kecurigaan, saksi di pengadilan, bisa memulai penyelidikan awal,” kata Uli.
Peneliti ICW Emerson Yuntho menegaskan hingga kini dirinya belum mendapat informasi resmi soal Surat Keputusan Penghentian Penyidikan (SKPP) yang diterbitkan Kejaksaan Agung bagi kedelapan tersangka Asian Agri. Ia justru mengkhawatirkan, proses penerbitan SKPP dilakukan diam-diam, dan yang nantinya memberi pernyataan resmi malah para pengacara tersangka dan bukannya kejaksaan.
Bagi Koalisi Anti Mafia Pajak, tutur Emerson, bukan SKPP yang diperlukan, tapi langkah menuntaskan kasus ini. Dirinya juga meyakini bahwa publik patut mencurigai proses tertutup seputar SKPP.
“Jangan-jangan ada kongkalikong antara pengemplang pajak dengan penegak hukum dan penguasa,” imbuhnya khawatir.
“Kita ingin mendorong siapa penerima manfaat sebenarnya dari kasus Asian Agri. Sepanjang ini tidak diproses, tidak akan ketahuan. Hanya Suwir Laut yang dikorbankan. Tidak akan kemana-mana,” kata Emerson.
Lagipula, tambah Emerson, publik harus tetap waspada dengan Asian Agri yang tampak tak punya itikad baik atau menginsyafi perbuatannya. Dengan Asian Agri yang kini sedang menempuh upaya banding pajak, jika Asian Agri menang, justru seluruh uang denda yang telah disetor Asian Agri ke negara harus dikembalikan lagi ke Asian Agri.
Prastowo menegaskan publik harus terus mendorong kasus ini agar tuntas.
“JIka kasus ini dihentikan, akan menjadi contoh buruk bagi perang terhadap penggelapan pajak. Ditambah lagi, ini memberi angin kepercayaan diri pada para pengemplang pajak,” kata Prastowo.
“Kita harus melawan itu, supaya tidak ada konsolidasi di antara mereka. Kita juga mendorong Presiden SBY campur tangan karena dia sendiri bilang, dia menghendaki kasus ini diselesaikan tuntas,” tandasnya.