Begitu beratkah pejabat untuk hidup sederhana?
Awal Orde Baru, pemerintah meminta masyarakat hidup dengan pola sederhana, mengingat negara belum mampu memberi kehidupan layak. Namun demikian, kenyataan yang kita lihat, kaum elite tingkat atas apakah pejabat, aparatur negara bahkan politisi berlomba hidup dalam kemewahan.
Mobil mewah, rumah mewah dan liburan ke luar negeri sudah menjadi hal yang biasa dan wajar dalam kehidupan mereka. Itu semua bisa dilakukan karena uang mereka melimpah baik yang didapat secara halal maupun haram.
Lalu siapa yang dimaksud dengan pejabat atau aparatur negara? Dalam Tap MPR No. II/MR/1998 disebutkan bahwa aparatur negara adalah keseluruhan lembaga dan pejabat negara serta pemerintahan negara yang meliputi aparatur kenegaraan dan pemerintahan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat; bertugas dan bertanggungjawab atas penyelenggaraan negara dan pembangunan; serta senantiasa mengabdi dan setia kepada kepentingan, nilai-nilai dan cita-cita perjuangan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pola hidup mewah yang dipertontonkan kepada rakyat oleh pejabat atau aparatur negara jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan cita-cita perjuangan bangsa sebagaimana yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945, khususnya nilai-nilai kemanusiaan.
Akibat kecanduan hidup mewah di kalangan pejabat atau aparatur negara tersebut membuat mereka berlomba untuk mencapainya, termasuk dengan cara yang tidak halal, yaitu melakukan korupsi terhadap uang negara.
Kita lihat saja kenyataannya, begitu banyak gubernur, bupati, wali kota dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik di pusat maupun di daerah yang gemar melakukan korupsi terhadap uang negara yang dikelolanya.
Dalam hal penggunaan fasiltas negara pun para pejabat seakan lupa kepada rakyatnya. Dalam penggunaan mobil dinas misalnya. Setiap tahunnya mobil dinas berpelat merah yang digunakan pejabat selalu berganti mengikuti tren.
Kemudian mobil dinas para pejabat yang lama dilelang dan dibeli oleh para pejabat rendahan. Sementara itu, untuk mengganti mobil dinas yang telah dilelang disediakan lagi dana yang diambil dari APBD/APBN. Padahal APBD/APBN adalah uang tetesan keringat rakyat yang penggunaannya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Tentu saja sangat banyak uang rakyat yang diambil untuk memberi mobil dinas para pejabat tersebut. Karena mobilnya tergolong mobil mewah dan sudah pasti harganya mahal. Yang lebih menyakitkan, karena tergolong mobil mewah dan berharga jutaan rupiah sudah pasti mobil itu hanya bisa digunakan oleh pejabat, artinya mobil itu tidak memiliki makna sosial yang bermanfaat untuk rakyat.
Makna sosial
Di negara-negara lain, mobil dinas bagi pejabatnya terkesan sederhana dan memiliki makna sosial untuk rakyat. Di Thailand mobil dinas para pejabatnya berwujud pick-up, dengan harapan para pejabat yang mengendarai mobil dinas bisa menolong masyarakat di jalan yang telah lama menunggu angkutan atau tidak punya ongkos. Di Kuba, mobil dinas pejabat sekelas menteri merupakan mobil keluaran 70-an dan 80-an.
Wilfred Hoffman, mantan Duta Besar Jerman di Aljazair dan Maroko, bercerita bahwa istrinya merasa 'malu' setiap kali menghadiri acara pesta� kalangan diplomat atau para pejabat di kedua negara itu.
Karena istri Pak Hoffman tidak memiliki perhiasan dan baju yang gemerlap, mahal dan mewah seperti yang biasa dikenakan para ibu-ibu pejabat. Ironis memang, seorang istri duta besar dari negara kaya dan maju tapi mau hidup sederhana. Ini sangat berbeda dengan negara kita, Indonesia. Meski baru sebagai negara berkembang dan miskin, tapi pejabatnya cenderung bergaya hidup mewah.
Akhirnya, perlu ditekankan bahwa pola hidup sederhana harus diperlihatkan secara nyata oleh para pejabat, aparatur negara atau elite politik negeri ini. Pejabat harus memberikan contoh pola hidup sederhana kepada rakyat yang dipimpinnya.
Dalam sejarah, Rasulullah SAW adalah satu teladan mulia yang memperlihatkan sikap sederhana. Meskipun beliau memiliki kedudukan terpandang di masyarakat, beliau sama sekali tidak terobsesi dan berkeinginan untuk memamerkan kedudukannya.
Rumah beliau sangat sederhana, alas tidur pun hanya pelepah daun kurma yang membekas di pipi beliau setiap kali bangun tidur. Sikap hidup sederhana ini pulalah yang dibudayakan oleh para khalifah sepeninggal Nabi Muhammad SAW.
Betapa pentingnya ajakan dan contoh hidup sederhana yang ditunjukkan oleh Baginda Rasul di atas. Oleh karena itu, kesederhaan hidup merupakan sebuah keindahan dari kekuatan mengendalikan diri dari hawa nafsu dan keserakahan.
Agama mana pun memang tidak melarang seseorang untuk kaya raya, punya mobil mewah, rumah mewah, perhiasan emas dan lain sebagainya. Asal kekayaan itu diperoleh secara halal, dan tidak melalui korupsi, kolusi dan nepotisme.
Karena, pada dasarnya, timbulnya korupsi di negara kita salah satu penyebab utamanya adalah karena kebiasaan hidup mewah padahal gaji pas-pasan.
Di samping untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu pola hidup sederhana di lingkungan pejabat juga bertujuan mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih. Sehingga akan tercapai kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Permintaan rakyat hanya satu: hiduplah sederhana dan hentikan korupsi.
Oleh Oksidelfa Yanto, Staf CSIS Jakarta
Tulisan ini disalin dari Bisnis Indonesia, 28 Februari 2008