Bancakan Diskon, Dirut PT Pos Masuk Tahanan

Setelah terbongkar di bank sentral dan gedung DPR, tikus koruptor juga menggerogoti perusahaan milik negara. Kali ini korbannya PT Pos Indonesia. Penyidikan kasus penyalahgunaan dana operasional nonbujeter telah menyeret pucuk pimpinan BUMN yang bergerak di jasa pos itu.

Direktur Utama PT Pos Indonesia Hana Suryana harus mendekam di rumah tahanan (rutan) Kejaksaan Agung. Dia telah ditetapkan sebagai tersangka dalam korupsi yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 40 miliar.

Kemarin (21/7) Hana menjalani pemeriksaan delapan jam di Gedung Bundar oleh tim penyidik yang diketuai Sutopo Hendro sejak pukul 09.00 WIB. Usai pemeriksaan, Hana yang dicecar dengan 26 pertanyaan dibawa ke rutan Kejagung dengan mobil satuan khusus nopol B 1493 WQ warna silver sekitar pukul 17.00. Tak ada pernyataan yang keluar dari mulut Hana yang menjabat Dirut PT Pos sejak 2006 itu.

Hana tidak sendirian. Kejagung juga menahan enam tersangka lain yang diduga terlibat dalam korupsi berjamaah itu. Mereka keluar dari Gedung Bundar berselang satu jam dari Hana. Keenam tersangka itu lantas dititipkan di Lapas Cipinang dengan menumpang mobil tahanan nopol B 8282 ER warna hitam dan mobil satuan khusus nopol B 1493 WQ warna silver.

Enam tersangka tersebut adalah Rudi Atas Perbatas (kepala Kantor Pos Jakarta Mampang II), Mustafik (kepala Kantor Pos Pondok Gede), Yosep Taufik Hidayat (kepala Kantor Pos Jakarta Selatan), dan Ernaldi (kepala Kantor Pos Jakarta Barat). Tersangka lain adalah Herbon Opnalta (mantan kepala Kantor Pos Jakarta Pusat) dan Her Chaerudin (mantan kepala Kantor Pos Jakarta Pusat).

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy mengatakan, penahanan tujuh tersangka tersebut untuk mendukung proses penyidikan. Pihaknya khawatir para tersangka akan mangkir dari panggilan jika tidak ditahan. "Mereka kemarin dipanggil tidak datang. Biar kami tidak repot, jadi ditahan. Bahkan, ada salah satu (tersangka) yang nanti malam (tadi malam, Red) mau ke Swiss," kata Marwan saat hendak meninggalkan kantornya tadi malam.

Selain menahan tersangka, Marwan telah mengajukan pencekalan untuk para tersangka tersebut ke JAM Intelijen agar diteruskan ke Ditjen Imigrasi Depkum HAM.

Mantan Kapusdiklat Kejagung itu mengungkapkan, kasus korupsi tersebut terkait penyalahgunaan dana operasional dan dana nonbujeter PT Pos Indonesia Wilayah IV Jakarta. Hal tersebut berawal dari Surat Edaran (SE) Direktur Operasional PT Pos Indonesia Nomor 41/DIROP/0303 tanggal 20 Maret 2003 tentang pemberian diskon insentif dan komisi khusus kepada pelanggan setiap pembayaran jasa pos.

Dalam surat edaran itu disebutkan, kiriman berskala besar mendapat diskon dengan besaran tiga hingga lima persen. Tapi, diskon itu ternyata tidak didapat pelanggan besar, di antaranya PT Telkomsel. Uang diskon dibagi-bagi di antara tersangka. Untuk menutupi kejahatannya, para tersangka membuat kuitansi penerimaan fiktif. "Bukan disetor ke negara, dana (diskon) tersebut justru masuk ke kantong pribadi," kata Marwan.

Sebelumnya, Kejagung menetapkan delapan tersangka. Namun, menurut Marwan, yang seorang, yakni Bagdja AM (mantan kepala Kantor Pos Jakarta Barat), dinilai tidak terlibat. "Dia baru masuk. Jadi, tidak kami jadikan tersangka," kata mantan kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim itu.

Dalam kasus korupsi di PT Pos tersebut, Kejagung telah menyidik kantor PT Pos Cabang Fatahillah, Jakarta. Hasilnya, tiga orang ditetapkan sebagai tersangka setelah melakukan korupsi dengan modus yang sama sehingga merugikan negara Rp 15 miliar. Ketiga tersangka yang telah mendekam di tahanan itu adalah Fahrur Razi (FR), kepala Kantor Pos Fatahillah (cabang Jakarta); Elvi Sahri (ES), mantan manajer pemasaran Kantor Pos Fatahillah yang kini menjabat representative office Jakarta; serta Widianto (WD), mantan manajer pemasaran Kantor Pos Fatahillah yang kini menjabat kepala Kantor Pos Pandeglang, Banten.

Zul Armain Aziz, kuasa hukum PT Pos Indonesia, membantah bahwa kliennya disebut melakukan korupsi. Menurut dia, perusahaan rekanan PT Pos menerima komisi sesuai prosedur yang ada. "Kami akan buktikan bahwa komisi fiktif itu tidak ada," tegasnya. (fal/wir/kim)

Sumber: Jawa Pos, 22 Juli 2008 

-------------------

 

Direktur Utama PT Pos Ditahan

Akibat laporan fiktif, negara dirugikan sekitar Rp 40 miliar.

Direktur Utama PT Pos Indonesia Hana Suryana, tersangka kasus dugaan korupsi dana operasional nonbujeter PT Pos Indonesia, ditahan di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung kemarin sore. Penahanan dilakukan setelah mantan Kepala Kantor Pos Wilayah IV Jakarta itu menjalani pemeriksaan selama tujuh jam. Sementara itu, enam kolega Hana, yang juga berstatus tersangka dalam kasus tersebut, ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.

