Bawasda Jakarta Tak Mampu Mencium Kasus Korupsi
Nada suara anggota Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Rois Hadayana Syaugie SH meninggi saat menyoroti kinerja Badan Pengawas Daerah (Bawasda) DKI Jakarta. Ia mengaku amat kecewa karena dari beberapa kasus korupsi yang terjadi di tubuh Pemprov DKI, ternyata Bawasda tak mampu menciumnya.
Yang pertama kali mendeteksi adanya korupsi atau penyelewengan dana itu justru pihak luar, seperti Kejaksaan. Sedangkan Bawasda yang berada di dalam institusi itu, justru tidak mengetahuinya. Kan lucu! sergah anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini.
Menurutnya, kasus korupsi yang dilakukan Kepala Suku Dinas (Kasudin) Pertamanan Jakarta Barat (Jakbar), Sri Budisetiati dengan Kasudin Pertamanan Jakarta Selatan, Harun Al Rasyid (mantan Kasudin Pertamanan Jakbar), menjadi salah satu contoh kasus korupsi yang luput dari pengawasan Bawasda.
Padahal, nilai uang negara yang ditilep dua orang pejabat ini dari anggaran rutin pertamanan tahun 2003-2004 mencapai Rp 1,4 miliar. Saat ini, kasus keduanya sedang dalam proses pelimpahan ke Pengadilan Negeri Jakbar.
Selain itu, Rois juga menyebut, kasus penyelewengan anggaran sarana dan prasarana tahun 2004 senilai Rp 606 juta, yang telah dilakukan Kasudin Pemadam Kebakaran Jakbar, Fuad Said ikut menambah rapor merah sang Bawasda. Fuad sendiri saat ini masih ditahan di rutan Salemba, Jakarta Pusat.
Tidak sampai disitu. Lagi-lagi Bawasda kecolongan ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan adanya indikasi mark up yang dilakukan dalam pembelian armada busway. Pada tahun 2003, sebanyak 56 bus unit merek Hino didatangkan dengan biaya Rp 50 miliar dari APBD DKI tahun 2003. Kemudian, untuk 44 unit merek Mercedes dikucurkan dana Rp 37,7 miliar dari APBD 2004.
KPK menemukan perbedaan harga antara pengadaan 56 unit bus dan 44 unit lainnya. Jika untuk 56 bus menghabiskan Rp 50 miliar, berarti harga bus dengan modifikasi khusus Rp 892 juta/unit. Sedangkan untuk 44 unit menelan dana Rp 37,7 miliar, yang berarti harga per unit senilai Rp 856 juta. Jadi, harga bus dalam APBD 2003 lebih mahal ketimbang bus APBD 2004.
Pihak PT New Armada di Magelang, Jawa Tengah, perusahaan karoseri mobil yang menjadi rekanan Pemprov DKI dalam pengadaan bus modifikasi khusus itu, mengaku hanya mengenakan bandrol Rp 821,7 juta per unit untuk merek Hino. Sementara, bus Mercedes Rp 846,5 juta per unit.
Harga tersebut sudah termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). Jika dihitung harga satuan, anggaran yang untuk pengadaan 56 bus pada 2003 hanya mencapai Rp 47,6 miliar, bukan Rp 50 miliar.
Banyaknya kasus korupsi yang terjadi di tubuh Pemprorov DKI menunjukkan betapa pengawasan yang dilakukan Bawasda masih buruk, imbuhnya.
Gunung Es
Kasus korupsi di Indonesia, kata Rois, seperti fenomena gunung es. Puncaknya terlihat, tetapi badannya tenggelam di bawah laut alias tak terlihat. Artinya, kasus korupsi yang tidak terungkap jauh lebih besar dari yang terungkap, tegasnya.
Rois juga menyayangkan terungkapnya beberapa kasus korupsi jajaran eksekutif di Jakarta, tetapi tidak diikuti dengan pemeriksaan intensif. Instruksi Presiden mengenai pemberantasan korupsi telah dikeluarkan, tapi Pemprov DKI tetap tenang-tenang saja. Bahkan, mereka meragukan laporan TII dengan mengatakan Jakarta kota terkorup, katanya.
Padahal, kata dia, Bawasda DKI mendapatkan alokasi anggaran Rp 42,6 miliar dari APBD DKI Jakarta tahun 2004, tetapi kinerjanya masih jauh dari harapan. APBD Pemprov DKI yang mencapai Rp 14,01 triliun pada tahun 2005, menurut dia, memberi peluang besar terjadinya korupsi jika tidak diawasi secara seksama.
Rois mengaku setuju dengan pendapat peneliti Adrinof Chaniago yang mengatakan, modus korupsi seperti mark up barang, proyek fiktif, manipulasi anggaran, dan penyelewengan tender dapat saja terjadi. Itulah mengapa dirinya menuntut agar Bawasda dapat memperbaiki kinerjanya sehingga dapat menekan peluang terjadinya kasus korupsi di tubuh Pemprov DKI.
Pemprov DKI harus menunjukkan itikad baik untuk warganya. Perbaiki kinerja Bawasda yang merupakan garda terdepan pemberantasan korupsi. Kalau memang gubernur menilai kinerja Bawasda tidak memuaskan pecat saja kepala Bawasdanya, ganti dengan yang lebih pantas. Jangan ragu-ragu! tegasnya. (Y-6)
Sumber: Suara Pembaruan, 18 Maret 2005