Bersatu Mengganyang Korupsi
Seekor katak secara refleks dapat melompat menyelamatkan diri jika ia secara tiba-tiba dimasukkan ke dalam kuali yang berisi air mendidih. Namun, jika dari awal katak itu dimasukkan ke dalam kuali yang airnya dingin, ia akan diam karena berada dalam zona nyaman.
Sekalipun air itu dipanaskan secara perlahan-lahan, si katak tetap akan diam. Bahkan, si katak terlelap tidur!
Dia tidak berusaha menyelamatkan diri karena menikmati hangatnya perpindahan suhu air. Ini berarti si katak sudah beradaptasi dengan panasnya air karena dari awal dia sudah beradaptasi dengan ”ancaman lambat”. Akibatnya, si katak tidak pernah menyadari adanya ancaman lambat hingga ia mati dalam air mendidih dan lebih celaka menikmatinya (Peter Senge, The Fifth Discipline, 1990).
Korupsi meluas
Mutatis mutandis, Indonesia juga mengalami keadaan seperti ”balada katak rebus” itu: kurang memiliki kepekaan terhadap ancaman korupsi. Korupsi bermula dari kejadian kecil-kecilan pada akhir tahun 1960-an, sekarang sudah berubah dan berkembang menjadi extra-ordinary crime (kejahatan luar biasa).
Pada tahun 1967 Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution, yang mulai mengkhawatirkan perkembangan korupsi, sudah mengingatkan, jika korupsi terus dibiarkan, akan berbahaya bagi masa depan bangsa. Saat itu mulai terdengar menteri-menteri yang didakwa korupsi. Seorang petinggi Orde Baru ketika itu bisik-bisik menyebut korupsi seperti ”kentut tidak kelihatan, tetapi terasa baunya”.
Korupsi mulai meluas antara lain ditandai kemunculan bentuk-bentuk korupsi baru yang tidak dilakukan secara individual, melainkan secara kolektif. Bangsa kita bukannya tidak sadar akan ancaman kejahatan luar biasa karena sudah sejak reformasi ”keadaan darurat perang melawan korupsi” dilontarkan. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara tragis justru dibubarkan Mahkamah Agung setelah berupaya memeriksa sejumlah hakim agung yang diduga terlibat mafia peradilan.
Dalam sejarah pemberantasan korupsi, Indonesia pernah memiliki enam komisi atau lembaga antikorupsi sejenis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah bubar atau dipaksa dibubarkan. Diperlukan komisi independen dalam pemberantasan korupsi karena di samping penegak hukum konvensional gagal memberantas korupsi, hukum juga tidak mungkin mengarah kepada aparat penegak hukum sendiri sehingga diperlukan lembaga yang mempunyai kewenangan superbody.
Belakangan ini, penegak hukum bukannya serius memerangi korupsi, tetapi seolah justru sibuk memeriksa kelompok antikorupsi. Setelah polisi menjerat petinggi KPK, sekarang jaksa berusaha memenjarakan aktivis propemberantasan korupsi (ICW) dengan pasal karet pencemaran nama baik.
Para koruptor bersorak menikmati siaran langsung pertarungan antara ”buaya dan cicak”. Sejak itu, kita tidak pernah lagi mendengar ada koruptor kelas kakap yang diperiksa.
Bersatu padu
Kalau kita andaikan para koruptor melakukan kerja sama secara rapi untuk melakukan korupsi, mengapa polisi, jaksa, hakim, dan KPK justru saling berhadapan satu sama lain. Mengapa mereka tidak bekerja bersama-sama untuk menghadapi musuh bersama, yaitu korupsi dan koruptor?
Terdengar aneh, aparat penegak hukum sibuk bertikai di antara mereka sendiri. Namun, itulah yang terjadi sekarang ini, aparat penegak hukum mengalami disorientasi dalam pemberantasan korupsi. Komponen penegakan hukum (polisi, jaksa, hakim, dan KPK) saling berhadapan demi menjaga dan melindungi korps.
”Perang saudara” antarsesama aparat penegak hukum hanya akan memberi napas para koruptor untuk bangkit dan menyusun kekuatan kembali. Apabila semua komponen aparat penegak hukum tidak kunjung bekerja sama dan bersatu padu memberantas korupsi, para koruptor bernapas lega. Para koruptor hanya takut apabila semua komponen bersatu padu memberantas korupsi.
Artikel Prof Satjipto Rahardjo, ”Saatnya Melakukan Konsolidasi” (Kompas, 12/10/2009), menggugah aparat penegak hukum untuk bekerja sama memberantas korupsi. Warga sebuah republik yang sudah lama babak belur didera korupsi berharap bisa melihat polisi dan jaksa tidak lagi ”bertikai” berhadapan dengan KPK. Semangat korps dan bendera menjadi tidak penting sehingga apabila ada ”orang dalam” yang terlibat korupsi atau melindungi koruptor, harus didudukkan sebagai warga negara biasa untuk diperiksa menurut hukum yang berlaku. Bangsa ini sudah sekarat karena korupsi.
Ada kepentingan bangsa yang lebih besar yang harus diselamatkan dan didahulukan.
Widodo Dwi Putro Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram
Tulisan ini disalin dari Kompas, 30 Oktober 2009