Berhukum dalam Keadaan Luar Biasa
Hukum dibuat dan bekerja berdasarkan asumsi bahwa yang dihadapi adalah keadaan normal. Apabila keadaan berubah menjadi tidak normal, hukum dihadapkan kepada kesulitan.
Hari-hari ini, Indonesia berada dalam keadaan yang tak biasa. Kasus Bibit-Chandra yang rumit dan melibatkan banyak institut hukum menyebabkan penyelesaiannya secara tradisional kurang berhasil. Fakta yang terjadi sulit untuk dimasuk-masukkan begitu saja ke dalam berbagai skema penyelesaian yang sudah disediakan, seperti the criminal justice system dan lain-lain.
Dibutuhkan semacam terobosan. Maka, wajar apabila Presiden Yudhoyono yang bukan ahli hukum gamang ketika harus membuat putusan dalam situasi tidak biasa sekarang ini. Takut nanti dituduh intervensi dan ini dan itu. Sebuah tim, Tim 8, pun dibentuk untuk mendampingi Presiden menghadapi tantangan itu.
Pintu-pintu darurat hukum
Sebenarnya sejak awal, pembuat hukum sendiri menyadari, ia membuat hukum berdasarkan asumsi situasi yang normal. Maka, untuk mengantisipasi terjadinya keadaan yang tidak selalu normal, hukum sudah menyediakan pintu-pintu untuk keluar dari keadaan darurat itu.
Contoh, diskresi dalam kepolisian. Di sini seorang polisi diberikan hak istimewa untuk tidak menerapkan hukum yang seharusnya dilakukan atas dasar pertimbangan menyelamatkan keadaan. Ini banyak terjadi dalam pengaturan lalu lintas. Contoh lain adalah hal untuk menyampingkan proses hukum yang sedang berjalan (deponeering). Hak itu hanya diberikan kepada Jaksa Agung berdasarkan pertimbangan untuk menyelamatkan kepentingan bersama yang lebih besar.
Membuat dan mematahkan
Dari uraian itu, ternyata pekerjaan hukum tidak hanya melakukan rule making (membuat dan menjalankan), tetapi sesekali—dalam keadaan tertentu—juga melakukan rule breaking (terobosan). Contoh tentang ”pintu-pintu darurat” itu adalah di mana hukum melakukan terobosan terhadap peraturan, doktrin, dan lain-lain yang dibuatnya sendiri.
Dari uraian itu, kita juga belajar, yang namanya hukum tidak selalu memuat suasana yang penuh ketertiban dan keteraturan (order), tetapi juga ketidakteraturan (disorder). Di sini hukum menyadari kekurangannya sehingga menyediakan berbagai mekanisme untuk menyelamatkan eksistensinya. Kalau sudah begini, kita harus mengatakan, yang teratur dan tidak teratur itu sama-sama ada dan berkelindan dalam hukum.
Terkait permasalahan luar biasa yang sedang dihadapi hukum di Indonesia, disarankan untuk tidak ragu-ragu mengambil langkah-langkah progresif. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan kita dari ”belenggu kerangkeng hukum”. Kita memang membutuhkan hukum, tetapi jangan sampai terjadi hukum itu justru membelenggu kita.
Belajar dari AS
Amerika Serikat memberi contoh yang baik bagi kita tentang bagaimana membebaskan diri dari tradisi berhukum yang dirasakan membelenggu dinamika sosial yang berjalan. Dalam sejarah tercatat, pada suatu kurun waktu tertentu, AS bekerja keras membangun negerinya untuk menjadi negara modern. Saat itu, berbagai praktik hukum dilakukan guna mendukung AS yang sedang bergerak dinamis. Apa pun dilakukan, bahkan kalau perlu prinsip, doktrin yang berkualitas universal, dipinggirkan. Saat itu Mahkamah Agung AS membuat berbagai putusan monumental untuk membantu pembangunan AS, bahkan dengan cara-cara rule breaking (baca: menerobos) sekalipun.
Jika di dunia ada doktrin universal Trias Politica yang membuat pembatasan ketat antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif, demi kepentingan AS yang sedang membangun, doktrin besar itu dipatahkan. Dicontohkan bagaimana pengadilan membuat berbagai putusan, seolah duduk di kursi eksekutif (government by the judiciary).
Tentu saja, komunitas hukum dunia menjadi amat gusar. Namun, jawaban apa yang dilontarkan Negeri Paman Sam? AS dengan gagah mengatakan, ”this is the American development” dan ”this is the American concept of law”.
Hukum progresif
Selama ini kita adalah murid-murid yang baik dan patuh terhadap cara berhukum yang umum digunakan bangsa-bangsa di dunia, termasuk asasnya, doktrin-doktrinnya. Tanpa disadari, kita telah membelenggu diri sendiri dengan menganggap bahwa kita tidak dapat keluar dari praksis yang sudah dipersepsikan sebagai berhukum secara universal.
Gagasan progresif diharapkan dapat membantu kita keluar dari kungkungan cara berhukum yang sudah dianggap baku. Di sini, hukum progresif membebaskan kita dari cara berhukum yang selama ini dijalankan.
Sudahlah, semua konflik yang terjadi dalam ranah hukum mulai saat ini harus kita hentikan. Terlalu mahal apabila kepentingan yang lebih besar, yaitu membangun dan menyejahterakan bangsa, harus dibayar dengan pengurasan energi untuk menyelesaikan kemelut hukum yang sedang terjadi.
Mulai sekarang kita dorong sepenuhnya agar Presiden sebagai kepala negara tidak ragu mengambil alih komando penyelesaian kemelut hukum yang sedang terjadi demi kepentingan bangsa yang lebih besar. Penyampingan terhadap doktrin, praksis hukum tradisional, dan lain-lain, kalau itu ada, kita pikirkan nanti.
Mudah-mudahan, di belakang hari nanti, kita berhasil membantun suatu teori hukum Indonesia yang memberikan pertanggungjawaban terhadap apa yang kita lakukan sekarang.
Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 19 November 2009