Berakhirnya Bisnis TNI
Bagaimana kabar pengambilalihan bisnis TNI?
Dalam Pasal 76 UU No 34/ 2004 tentang TNI disebutkan, dalam jangka waktu lima tahun sejak diberlakukan, pemerintah harus mengambil alih semua aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI, baik langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan UU yang ada, tanggal 16 Oktober 2009 TNI harus bebas dari aktivitas bisnis. Mungkin, ini adalah kado terpenting TNI untuk menjadikan TNI kian profesional setelah sampai pertengahan 2004 melakukan reformasi internal dengan keluar dari ranah politik dan berhasil memperbarui beberapa institusi TNI.
Melihat capaian itu, banyak pihak mengatakan, TNI merupakan institusi paling berhasil dalam reformasi birokrasi dibandingkan dengan kepolisian dan pegawai negeri sipil. Memang, capaian ini masih harus dibuktikan guna membebaskan TNI dari ranah bisnis.
Proses
Jika merunut langkah-langkah pemerintah untuk pengambilalihan bisnis ini, terkesan langkah ini terlalu berhati-hati dan lama prosesnya. Mengapa?
Pada akhir Agustus 2005, tim kementerian dibentuk untuk menyelesaikan pengambilalihan yang berhubungan dengan pelaksanaan Pasal 76 dan untuk menyusun rancangan keputusan presiden. Ketua yang ditunjuk dari Tim Supervisi Transformasi Bisnis (TSTB) TNI adalah Said Didu, Sekretaris Menteri Negara Badan Umum Milik Negara, dengan anggota Menteri Pertahanan, Menteri Keuangan, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pada akhir September 2005, TNI mengeluarkan daftar 219 bisnis militer, yang diserahkan kepada tim TSTB TNI. Enam bulan kemudian muncul pernyataan dan dokumen dari Departemen Pertahanan yang mengacu pada daftar 1.520 unit bisnis TNI, tetapi unit individu dalam kedua daftar itu tidak diumumkan. Bulan Desember 2006, saya mendapat daftar 23 yayasan militer dengan 107 badan usaha dan 172 kerja sama militer dengan 52 unit sehingga total 356 unit bisnisnya.
Ringkasnya, pada awal 2007, masyarakat tak memiliki informasi resmi apa pun tentang identitas aktivitas bisnis individual TNI. Sebuah rancangan awal keputusan presiden dapat dibuat oleh tim pengambilalihan pada kuartal pertama 2006 dan didiskusikan dengan beberapa analis militer. Kekhawatiran utama para akademisi adalah rancangan itu terlalu terfokus pada pembentukan Badan Pengelola Transformasi Bisnis TNI untuk mengatur bisnis-bisnis yang diambil alih dari TNI.
Draf itu tidak membuat definisi baru dari aktivitas bisnis dan tampaknya hanya mengacu bisnis formal TNI dalam daftar yang diserahkan kepada Menteri Pertahanan tahun sebelumnya. Draf itu juga ambigu tentang apakah bisnis yang ditransfer ke badan baru harus diteruskan atau ditutup. Juga tentang keuntungan yang diraih dari hasil operasi bisnis atau penjualan. Akhirnya, tanggal 16 April 2008 terbit Keppres No 7/2008 tentang Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI, yang diketuai Erry Riyana Hardjapamekas. Dari kajian tim nasional ini, aktivitas bisnis yang selama ini berlangsung adalah melalui yayasan, koperasi, pemanfaatan badan milik negara di luar tugas, pokok, dan fungsi serta kegiatan di luar tugas, pokok, dan fungsi.
Total aset yayasan dan koperasi, termasuk perusahaan yang dimiliki, adalah Rp 3,2 triliun, sedangkan total kewajiban yang harus dibayar Rp 1 triliun sehingga nilai aset bersih Rp 2,2 triliun. Setelah sekian lama, inilah kali pertama kita mengetahui data resmi yang dikeluarkan pemerintah tentang bisnis TNI.
Implikasi
Indonesia bukanlah negara pertama yang memiliki institusi militer yang melakukan aktivitas ekonomi di luar anggaran. Tiap wilayah di dunia telah melihat aneka variasi aktivitas ini. Bahkan, tentara ”modern” seperti di Inggris, pada masa lampau, memiliki berbagai sumber penghasilan untuk membiayai operasional sejumlah aktivitas bisnis di luar produksi perlengkapan militer dan pelayanan (untuk industri pertahanan).
Bahkan, sebuah penelitian tentang aktivitas bisnis militer di Myanmar mencatat, mereka ”mengikuti gaya Angkatan Darat Inggris yang melakukan bisnis untuk tentaranya” (Andrew Selth, 2001). Pasukan militer AS, yang memiliki sejarah panjang dalam keprofesionalan, lebih merupakan pengecualian daripada peraturan.
Namun, tren mengarah kendali sipil amat jelas, bahkan negara nondemokrasi seperti China pun melakukannya. Implikasi pertama, untuk menggarisbawahi kesulitan yang akan dihadapi Indonesia dalam mencapai pemerintahan yang bersih, selama TNI memiliki sumber pendanaan independen.
Implikasi kedua, tingkat penghormatan atas komando TNI di luar perbatasan Indonesia akan amat tergantung seberapa cepat TNI bisa mengeluarkan dirinya dari aktivitas bisnis dan berkonsentrasi pada misi militer.
Tiga rekomendasi
Tiga rekomendasi penting dari Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI telah diserahkan kepada pemerintah, November 2008. Kini kita menunggu tindak lanjut pemerintah untuk mengeksekusi bisnis TNI sesuai amanat undang-undang.
Seandainya ini terjadi, kita baru memiliki TNI yang profesional setengahnya, yaitu bebas dari aktivitas politik dan bisnis. Sedangkan setengah lainnya, tentara yang terlatih, terdidik, dilengkapi secara baik, dan dijamin kesejahteraannya adalah kewajiban negara untuk memenuhinya.
Kini kita menunggu keputusan politik pemerintah, apakah akan memenuhinya dengan cepat atau berkilah di balik minimnya anggaran nasional?
Jaleswari Pramodhawardani Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI
Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 Oktober 2009