Aturan Memberatkan Pelapor; Pemberantas Korupsi Jangan Diskriminatif
Aturan yang mewajibkan pelapor tindak korupsi menyertakan bukti permulaan dinilai terlalu memberatkan. Seharusnya masyarakat cukup melaporkan data awal secara jelas dan lengkap. Aparat penegak hukum, penyidik, dan intelijenlah yang harus menindaklanjuti laporan awal tersebut.
Hal itu dikatakan Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Chairul Huda, menanggapi pernyataan Staf Khusus Presiden Sardan Marbun dalam seminar Bedah dan Sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 di Jakarta, Senin (9/7)
Sardan Marbun antara lain mengatakan, laporan masyarakat mengenai dugaan tindak pidana korupsi kepada pemerintah banyak yang tidak disertai bukti konkret. Akibatnya, laporan itu tidak dapat ditindaklanjuti aparat penegak hukum.
Ia mengatakan, laporan masyarakat tentang korupsi yang dikirim ke PO Box 9949 hanya 5 persen yang disertai bukti. Laporan korupsi melalui pesan singkat (SMS) yang disertai bukti 0,5 persen.
Sebagian besar laporan tentang korupsi yang masuk hanya melampirkan pemberitaan koran, kecenderungan, dan analisis tanpa ada bukti. Hanya laporan tentang korupsi yang dilengkapi bukti jelas yang diteruskan ke departemen atau lembaga terkait untuk ditindaklanjuti. Laporan yang ditindaklanjuti tidak dipilih-pilih, katanya.
Sejak Oktober 2004 hingga 30 Juni 2007, Presiden menerima 25.146 laporan masyarakat melalui PO Box 9949, sedangkan pesan pendek yang diterima pada periode yang sama mencapai 2.332.304 pesan. Sebagian besar materi laporan berupa dukungan kepada presiden, laporan korupsi, serta laporan pelayanan kepada publik.
Tidak ada penjelasan
Chairul Huda mengatakan, banyaknya laporan tentang korupsi yang tidak disertai bukti konkret disebabkan tidak adanya penjelasan mengenai bukti permulaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 3 Ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketidaktahuan masyarakat tentang bukti permulaan menyebabkan mereka hanya melampirkan kliping berita koran atau data lain yang tidak jelas, yang dinilai aparat penegak hukum tidak memenuhi syarat untuk dijadikan bukti. Penentuan kualifikasi atas bukti dalam perkara hukum sendiri merupakan kewenangan penyidik dan bukanlah hal mudah.
Aturan yang mewajibkan pelapor tindak korupsi menyertakan bukti permulaan dinilai Chairul terlalu memberatkan. Dalam kasus pidana nonkorupsi saja, pelapor tidak dibebani untuk menunjukkan bukti permulaan. Namun, dalam kasus korupsi, pelapor justru dibebani tanggung jawab menyertakan bukti permulaan.
Seharusnya masyarakat cukup melaporkan data awal secara jelas dan lengkap. Aparat penegak hukum, penyidik, dan intelijenlah yang harus menindaklanjuti, kata Chairul.
Untuk mengatasi hal itu, kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi perlu merumuskan secara bersama apa yang dimaksud dengan bukti permulaan sesuai PP No 71/2000. Hasilnya harus disebarluaskan kepada masyarakat sehingga publik dapat menyertakan bukti yang diperlukan saat melaporkan kasus korupsi.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita mengatakan, PP No 71/2000 sulit diimplementasikan. Karena itu, aturan tersebut perlu diubah sehingga aspirasi publik dapat lebih diakomodasi.
Sementara itu, guru besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Dimyati Hartono mengatakan, politik merupakan faktor utama penghambat pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi harus menimbulkan efek jera yang jelas. Penegakannya pun harus konsisten dan tidak diskriminatif. (MZW)
Sumber: Kompas, 10 Juli 2007