Benang Kusut Aliran Dana BI
Perjalanan pengusutan kasus aliran dana Bank Indonesia yang sempat menegangkan kini terlihat semakin surut. Anehnya, ini terjadi setelah satu demi satu data aliran dana dari BI ke beberapa pihak mulai terungkap. Semakin terang, selain mengalir untuk kepentingan pembelaan hukum atas kasus yang mengaitkan beberapa pejabat BI, dana ini diduga mengalir ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam kaitan dengan pembahasan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Undang-Undang BI. Kasus yang berawal dari laporan masyarakat itu kini sudah mengalir dari institusi resmi. Setidaknya dari Badan Pemeriksa Keuangan, pejabat BI, dan Sekretariat Jenderal DPR RI. Komisi Pemberantasan Korupsi dan juga Badan Kehormatan DPR RI terlihat telah berupaya keras mengusut kasus ini. Namun, kenapa hingga hari ini belum juga ada penetapan status hukum atas seorang pun? Apakah ini sebuah antiklimaks?
Selasa, 18 Desember 2007
Konteks kasus BI
Aliran dana ke BI sebenarnya dapat dipandang sama modusnya dengan aliran dana dari instansi pemerintah lain yang pernah terungkap. Taruhlah kasus Departemen Kelautan dan Perikanan serta kasus Dana Abadi Umat (DAU). Kasus DAU dan Departemen Kelautan jelas menunjukkan ada sebagian dana dari kas instansi yang diberikan ke sejumlah pejabat dan tokoh politik dengan berbagai motif serta keperluan. Dana terbukti diambil dari kas instansi, diantarkan oleh oknum di instansi bersangkutan, dan tindakan ini dilakukan atas persetujuan pemimpin instansi, dalam hal ini menteri. Siapa yang membagikan disebutkan dengan jelas, begitu juga dengan jumlah uang yang dibagikan dan siapa yang menerima.
Dana BI berawal dari proses hukum terkait dengan dana BLBI, yang melibatkan beberapa pejabat BI. Kasus BLBI yang melibatkan mereka yang sebelumnya adalah pejabat teras dipandang bukan lagi persoalan pribadi para oknum mantan pejabat, tapi menjadi masalah kelembagaan BI. Di sinilah pangkal masalah awalnya. Di sisi yang lain, ada beberapa kepentingan yang ingin didorong oleh BI terkait dengan bergulirnya pembahasan beberapa rancangan undang-undang di DPR RI yang mengatur beberapa persoalan terkait dengan peran BI sebagai otoritas moneter. Hal inilah yang oleh beberapa dokumen yang beredar disebut sebagai pasal-pasal high call dan harus disukseskan dengan baik ke DPR. Dasar ini kemudian menjadikan dana yang diduga mengalir ke Komisi Keuangan DPR RI saat itu dikatakan sebagai dana pembinaan hubungan baik.
Berbagai keputusan untuk memberikan alokasi dana, baik untuk kepentingan membantu proses hukum (dana bantuan hukum) maupun dana untuk membina hubungan baik ke DPR, diduga merupakan keputusan sah lembaga BI. Berbagai dokumen yang beredar menunjukkan adanya pertemuan-pertemuan resmi di BI yang mendasari mengucurnya dana ini. Misalnya, dalam dokumen Rapat Dewan Gubernur tertanggal 20 Maret 2003 diputuskan untuk memberikan kucuran dana bantuan hukum bagi tiga orang mantan anggota direksi BI, masing-masing Rp 5 miliar, yang diambil dari anggaran Direktorat Hukum BI.
Berbagai kejanggalan
Mengucurnya dana dari anggaran BI untuk keperluan bantuan hukum dan diseminasi ke DPR RI selama ini oleh pihak BI dianggap sebagai hal yang wajar dan sudah sesuai dengan prosedur. Tapi kecurigaan publik tetap muncul karena melihat berbagai kejanggalan yang didasarkan pada dokumen yang beredar. Kejanggalan pertama adalah memberikan dana Rp 15 miliar kepada tiga mantan pejabat BI. Keputusan ini dinilai janggal, karena keluar dari batasan aturan BI sendiri. Keputusan ini diambil berdasarkan Pasal 6 Peraturan Dewan Gubernur BI Nomor 4/13/PDG/2002 tentang Perlindungan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Tugas Kedinasan Bank Indonesia. Dalam aturan ini, dana bantuan hukum diberikan kepada pegawai BI dari jenjang gubernur hingga tenaga honorer yang mengalami tuntutan hukum karena melaksanakan tugas kedinasan. Tapi, jika pejabat yang bersangkutan terbukti bersalah, dana ini harus dikembalikan. Anehnya, dalam keputusan rapat dewan gubernur tersebut disebutkan bahwa dana yang diberikan masing-masing Rp 5 miliar itu tidak perlu dipertanggungjawabkan.
Kejanggalan kedua adalah dalam kaitan dengan penggunaan dana untuk kepentingan sosial dan kemasyarakatan yang dirumuskan dalam dua kali rapat sejenis pada 3 Juni dan 22 Juli 2003. Dalam rapat diputuskan untuk menggunakan dana dari Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Perbankan--sebuah yayasan BI untuk kepentingan insidental dan mendesak. Kemudian disetujui pengambilan dana Rp 100 miliar. Dibentuklah Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PPSK) untuk mengelola dana tersebut. Dilihat dari tujuan PPSK, seakan dana ini murni akan digunakan untuk kepentingan masyarakat dalam kaitannya dengan BI. Ternyata, total dana BI sebesar Rp 42,7 miliar dan dana YPPI Rp 71,5 miliar yang dikelola PPSK mengalir untuk dana bantuan hukum mantan pejabat BI dan oknum anggota DPR RI.
Sebagian besar dana, yaitu Rp 96,2 miliar, mengalir untuk pengacara dari enam mantan pejabat BI yang sedang menjalani proses hukum (Rp 27,7 miliar) dan kepada para terdakwa Rp 68,5 miliar. Publik kemudian bertanya-tanya, apakah sebesar itu ongkos pengacara? Juga ke mana larinya dana dalam jumlah besar yang mengalir ke para tersangka? Apakah penggunaan dana itu dapat dikaitkan dengan upaya meloloskan proses hukum? Di titik ini tercium pekat bau indikasi suap terhadap aparat hukum, terutama oknum di Kejaksaan Agung.
Data yang beredar juga menyebutkan Rp 31,5 miliar dana yang sama diduga mengalir ke DPR terkait dengan pembahasan BLBI dan RUU BI. Dana ini diduga diterima oleh salah seorang anggota Komisi IX saat itu, yang memicu dugaan pelanggaran kode etik di DPR RI.
Benang merah
Dari dokumen yang beredar sebenarnya telah terbukti setidaknya benar dana ini resmi dikeluarkan dari anggaran BI atau anggaran BI yang dititipkan di yayasan. Siapa penerimanya juga sudah terang. KPK dan Badan Kehormatan DPR bahkan dikabarkan telah mendapatkan data tambahan berupa rekaman sidang di DPR dan keterangan dari pejabat BI. Lantas apa lagi yang ditunggu? Benang merah semakin terang, kok, masih terlihat kusut? Semoga ini tidak terkait dengan momen penggantian pemimpin KPK atau komposisi baru Badan Kehormatan DPR yang sedang menata lagi komitmennya. Entahlah.
Ibrahim Fahmy Badoh, KOORDINATOR DIVISI KORUPSI POLITIK, INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 18 Desember 2007