Babak Baru Kasus Suap MA
Dalam beberapa hari terakhir, nama pengacara dan mantan hakim tinggi Harini Wiyoso serta nama beberapa pegawai Mahkamah Agung, seperti Pono Waluyo (staf bagian kendaraan MA), begitu akrab di telinga para pemerhati hukum di negeri ini.
Dalam beberapa hari terakhir, nama pengacara dan mantan hakim tinggi Harini Wiyoso serta nama beberapa pegawai Mahkamah Agung, seperti Pono Waluyo (staf bagian kendaraan MA), begitu akrab di telinga para pemerhati hukum di negeri ini. Melambungnya nama-nama tersebut terkait dengan penggeledahan gedung MA oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada pengujung September lalu. Dalam penggeledahan tersebut, KPK menangkap Harini dan Pono dkk serta menyita uang US$ 500 ribu.
Dari pengakuan Harini dan Pono dkk, uang US$ 500 ribu akan digunakan untuk memuluskan kasasi pengusaha Probosutedjo dalam kasus korupsi dana reboisasi di Kalimantan Selatan senilai Rp 100,9 miliar. Tidak cukup sampai di situ, dalam perkembangan berikutnya, Probosutedjo mengakui bahwa dia telah menghabiskan Rp 16 miliar demi mendapat vonis bebas. Perinciannya adalah Rp 10 miliar pada peradilan tingkat pertama dan banding serta Rp 6 miliar pada tingkat kasasi. Di tingkat kasasi, Probosutedjo mengaku dimintai uang oleh Harini Wiyoso sebesar Rp 5 miliar untuk diberikan kepada Ketua MA Bagir Manan dan Rp 1 miliar untuk pegawai MA (Koran Tempo, 14/10).
Lalu apa yang menarik dari penjelasan di atas?
Secara jujur harus diakui, mafia peradilan bukan isapan jempol belaka. Dari hulu sampai hilir, modus jual-beli perkara di pengadilan begitu beragam. Misalnya, berdasarkan hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (2001), ada sejumlah modus jual-beli perkara di pengadilan, yaitu menentukan (rekayasa) majelis hakim, tawar-menawar putusan, memperlambat pemeriksaan perkara atau mengulur waktu penetapan perkara, menunda eksekusi, dan memakai pengacara tertentu. Dalam kasus yang sedang dibahas, mulai terlihat modus lain, yaitu menawarkan putusan palsu.
Selain modusnya beragam, praktek jual-beli perkara melibatkan kalangan yang lebih luas. Setidaknya, dalam kasus yang baru digeledah KPK, secara jelas tampak keterlibatan pengacara dan pegawai MA yang tidak terkait langsung dengan proses perkara. Dalam kasus kasasi Probosutedjo, kalangan pegawai yang terlibat amat beragam, dari anggota staf Direktorat Perdata MA, bagian kepegawaian MA, staf bagian kendaraan MA, dan staf Korpri MA. Bisa jadi, kalau ditelusuri lebih jauh, sangat mungkin ada keterlibatan kalangan lain di luar pengacara dan pegawai.
Peristiwa hampir serupa terjadi di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Saat itu (16/6), KPK menangkap pengacara Abdullah Puteh, Tengku Syaifuddin Popon, sedang melakukan transaksi dengan Wakil Ketua Panitera Pengadilan Tinggi Jakarta Syamsu Rizal Ramadhan. Transaksi yang dilakukan Popon terkait dengan upaya memuluskan proses banding kasus korupsi yang dilakukan Abdullah Puteh. Dalam kasus ini, selain keterlibatan pengacara, peran panitera begitu dominan. Sayangnya, sampai saat ini tidak terungkap ada keterlibatan pihak lain.
Dalam konteks penelusuran praktek jual-beli perkara di pengadilan, kasus kasasi Probosutedjo punya dimensi yang jauh lebih luas dan menarik. Soalnya, beberapa orang yang sudah memberikan keterangan di KPK mulai menyebut keterlibatan hakim. Setidaknya, dari keterangan Probosutedjo, Rp 5 miliar dari uang yang diminta Harini akan diberikan kepada Ketua MA Bagir Manan.
