Asyik Berpolitik, Birokrasi Korup; Sultan HB X Resmikan Program Monitoring Otda JPIP di DIJ-Jateng
Keasyikan bermain politik akan menghasilkan birokrasi yang korup, tidak efisien, dan amoral. Selain itu, politisasi birokrasi memperlemah profesionalisme birokrasi pemerintahan. Karena itu, pada era reformasi ini, politisasi birokrasi tidak boleh terulang meski godaan ke arah sana sangat besar.
Itu disampaikan Gubernur Daerah Istimewa Jogjakarta (DIJ) Sultan Hamengkubuwono X saat memberikan sambutan dan me-launching Program Monitoring kemajuan otonomi daerah yang dilakukan Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) dan Partnership untuk wilayah DIJ-Jateng kemarin.
Birokrasi menghadapi ujian terbuka seakan berada di pinggir pusaran air yang menarik-nariknya apakah akan tetap berdiri tegak atau terseret dalam pusaran politik. Atau, justru elite birokrasi itu sendiri yang akan memasuki pusaran politik, tegas Sri Sultan.
Program monitoring untuk 35 kabupaten dan kota di Jateng dan lima kabupaten/kota di DIJ itu juga didukung pemerintah kedua provinsi. Acara launching yang dilanjutkan dengan seminar itu diikuti sejumlah kepala daerah kabupaten dan kota seluruh DIJ-Jateng, para ketua DPRD, pemimpin pusat penelitian sejumlah perguruan tinggi, aktivis LSM, dan mahasiswa program S-1 hingga S-3 yang meminati kajian otonomi daerah.
Selain Sri Sultan, hadir Assek III Provinsi Jateng Hadi Prabowo yang membacakan sambutan Gubernur Jateng Mardiyanto dan Dr Marselus Rantetana, senior programme manager. Pembicara seminar bertema Pilkada: Bagaimana Politisi Akan Mengelola Birokrasi adalah Prof Dr Riswandha Imawan (UGM), Dr Eep Saefulloh Fatah (UI), Dra Rustriningsih MSi (bupati terpilih Kebumen), dan Ir Bambang S. Priyahadi MPA (Sekprov DIJ).
Sri Sultan mengaku sangat tertarik dan mendukung program monitoring. Karena itu, dia mengingatkan bahwa birokrasi tidak bergerak dalam ruang vakum politik dan tidak steril dari rembesan politik. Tapi, yang penting jangan sampai mengubah karakter birokrasi hanya karena bekerja dan bermitra dengan politisi, baik lembaga legislatif maupun kepala daerah yang dipilih secara politis, katanya.
Begitu pula sebaliknya. Menurut Sri Sultan, politisi hendaknya juga tidak menarik birokrasi untuk bermain dalam kepentingan politiknya. Mereka sangat berperan dalam mewujudkan birokrasi yang bebas dari kepentingan politik.
Diingatkan pula, pemisahan politik dan birokrasi akan menutup peluang terjadinya political appointee ke dalam organisasi publik. Political appointee adalah pengisian jabatan berdasarkan pertimbangan politik dan bukan pada kaidah profesionalisme serta meritokrasi yang jelas. (wan)
Sumber: Jawa Pos, 7 Juli 2005