Bersin, Sendawa, Kentut
Jumpa pers Pak Amien Rais di Yogyakarta, Senin (28/5) siang, menunjukkan ia dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dua negarawan sejati. Mereka bertekad menjaga tali silaturahmi, selalu membuka komunikasi, dan tetap tegas proses hukum jangan sampai berhenti.
Perlu sedikit pelurusan sejarah tentang dana nonbudgeter DKP ini. Sumber pelbagai informasi para penerima dana berasal dari proses penyidikan dan persidangan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri dan para mantan pejabat tinggi.
Ingat, mereka mengatakan penerima dana bukan cuma capres-cawapres Amien Rais, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Wiranto-Salahuddin Wahid, atau Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, tetapi juga sejumlah parpol, ormas, tokoh, serta politisi.
Pengakuan Pak Amien ditanggapi Pak SBY melalui jumpa pers di istana, Jumat (25/5) siang. Banyak yang menduga Pak SBY akan mengajukan tuntutan hukum dengan segera.
Wajar jumpa pers Pak SBY bikin geger karena disiarkan live dari halaman istana. Jumpa pers itu mengubah persoalan hukum yang biasa menjadi isu politik nasional yang berkembang bagaikan bola liar.
Sebagian surat elektronik ke rubrik ini menghujat Pak Amien yang dianggap pahlawan kesiangan.
Dalam menilai pemimpin, masyarakat masih menganut prinsip selalu ada tetapi. Bung Karno hebat tetapi doyan pidato. Pak Harto bagus tetapi mau mengajari korupsi.
BJ Habibie pandai tetapi enggak ngerti politik. Gus Dur jenius tetapi kebanyakan ngelucu. Megawati oke tetapi diam melulu.
Reaksi negatif seperti itu wajar karena ada harapan agar kualitas pemimpin tak boleh jauh dari malaikat yang turun ke Bumi. Begitu harapan itu tak terpenuhi, muncul rasa frustrasi.
Di satu pihak rakyat rindu ratu adil atau satria piningit. Celakanya, yang terpilih hanya ratu-ratuan atau satria singit.
Mungkin karena sudah menekan hati selama bertahun-tahun, rasa frustrasi itu akhirnya menjadi pemakluman. Jangan bandingkan kita dengan Amerika Serikat. Usia demokrasi mereka sudah tiga abad lebih, kita baru belajar demokrasi. Padahal korupsi oleh politisi busuk tak ada hubungannya dengan usia demokrasi.
Pemakluman lain, Karena gajinya kecil, pegawai negeri terpaksa korupsi. Padahal, mereka orang-orang pilihan yang diseleksi lewat tes ketat dan kita tahu kalau mau kaya janganlah jadi pegawai negeri.
Rasa frustrasi yang berkepanjangan itu juga kerap menimbulkan fatamorgana. Pak Amien dituduh mengeluarkan pernyataan kontroversial dengan sengaja karena ia merupakan bagian dari sebuah rencana besar yang ingin mendongkel Presiden SBY.
Padahal dunia belum kiamat. Hasil pemilu/pilpres yang cacat merupakan hal yang sering terjadi. Ingat skandal yang melibatkan Presiden AS Bill Clinton yang diperiksa karena didakwa menerima dana kampanye yang tak dilaporkan dari bos Lippo Grup, James Ryadi?
Legitimasi pemilu/pilpres tak bisa dipersoalkan. Namun, tindak tegas pelanggaran calon-calon gubernur DKI Jakarta yang memasang spanduk dan billboard kampanye di pinggir jalan.
Demokrasi bukan perkara mudah karena menuntut kewajiban. Kalau nyetir perlahan-lahan, janganlah bertahan di lajur paling kanan karena para pengendara di belakang Anda juga berhak atas lajur tersebut.
Jika tak puas dengan demokrasi, janganlah berdiam diri. Kalau enggak mau dibohongi politisi busuk lagi, mulai sekarang tuntut KPU membuat aturan baru, misalnya setiap calon anggota DPR yang mendapat suara kurang dari 250.000 tak berhak mendapat kursi.
Biarin jumlah kursi DPR sedikit, jangan-jangan lebih bermanfaat dan murah.
Lewat petisi kepada MPR, Anda juga bisa menuntut agar setiap politisi yang terbukti melanggar aturan dana kampanye tahun 2004 dilarang ikut tahun 2009. Mudah kan?
Mari desak KPU membuka data dana kampanye 2004 untuk diperiksa. Jangan percaya kepada yang sesumbar seolah-olah perdamaian Amien-SBY akhir dari cerita.
Anggap saja Pak Amien sedang bersin di hadapan Anda. Di Jerman orang bersin disambut dengan kata gesundheit, di Spanyol salud, di AS bless you, di sini alhamdulillah.
Wiranto, Hasyim Muzadi, Salahuddin Wahid, dan beberapa anggota tim sukses sudah angkat bicara. Anggap telanjur bersendawa.
Bagaimana mereka yang diam-diam juga menerima dana dari Pak Rokhmin? Anggap mereka masuk angin.
Politisi masuk angin suka kentut diam-diam. Politisi pemalu kalau kentut tak bunyi, tetapi wajahnya merah padam. Politisi pandir menahan kentut sampai berjam-jam.
Seperti uang, kentut tak bisa bicara, susah dilacak pembuangnya, dan ke mana larinya. Siapa yang kentut hari ini, esok kita juga sudah lupa. (Budiarto Sambhazi)
Tulisan ini disalin dari Kompas, 29 Mei 2007