Berdasarkan keterangan di atas, publik mulai menoleh ke arah majelis hakim yang menangani kasus Probosutedjo. Yang paling menjadi sorotan adalah Bagir Manan. Sorotan itu tidak hanya terkait dengan posisi Bagir Manan sebagai Ketua MA, tapi juga dalam posisi Bagir Manan sebagai ketua majelis hakim kasasi Probosutedjo. Apalagi Bagir Manan sendiri mengaku pernah bertemu dengan Harini ketika yang bersangkutan pamitan (pensiun) sebagai salah seorang hakim tinggi.
Bagi saya, ketika beberapa orang yang dimintai keterangan oleh KPK mulai menyebut hakim, kasus suap yang terjadi di MA sedang memasuki babak baru. Soalnya, pengungkapan kasus ini akan menjadi titik penting untuk mengetahui keterlibatan hakim dalam proses jual-beli perkara di pengadilan. Bagaimanapun, banyak kalangan meyakini, sangat mungkin sebagian hakim menjadi aktor dalam jual-beli perkara di pengadilan. Keterlibatan hakim bisa saja terjadi di semua jenjang pengadilan, dari pengadilan tingkat pertama sampai hakim di tingkat kasasi.
Bagaimana caranya? Menurut Teten Masduki (2005), berdasarkan hasil eksaminasi publik atas putusan-putusan kontroversial yang diperiksa oleh hakim agung ditemukan tiga masalah besar: (1) keliru dalam memberikan pertimbangan hukum, (2) mengabaikan fakta-fakta penting yang dapat menjerat terdakwa, dan (3) sengaja mencari pertimbangan yang menguntungkan terdakwa. Dalam konteks mafia peradilan, kata Teten, putusan hakim adalah tujuan utama yang akan dipengaruhi. Artinya, upaya merekayasa putusan akan menjadi lebih mudah dilakukan dengan melibatkan hakim.
Terkait dengan kemungkinan keterlibatan hakim, sejak terungkapnya kasus suap perkara korupsi Probosutedjo, mengapa nama Bagir Manan lebih dominan disebut dibandingkan dengan dua orang hakim lainnya? Padahal dua orang hakim lain itu juga amat terbuka kemungkinan berhubungan dengan orang-orang yang telah ditangkap KPK. Setidaknya, dari keterangan Pono Waluyo, Harini mengaku sudah membereskan dua orang anggota majelis hakim lain yang menangani kasus korupsi Probosutedjo (Kompas, 14/10).
Dalam hal ini, saya tidak ingin berspekulasi bahwa penyebutan nama Bagir Manan merupakan bagian dari resistensi sebagian kalangan di MA menerima kehadiran hakim agung nonkarier. Apalagi, selama ini, Bagir Manan dikenal cukup memberikan peluang kepada kalangan eksternal untuk melakukan berbagai langkah pembaruan di lingkungan pengadilan, terutama MA.
Bagi saya, penyebutan nama Bagir Manan harus dilihat sebagai sebuah kesempatan untuk membongkar praktek suap yang terjadi di MA. Karena namanya lebih sering disebut, tentunya Bagir Manan punya motivasi tersendiri membongkar kasus suap dalam kasasi korupsi Probosutedjo. Sebab, hanya dengan cara begitulah Bagir Manan bisa membersihkan namanya sebagai Ketua MA dan sebagai salah seorang guru besar ilmu hukum yang terkemuka di negeri ini.
Sebetulnya, langkah ke arah itu sudah dimulai dengan adanya janji Bagir Manan untuk membantu dan memberikan akses seluas-luasnya bagi KPK untuk mengungkap secara tuntas kasus indikasi suap yang melibatkan pegawai MA. Namun, dengan posisi sebagai Ketua MA, Bagir Manan bisa melakukan langkah besar guna mengungkapkan semua indikasi jual-beli perkara yang terjadi selama ini. Caranya, dengan sisa waktu yang tersedia sebagai Ketua MA, Bagir Manan harus memimpin langsung pembongkaran dan pemberantasan praktek jual-beli perkara di pengadilan.
Kalau itu dilakukan, yang akan terjadi bukan hanya babak baru pengungkapan kasus suap di MA, melainkan juga babak baru dalam membongkar semua praktek suap yang terjadi di semua jenjang pengadilan.
Oleh: Saldi Isra
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, dan Consultant Parliamentary Caucus Partnership for Governance Reform in Indonesia
Koran Tempo, 15 Oktober 2005