Banyak Pihak Terlibat; Keterangan Saksi Sidang Pemekaran Kota
Sidang lanjutan kasus korupsi pemekaran Wilayah Kota Mojokerto, dengan terdakwa mantan Walikota Tegoeh Soedjono kembali digelar Pengadilan Negeri Mojokerto, kemarin. Agenda persidangan adalah mendengarkan keterangan saksi, yakni mantan ketua DPRD Kota Mojokerto 1999 - 2004 Hari Utomo, Bagus Wahyu Broto mantan Kabag Hukum yang kini menjadi kepala Dinas Koperasi dan UKM, serta Suharyono mantan kepala Bappeko.
Di hadapan majelis hakim dan jaksa penuntut umum, saksi Hari Utomo yang lebih dulu diadili dalam kasus yang sama memberikan keterangan seputar proses pemekaran wilayah yang berlangsung pada tahun 2001-2003. Menurut Hari Utomo, pemekaran kota tidak berhasil karena adanya kolompok anti pemekaran. Kelompok itu digalang oleh sebagian anggota DPRD Kabupaten Mojokerto. Hasilnya, keluar surat keputusan DPRD Kabupaten Mojokerto yang menolak ide pemekaran wilayah Kota Mojokerto.
Dalam kesaksiannya, Hari Utomo banyak dicecar pertanyaan seputar penggunaan dana Rp 698 juta lebih, dimana Hari Utomo membubuhkan tanda tangan di kuitansi penerimaan uang tersebut. Hari menjawab, walau menanda tangani namun dia tidak mengetahui wujud uang itu. Dia harus menanda tangani kerena uang sejumlah itu telah ada di tangan DPRD Kota. Dengan demikian selaku penanggung jawab, mau tidak mau hari harus membubuhkan tanda tangannya.
Dalam beberapa kali rapat dan lobi yang dilakukan, Hari Utomo melihat beberapa orang anggota DPRD Kabupaten Mojokerto yang mendukung pemekaran mendapat uang transportasi. Karena itu, Hari Utomo juga minta agar anggota DPRD kota juga diberikan uang transpor. Permintaan itu disampaikan secara lesan dalam rapat-rapat.
Selanjutnya dana itu dibuat untuk operasional pemekaran berupa kegiatan lobi-lobi dan sosialisasi. Pelaksanaan sosialisasi dilakukan oleh fraksi-fraksi di DPRD Kota dalam kapasitas sebagai tim sukses pemekaran.
Jaksa Penuntut Umum, Abraham Sahertian SH juga menanyakan apakah dana itu sah menurut aturan. Menurut Hari, memang tidak dibenarkan karena legislatif tidak boleh mengambil dana dari eksekutif. Masing-masing memiliki pos anggaran sendiri.
Di samping itu Hari Utomo juga mengatakan bila anggaran pemekaran secara khusus tidak dimasukkan dalam nomenklatur APBD Kota. Anggaran operasional pemekaran dititipkan pada anggaran sekretariat daerah pos tamu-tamu daerah. Penitipan itu merupakan kesepakatan antara Tim Anggaran Eksekutif dengan Panitia Anggaran (panran) Legislatif. Secara aturan, penitipan itu tidak dibenarkan.
Mantan Kepala Bagian Hukum Pemerintahan Kota Mojokerto, Bagus Wahyu Broto diminta kesaksiaannya seputar pencairan uang Rp 268 juta.
Menurut pengakuan Bagus, dia hanya menanda tangani surat permohonan mencairkan uang (SPMU). Surat itu diajukan oleh Rahmi Wijayanti, staf bagian keuangan. Saat itu konsep berupa ketikan rapi dan Bagus tinggal menandatangani.
Saat ditanya jaksa, mengapa dia berani menanda tangani padahal uang itu tidak dipergunakan oleh Bagian Hukum, Bagus mengatakan dia tidak menanyakan karena menganggap hal itu merupakan perintah atasan, dalam hal ini adalah Wali Kota. Tidak mungkin surat permohonan itu ada kalau tidak ada yang menyuruh membuatnya, kilah Bagus.
Setelah dana tersebut cair, uangnya tidak diketahui oleh Bagus siapa yang menerima. Padahal dalam aturan uang itu harus diberikan dan dipertanggung jawabkan pada yang mengajukan permohonan. Karena merasa sebagai penandatangan surat, Bagus minta bagian pada bagian keuangan. Atas permintaan itu dia diberi uang sekitar Rp 1 - 2 juta tanpa kuitansi.
Dalam persidangan itu juga terungkap bahwa upaya pemekaran kota dihentikan setelah adanya peringatan dari Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2003. Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan adanya penyelewengan penggunaan dan pemekaran wilayah. Untuk melengkapi asil audit BPK, beberapa pejabat Kota Mojokerto membuat surat klarifikasi. Surat itu bukan surat resmi karena tidak menggunakan kop surat dan logo Pemkot. Surat itu ditanda tangani beberapa orang termasuk saya, ujar Bagus.
Lebih lanjut, Bagus menyatakan bahwa gagasan pemekaran itu merupakan ide dari Wali Kota Mojokerto saat itu. Gagasan itu ditindak lanjuti dengan pembuatan Surat Keputusan Wali Kota tentang pembentukan Tim Pemekaran Wilayah, dibicarakan dengan eksekutif untuk disepakati. Sebagai salah satu anggota tim, Bagus mengaku tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan itu.
Sementara itu Tegoeh Soedjono yang mengenakan baju khas batik-batik merah usai persidangan mengatakan keterangan saksi tidak sepenuhnya benar. Ada beberapa keterangan yang tidak sesuai dengan kenyataan, termasuk salah satunya mengenai persetujuan dan dukunggan pemekaran wilayah, katanya.
Dia menambahkan bahwa ide pemekaran bukan datang dari wali kota semata melainkan persetujuan semua pihak. Termasuk ketua dan beberapa anggota DPRD Kota waktu itu, tandasnya. (ris)
Sumber: Radar Mojokerto, 5 Juli 2007