Berantas Korupsi, Berpikirlah Luar Biasa
Saat start resmi untuk memberantas korupsi dicanangkan oleh Presiden pada tanggal 9 Desember tahun lalu, bangsa ini sudah sampai pada puncak batas kesabaran menghadapi korupsi yang menggerogoti hampir seluruh aspek kehidupannya. Batas kesabaran itu diutarakan dalam bentuk keinginan untuk bertindak luar biasa, seperti dinyatakan oleh Presiden pada pencanangan Hari Anti-Korupsi tersebut.
Pertanyaan yang menyusul adalah apakah kita benar-benar serius? Apakah kita tahu benar apa itu cara-cara luar biasa? Di mana batasnya, adakah batas itu? Tulisan ini ingin turut memberi sumbangan, khususnya memberi dukungan agar kita berani berpikir dan bertindak secara luar biasa.
Biasa dan luar biasa
Bertindak dan berpikir biasa adalah sesuai dan berdasarkan konvensi-konvensi yang sudah disepakati. Dalam hukum, lembaga yang banyak menjadi landasan dalam pemberantasan korupsi, konvensi itu berarti konsep, asas, doktrin, dan sebagainya.
Berpikir biasa adalah berpikir yang tidak meninggalkan dan tidak boleh meninggalkan aturan yang sudah disepakati. Dalam psikologi barangkali cara seperti itu adalah analog dengan berpikir menggunakan IQ (intellectual quotient) yang bersifat linier, mekanistis, masinal, rasional, logis, dan ketat berdasarkan aturan (rule-bound).
Di sisi lain, apabila kita memutuskan untuk menempuh jalur yang luar biasa, maka yang akan kita lakukan adalah cara yang berseberangan dengan yang disebut biasa di atas. Dengan demikian kita juga harus bersedia untuk memutuskan rantai hubungan dengan cara-cara yang biasa tersebut. Mental bangsa ini harus siap juga untuk menghadapi berbagai pembelotan dari cara-cara biasa selama ini. Jangan nanti kita kaget sendiri dengan tindakan luar biasa yang ditempuh.
Kembali analog dengan dunia psikologi, maka berpikir luar biasa di sini bisa dianalogkan dengan tren penggunaan SQ (spiritual quotient). Berbeda dengan cara berpikir gaya IQ tersebut di atas, SQ mengandalkan cara-cara melompat, kreatif, mematahkan aturan lama (rule-breaking) dengan membuat aturan baru (rule-making). Maka sejak diumumkan keinginan untuk menempuh langkah luar biasa, kita juga harus berani melakukan pembelotan, pembebasan terhadap konvensi-konvensi lama, dan menegaskan kehadiran suatu aturan baru.
Ketertiban dan kekacauan
Pembicaraan kita tentang cara-cara luar biasa cepat atau lambat akan bersinggungan dengan permasalahan besar yang di akhir abad ke XX ini sering diangkat, yaitu apakah ketertiban dan kekacauan itu dua konsep yang berseberangan atau tidak?
Konsep klasik melihat keduanya sebagai kategori-kategori yang mutlak berbeda dan berlawanan, tetapi tidak menurut pandangan yang lebih baru, seperti Teori Kuantum. Dimulai dari dunia fisika dan kimia, maka keduanya (ketertiban dan kekacauan) tidak ditempatkan pada posisi eksklusif melainkan lebih inklusif dan berada pada aras kontinum (bersambungan). Maka mereka pun bisa bicara mengenai adanya Ketertiban yang muncul dari kekacauan (Prigogine dan Stengers, Order Out of Chaos, 1985).
Ini adalah perubahan berpikir dan berpandangan yang revolusioner dan tidak bisa hanya dibatasi di dalam wilayah kedua ilmu itu. Alvin Toffler yang menulis Kata Pengantar untuk buku tersebut di atas mengatakan bahwa ilmu tradisional cenderung lebih memberi tekanan pada stabilitas, ketertiban, uniformitas, dan keseimbangan (equilibrium), sedangkan ilmu sekarang menekankan pada perubahan sosial yang bersifat akseleratif dengan ciri-ciri: ketidak-tertiban (disorder), ketidak-stabilan, keaneka-ragaman (diversity), ketidak-seimbangan (disequilibrium), serta hubungan-hubungan yang tidak lurus (nonlinear).
Jadi mau tunggu apa lagi jika ilmu pengetahuan sendiri bisa memberi legitimasi terhadap keinginan bangsa ini untuk bertindak luar biasa. Maka jangan ragu-ragu, silakan menempuh jalur berpikir luar biasa!
Membangunkan komunitas hukum
Pada awal tulisan sudah diajukan pertanyaan tentang apakah cara-cara luar biasa itu mengenal batas atau tidak? Jawaban segera yang bisa disampaikan di sini adalah: ada, yaitu hukum. Negara kita adalah negara hukum dan itu tercantum dalam konstitusi. Oleh karena itu hukum akan selalu menjadi penuntun dalam proses-proses di negeri ini.
Pernyataan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum belum menjawab persoalan secara rampung (finite), melainkan masih membawa banyak permasalahan di belakangnya. Salah satu adalah bagaimana kita memberi arti pada hukum dan menentukan batas-batasnya.
Komunitas hukum di mana pun di dunia adalah komunitas yang kolot, esoterik, dan anti-perubahan. Maka tidak heran kalau Bung Karno pernah mengatakan met juristen kan men geen revolutie maken (kita tidak bisa berevolusi bersama para ahli hukum), sedangkan Shakespeare berujar let