Benang Kusut Bantuan di Aceh
Bantuan nasional maupun internasional untuk korban tsunami ke Aceh yang melimpah ruah ternyata bukan jaminan rehabilitasi bisa berjalan mulus. Distribusi bantuan kepada korban bencana mengalir tak jauh, hanya berputar-putar di lingkaran kecil, ibarat benang kusut yang justru menimbulkan berbagai masalah baru.
Hampir di setiap desa bisa ditemui pengungsi yang mendapat bantuan rumah ganda, bahkan ada yang mendapat sembilan unit rumah, seperti di Kampung Laksana, Kecamatan Kuta Alam. Di sisi lain, sebagian pengungsi yang belum mendapat satu rumah pun ada yang belum mendapat kepastian kapan rumah untuk mereka direalisasikan.
Rosmiati (46), korban tsunami dari Desa Emperom, Kecamatan Jaya Baru, Kota Banda Aceh, sempat terlunta-lunta. Ia kini tinggal di barak Pasie Beutung, Kecamatan Laweung, Pidie, sekitar 70-an kilometer dari rumahnya semula. Sebelum ke Pasie Betung, Rosmiati tinggal di tenda darurat di kamp pengungsian Mata Ie, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar.
Pada akhir Juli 2006, terjadi relokasi pada penghuni tenda darurat di Mata Ie ke rumah sementara di Lhoong Raya. Rosmiati dan 50 KK pengungsi di Mata Ie tak kebagian rumah temporer di Lhong Raya. Jangankan rumah permanen, rumah sementara pun tak kebagian, kata janda dua anak ini.
Pemberian bantuan perahu untuk nelayan korban tsunami juga ruwet.
Banyak yang bukan nelayan justru mendapat bantuan ganda. Hingga kini nelayan sebenarnya tak mendapat bantuan dan terpaksa harus menyewa perahu bantuan dari orang lain yang bukan nelayan tetap.
Sulaiman (55), nelayan di Desa Lampage, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, setiap hari menyewa perahu dari orang lain di Desa Meunasah Tengah untuk mencari ikan di laut. Perahu sewaan tersebut merupakan bantuan dari salah satu lembaga internasional.
Pemilik perahu yang saya sewa ini tidak melaut dan memang bukan nelayan. Sebelum tsunami saya adalah nelayan. Perahu tempel saya hilang karena tsunami. Akan tetapi, yang dapat bantuan justru orang lain, ungkapnya.
Mujur, bencana boleh sama. Kepedihannya pun tak jauh berbeda. Luka tsunami adalah luka bersama. Tetapi pascatsunami, ketika uluran dana untuk membangun rumah meluber ke bumi Serambi Mekkah, jurang nasib di antara sesama korban tsunami pun mulai melebar.
Seorang korban tsunami dari Kajhu, Aceh Besar, yang tak mau disebut namanya dan yang masih lajang serta kehilangan kedua orangtuanya bisa memperoleh dua rumah dengan menggunakan nama dia sendiri dan satunya lagi dengan membuat kartu keluarga baru untuk keponakannya yang masih berusia di bawah sepuluh tahun.
Di sejumlah desa, fenomena korban tsunami yang mendapat rumah bantuan lebih dari satu menggejala, dengan modus membuat kartu keluarga baru. Misalnya di Punge, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh, seorang pengungsi bisa mendapat enam rumah dari lembaga donor yang berbeda, salah satunya dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias.
Demikian halnya di Desa Emperom, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh, ditemukan pengungsi yang mendapat enam rumah. Bahkan, di Kampung Mulia, Kecamatan Syiah Kuala, ditemukan seorang pengungsi yang mendapat sembilan unit rumah bantuan dari BRR.
Lurah Punge Abdullah TB mengakui ada warga yang memperoleh rumah lebih dari satu. Memang ada warga yang dapat rumah lebih dari satu, ada juga yang dapat enam rumah, katanya.
Menurut Abdullah, dari kebutuhan awal rumah untuk korban tsunami di Punge yang telah dipetakan sebanyak 600 unit