Banyak Komisi, Cekak Prestasi
Indonesia kebanjiran komisi. Pada 1999, pemerintah telah membentuk 13 komisi independen dan 39 komisi eksekutif (komisi yang bertanggung jawab kepada presiden atau menteri). Bukan tak mungkin jumlah komisi ini akan terus bertambah. Dan semuanya menggunakan anggaran negara.
Beberapa kalangan mempersoalkan banyaknya jumlah dan tak efektifnya kerja komisi ini. Anggota Komisi Sosial Dewan Perwakilan Rakyat, Ahmad Farhan Hamid, misalnya, menilai Komisi Perlindungan Anak Indonesia tak efektif. Menurut dia, Komisi Anak belum mampu mengubah kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada anak. Komisi ini, kata dia, cenderung hanya menangani masalah perebutan anak di kalangan selebritas. Padahal, Hampir 60 persen anggaran Rp 12 miliar habis untuk biaya honorarium.
Menurut pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, seharusnya pembentukan komisi bertujuan memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap lembaga negara yang konvensional. Juga untuk melakukan checks and balances di tengah kompleksitas sistem tata negara.
Ketidakpercayaan ini, misalnya, terjadi pada saat lahirnya Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan. Masyarakat sudah kadung tak percaya kepada polisi dan jaksa, katanya.
Pemerintah pun, kata dia, belum siap menerima kehadiran komisi. Sehingga, kerap terjadi konflik antara komisi dan lembaga negara. Dalam kasus MA-KY, kata Denny, Mahkamah Agung merasa terusik oleh kehadiran Komisi Yudisial.
Ketidaksiapan ini, menurut pakar hukum dari Universitas Andalas, Saldi Isra', misalnya terlihat pada pemerintah yang tak menyediakan sarana dan prasarana yang memadai. Akibatnya, pengurus cenderung mengurusi masalah teknis seperti mencari gedung atau jumlah honor yang mereka terima.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Giwo Rubianto Wiyogo mengakuinya. Sejak Komisi berdiri pada 2004, kami baru memiliki kantor satu tahun lalu. Bagaimana kami bisa melakukan advokasi? katanya.
Ketua Komisi Ombudsman Antonius Sujata membantah jika disebut komisinya tak efektif. Lebih dari 95 persen kasus kami tindaklanjuti. Tapi ada banyak kasus yang penyelesaiannya lambat, katanya.
Evaluasi perlu segera dilakukan. Evaluasi, kata Denny, akan menentukan pembentukan dalam periode berikutnya. Pemerintah pun perlu juga membuat perencanaan secara makro soal komisi, sehingga kehadiran komisi yang tak perlu bisa dihindari. Kelahiran undang-undang juga melahirkan dua hal baru. Kalau tidak melahirkan peradilan baru, melahirkan komisi baru, katanya. PRAMONO
Sumber: Koran Tempo, 8 Juni 2007