"Mereka telah membuat laporan pertanggungjawaban fiktif," ujar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Marwan Effendi di kantornya kemarin. Dalam kasus tersebut, kata dia, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 40 miliar.

Selain Hana, keenam orang tersangka itu adalah Herbon Optalno (mantan Kepala Kantor Pos Jakarta Pusat), Rudi Atas Perbatas (Kepala Kantor Pos Jakarta Mampang II), dan Her Chaeruddin (mantan Kepala Kantor Pos Jakarta Pusat). Juga Muntafik (Kepala Kantor Pos Pondok Gede), Yosef Taufik Hidayat (Kepala Kantor Pos Jakarta Selatan), dan Erinaldi (Kepala Kantor Pos Jakarta Barat).

Sementara itu, Bagja A.M. (mantan Kepala Kantor Pos Jakarta Barat), yang sebelumnya dijadikan tersangka, menurut Marwan, statusnya diubah menjadi saksi. Sebab, ia tak tahu-menahu perihal kasus tersebut. "Ini kasus 2003 sampai 2006, dia baru menjabat pada 2007," kata Marwan.

Pengacara PT Pos, Zul Armain Aziz, menyatakan keberatan atas penahanan kliennya tersebut. Menurut dia, hal itu akan mengganggu kinerja PT Pos. "Besok kami akan mengajukan penangguhan penahanan supaya mereka jadi tahanan luar."

Menurut Marwan, ketujuh tersangka tersebut diduga menggelembungkan komisi dalam bisnis kiriman komunikasi dengan 22 perusahaan rekanan PT Pos. Mereka menetapkan besarnya komisi dari pengiriman jasa pos sebesar 5-6 persen. Padahal, menurut Surat Edaran Direktur Operasional PT Pos Indonesia Nomor 41/DIROP/03 tertanggal 20 Maret 2003, insentif untuk kiriman bisnis komunikasi hanya 3-4 persen.

"Mereka diduga juga membuat kuitansi fiktif seolah-olah kiriman telah diterima pelanggan," kata Marwan, "Padahal sesungguhnya yang menerima adalah pegawai kantor pos sendiri."

Atas dugaan itu, Zul menyatakan kelebihan komisi tersebut dilakukan atas izin dari Direktur Operasional PT Pos sebelumnya, Djaja Suhardja. "Itu ada izin dari atasannya," ujar Zul, "Lagi pula, tak ada kuitansi palsu yang mereka buat."

Untuk mengusut kasus ini, Kamis pekan lalu kejaksaan telah menggeledah kantor pusat PT Pos Indonesia di Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Dari penggeledahan itu, penyidik menemukan sejumlah barang bukti, yakni kuitansi dan sebagainya.

Sebelumnya, modus serupa pernah terjadi di Kantor Pos Taman Fatahillah, Jakarta, dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp 15 miliar. Dalam kasus ini, kejaksaan telah menahan Fahrurrozi (mantan Kepala Kantor Pos Taman Fatahillah), Elvi Sahri (pengawas pemasaran periode 2004-2005), dan Widianto (pengawas pemasaran periode 2005-2007). DWI WIYANA I RINI KUSTIANI

Terjerat Komisi Kiriman Surat

Kasus lama bersemi kembali dan menjerat Hana Suryana, petinggi yang kini Direktur Utama PT Pos Indonesia. Kemarin, bersama enam koleganya, ia ditahan Kejaksaan Agung karena diduga tersangkut dugaan korupsi komisi kiriman surat berskala besar dari sejumlah perusahaan rekanan.

Saat proyek itu berjalan, Hana adalah Kepala Kantor Pos Wilayah IV Jakarta periode 2003-2005. Uang yang ditilap diduga mencapai Rp 40 miliar. Inilah perjalanan kasus yang melilit Hana tersebut:

20 Maret 2003
Direktur Operasional PT Pos Indonesia menerbitkan Surat Edaran Nomor 41/Dirop/0303 tentang pemberian diskon, insentif, dan komisi khusus kepada pelanggan kelas kakap.

Diskon:

*  Nilai transaksi Rp 20-100 juta, komisi 5 persen.

*  Nilai transaksi Rp 100-400 juta, komisi 4 persen.

*  Nilai transaksi lebih dari Rp 400 juta, komisi 3 persen.

Pertengahan 2003
Kantor Pos Wilayah IV menjalin perjanjian kerja sama dengan 21 pelanggan. Perinciannya:

Kantor Pos Jakarta Pusat

10 rekanan

Kantor Pos Jakarta Barat

3 rekanan

Kantor Pos Jakarta Mampang

3 rekanan

Kantor Pos Jakarta Pondok Gede

1 rekanan

Kantor Pos Tangerang

2 rekanan

Kantor Pos Jakarta Selatan

2 rekanan

MODUS:
Hana menyetujui pengeluaran uang komisi. Tapi uang ini tak pernah diterima pelanggan.
Fakta: uang komisi dibagi-bagikan untuk Hana dan para pejabat Kantor Pos Pusat.

7 April 2008
Hana Suryana diperiksa tim penyidik Kejaksaan Agung sebagai saksi.

16 Juli 2008
Hana ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung, tapi belum ditahan.

21 Juli 2008
Menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, kemudian langsung ditahan di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung.

NASKAH : DWI WIYANA | RINI KUSTIANI
SUMBER : TEMPO NEWROOM, KEJAKSAAN AGUNG

 Sumber: Koran Tempo,22 Juli 2008

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan