Bachtiar Divonis 1 Tahun 8 Bulan
Vonis untuk kasus korupsi di Indonesia dinilai sangat rendah sehingga tidak bakal menimbulkan efek jera.
Terakhir, Selasa (22/3), majelis hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi memvonis mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dengan 1 tahun 8 bulan, dari tuntutan 3 tahun, dalam kasus korupsi pengadaan sarung, mesin jahit, dan sapi impor di Departemen Sosial. Vonis dijatuhkan dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Tjokorda Rae Suamba.
Bachtiar terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menyetujui penunjukan langsung dalam pengadaan mesin jahit dan sapi impor. Majelis hakim menilai Bachtiar terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ia tidak terbukti menikmati uang hasil tindak pidana korupsi dari pengadaan sarung, mesin jahit, dan sapi impor.
Hal yang memberatkan terdakwa adalah memberikan persetujuan penunjukan langsung yang tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi. Adapun hakim menilai hal yang meringankan adalah Bachtiar dinilai telah berjasa kepada negara dan tidak menikmati uang hasil korupsi.
Setelah berdiskusi dengan kuasa hukumnya, Bachtiar menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut. Demikian juga jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebelumnya, jaksa menuntut Bachtiar tiga tahun penjara dan membayar denda Rp 100 juta. ”Kami akan memanfaatkan waktu tujuh hari untuk memikirkan lebih lanjut,” ujar Bachtiar.
Setelah vonis, Bachtiar menyatakan yang dialaminya merupakan pelajaran berharga bagi para pejabat di Indonesia. ”Ini pelajaran berharga bagi siapa pun yang jadi pemimpin di lembaga negara. Suatu kebijakan di negara ini bisa diadili,” ujarnya.
Bachtiar juga mengimbau pejabat agar berhati-hati dalam mengambil kebijakan. ”Keputusan ini adalah yurisprudensi bagi siapa pun. Saya imbau kepada teman-teman yang pada hari ini memimpin setidaknya harus hati-hati,” lanjutnya.
Khawatir
Menanggapi vonis di Pengadilan Khusus Tipikor, peneliti Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, menilai ada kecenderungan mengkhawatirkan, lembaga ini mulai melemah. Ini bisa dilihat dari semakin ringannya vonis yang dijatuhkan kepada para koruptor.
”Ini adalah kekhawatiran kita. Di peradilan umum banyak vonis bebas kepada koruptor, sementara di Pengadilan Tipikor kian melemah,” kata Emerson.
Menurut dia, pada tahun 2006-2007 rata-rata vonis kepada koruptor mencapai 4 tahun 6 bulan dan semakin menurun sehingga pada 2009 hanya berkisar 2 tahun 6 bulan. ”Ada penurunan drastis vonis hingga satu atau dua tahun,” tutur dia.
Rendahnya vonis memang tidak lepas dari tuntutan jaksa sehingga seharusnya jaksa KPK menuntut maksimal melihat kebiasaan hakim. ”Rendahnya tuntutan kepada koruptor menghilangkan efek jera. Ini memprihatinkan, belum lagi nanti terpidana menikmati remisi dan pembebasan bersyarat,” ujarnya lebih lanjut.
Emerson mengungkapkan, pada awal-awal berdirinya Pengadilan Tipikor, lembaga ini begitu ditakuti. ”Semakin lama semakin tidak menakutkan,” ujarnya.
Sebelumnya Pengadilan Tipikor membebaskan terdakwa Mieke Henriett, terdakwa perkara menghalang-halangi penyidikan korupsi, melalui putusan sela. Mantan Sekretaris Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah itu dibebaskan setelah majelis hakim mengabulkan eksepsi yang diajukan.(RAY)
Sumber: Kompas, 23 Maret 2011
---------------------
Vonis 20 Bulan Penjara untuk Bachtiar Chamsyah
Terdakwa Bachtiar Chamsyah divonis 20 bulan penjara. Bekas Menteri Sosial ini dinyatakan terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan sarung, sapi impor, dan mesin jahit di Departemen Sosial. "Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 1 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 50 juta," ujar ketua majelis hakim Tjokorda Rai Suamba saat membacakan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin.
Vonis ini lebih ringan 16 bulan dari tuntutan jaksa. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut politikus Partai Persatuan Pembangunan itu 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Jaksa mendakwa Bachtiar karena ia menunjuk langsung rekanan dalam proyek pengadaan sarung, sapi impor, dan mesin jahit di Departemen Sosial pada 2004-2008.
Akibat kebijakannya itu, total kerugian negara mencapai Rp 33,7 miliar. Perinciannya, pengadaan sapi impor pada 2004 sebesar Rp 1,9 miliar; pengadaan sarung pada 2006-2008 senilai Rp 11,3 miliar; dan pengadaan mesin jahit pada 2004-2006 sebesar Rp 20,3 miliar.
Anwar, anggota majelis hakim, menuturkan bahwa penunjukan langsung oleh Bachtiar menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Inilah, kata hakim, yang memberatkan terdakwa. Adapun hal yang meringankan adalah Bachtiar berlaku sopan selama persidangan, berjasa terhadap negara, dan tidak menikmati hasil korupsi. Hakim pun tidak memerintahkan Bachtiar membayar uang pengganti kerugian korupsi. Sebab, dia sudah membayar kepada negara sebesar Rp 700 juta.
Menanggapi putusan itu, Bachtiar menyatakan masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. "Izinkan kami memikirkan sesuai dengan wewenang undang-undang," kata Menteri Sosial dua periode itu.
Seusai sidang, Bachtiar menuturkan bahwa vonis bagi dirinya menjadi pelajaran bagi pejabat negara lainnya. Yakni, kata dia, "Suatu kebijakan di negara ini bisa diadili." Bachtiar mengimbau para pejabat agar berhati-hati. Sebab, menurut dia, suatu kebijakan bisa saja akan dinilai beberapa tahun mendatang. Dia mencontohkan kebijakan yang diambilnya pada 2004. "Ada jeda 6 tahun. Dan di situ orang bisa mengatakan apakah kebijakan itu positif atau negatif," katanya. DIANING SARI
Sumber: Koran Tempo, 23 Maret 2011