Aspek Strategis Sasaran KPK
BUNTUT penangkapan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Semarang Akhmat Zaenuri memunculkan penilaian KPK turun derajat dalam menangkap koruptor. Pada penangkapan pejabat itu KPK menemukan barang bukti uang ”hanya” Rp 40 juta dalam 21 amplop, meskipun hari berikutnya menemukan Rp 500 juta di ruang kerja Sekda. Pejabat itu mengatakan dirinya tidak merasa menyimpan atau menaruh uang sebesar itu di ruangannya (SM, 28/11/11).
Benarkah penangkapan KPK kali ini menunjukkan action menangkap big fish yang selama ini digembar-gemborkan sudah turun derajat? Seperti dikatakan Direktur Nasional Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti, KPK turun derajat karena menangkap koruptor kecil yang nilai korupsinya di bawah Rp 50 miliar. Komisi itu selayaknya menangkap big fish koruptor.
Apa yang dikatakan Ray bisa jadi bentuk kegalauan yang mewakili publik. Ketidakjelasan kasus korupsi kakap yang penanganannya dinilai tidak tuntas, memunculkan persepsi action KPK kali ini sebagai bentuk pengalihan isu. Benarkah demikian? Dalam buku Memahami untuk Membasmi yang diterbitkan oleh KPK, disebutkan sasaran korupsi yang dibidik KPK meliputi korupsi yang diduga dilakukan orang level tinggi atau yang memiliki pengaruh besar, terkait dengan aspek yang strategis atau menyangkut hajat hidup orang banyak atau menyangkut nilai uang besar.
Dalam konteks penangkapan Sekda Kota ini, menurut saya lebih pada fokus sasaran korupsi dengan aspek strategis. Modus penyuapan yang diduga dilakukan oleh Sekda kepada dua legislator bisa menjadi shock therapy yang luar biasa, bila hal ini dikaitkan dengan isu terkait mafia anggaran atau mafia jual beli pasal. Publik sudah mengendus untuk meloloskan kebijakan tertentu, eksekutif harus menegosiasi legislatif terlebih dahulu.
Tertangkapnya Sekda Kota juga bisa dipandang sebagai salah satu wujud menggeliatnya partisipasi masyarakat dalam memberikan informasi kepada KPK. Bila ini benar, berarti ada sinergi antara masyarakat (bisa masyarakat umum atau jajaran birokrasi sendiri) yang sudah muak terhadap praktik curang dalam mengebiri hak masyarakat. Dari kelompok inilah informasi mengalir ke KPK dan akan memiliki dampak luas.
Melihat Efeknya
Terhadap pelayanan publik yang selalu mendapat sorotan masyarakat dan belum ada solusinya, misalnya terkait pelayanan pembuatan KTP, SIM, paspor, perpanjangan STNK, pengurusan BPKB dan sebagainya, bila dipandang selama ini hanya jalan di tempat, meskipun masyarakat sudah mengadu ke pihak terkait namun tidak ada perubahan, bisa jadi masyarakat atau kelompok masyarakat bersinergi dengan membeberkan laporan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) ini ke KPK. Bila ini terjadi, meskipun KPK mungkin mendapatkan barang bukti ”hanya” senilai jutaan rupiah, sejatinya nilai stategisnya sangat besar.
Untuk memotong tradisi abuse of power jajaran birokrat kelas bawah terkait pelayanan publik, sudah saatnya pula mendapat perhatian dari KPK. Sebab, berawal dari sinilah bisa ditelusuri birokrat mana yang sebenarnya menikmati uang rakyat saat rakyat semestinya harus memperoleh pelayanan. Kiprah KPK sangat dinantikan untuk menyentuh hal ini. Bila sasaran KPK membidik aspek strategis ini juga terbaca oleh dua lembaga yang diberi kewenangan memberantas korupsi, yaitu kejaksaan dan polisi maka sudah seharusnya tanpa harus berbagi tugas hal itu menjadi sebuah koreksi.
Mengapa demikian? Bila KPK harus mengurusi korupsi di daerah yang nilai korupsinya kecil maka otoritasnya sebagai lembaga penggebrak korupsi menjadi kurang efektif, karena kasus big fish menjadi terkesampingkan. Ataukah memang ada agenda lain dari KPK yang tidak mudah diendus publik? Sebab pada kasus besar seperti kasus Century, kini tengah dihadapkan pada detik-detik audit forensik dari BPK yang oleh sementara pihak disebutkan bisa mengurai jelas aliran dana bailout.
Penangkapan Sekda Kota oleh KPK bukan bentuk turun derajat sasaran. KPK tetap mendudukkan diri sebagai lembaga antikorupsi bagi koruptor big fish, meskipun nilai kakap itu bila dilihat dari angka rupiahnya kadang jauh dari miliaran rupiah. Aspek strategis tidak hanya melihat dari besarnya nilai uang, namun lebih pada efek shock therapy-nya. (10)
Herie Purwanto SH MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 30 November 2011