BI dalam Sandera Politik
Kagetkah kita saat mendengar Gubernur BI dan dua pejabat setingkat direkturnya dinyatakan tersangka dalam apa yang disebut kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan para petinggi hukum? Dengan sedikit melihat ke belakang, tentu seharusnya kita tidak kaget lagi dengan kejadian itu. Gubernur BI sebelumnya, Syahril Sabirin, harus mencicipi bui lebih dari sembilan bulan walaupun akhirnya dinyatakan bebas murni oleh pengadilan. Mantan Gubernur BI Sudradjad Djiwandono juga tak lepas dari masalah hukum. Tiga mantan direktur BI (setingkat deputi gubernur sekarang) juga telah merasakan bui dalam kasus BLBI. Yang menjadi pertanyaan, benarkah kasus-kasus yang dihadapi BI tersebut murni masalah hukum? Bukankah kasus-kasus hukum tersebut akibat dan bukan sebab dari persoalan yang dihadapi BI?
Bulan-bulanan politik
Banyak spekulasi bahwa berbagai kasus yang terjadi disertai dengan diajukannya berbagai usul perubahan undang-undang yang terkait dengan BI, tidak terlepas dari adanya berbagai upaya intervensi politik untuk mengurangi independensi BI dan upaya untuk mengurangi kewenangan BI. Hal itu terus berlangsung sejak pemerintah dan DPR sepakat pada 1999 menyatakan BI adalah lembaga independen melalui Undang-Undang (UU) No 23/1999. Institusi BI yang diberikan tugas besar menjaga stabilitas moneter dalam kenyataannya harus menghadapi persoalan yang berada di ranah hukum dan politik. Bahkan risiko politik dan hukum bagi BI menjadi risiko utama yang dalam sekejap dapat menghilangkan kinerja yang diupayakan susah payah dalam waktu panjang. BI yang independen dari pemerintah kini telah menjadi sitting duck dalam arena politik dan hukum yang masih dalam setting belum final. Persoalan utama dari independensi BI tampaknya tidak terkait dengan kuat atau tidaknya landasan teori independensi bank sentral dan manfaatnya bagi negara, melainkan terkait dengan komitmen semua pihak di Indonesia untuk menjadikan BI sebagai bank sentral yang kuat dan efektif menjaga stabilitas ekonomi nasional.
BI yang independen, lepas dari intervensi pemerintah dan pihak lainnya, larangan dewan gubernur dan pegawai BI untuk menjadi pengurus partai sebagaimana diatur dalam UU BI merupakan praktik baik dari kebanksentralan yang dianut banyak negara. Tetapi dalam realitas politik Indonesia, independensi politik itu menjadi suatu masalah atau bahkan menempatkan BI sebagai 'bulan-bulanan politik.' Berbagai kasus yang dialami BI merupakan contoh-contoh yang dengan mudah opini publik dialihkan untuk 'mengadili' BI secara tidak proporsional, tanpa melihat lagi siapa dan apa yang menjadi sumber masalah. Dalam kasus BLBI, misalnya, tidak pernah dipermasalahkan siapa yang paling bertanggung jawab atas kebijakan tersebut, tapi proses hukum dipotong hanya kepada pelaksana kebijakan yaitu BI.
Dalam konteks seperti itu, 'independensi politik' yang seharusnya menjadi kekuatan menjadi kelemahan dalam setting politik dan hukum Indonesia. Sistem pemilihan anggota dewan gubernur atas usul presiden dan persetujuan DPR ditengarai juga sebagai penyebab tidak independennya BI dan mengakibatkan tidak solidnya anggota Dewan Gubernur. Anggota Dewan Gubernur dipersepsikan memiliki 'utang budi' terhadap pihak-pihak yang telah ikut membantu memilih mereka dalam pencalonan oleh presiden serta proses fit and proper test di DPR. Dengan berbagai argumentasi, kini mulai timbul pemikiran agar fit and proper test hanya dilakukan terhadap gubernur dan deputi gubernur senior, sedangkan deputi gubernur cukup dipilih oleh gubernur (atau berdasarkan kesepakatan dengan deputi gubenur senior) dengan memerhatikan profesionalisme calon.
Perlindungan konstitusional
Dalam realitas politik memang tidak mudah untuk mengharapkan sesuatu yang ideal seperti itu terjadi karena itu perlu dipikirkan proteksi yang lebih kuat terhadap independensi BI. Dewasa ini, timbul keinginan untuk kembali mengajukan proposal perlindungan konstitusional yang lebih kuat terhadap BI dalam rencana amendemen UUD 1945. Perlindungan independensi bank sentral dalam konstitusi diharapkan akan melepaskan bank sentral dari sandera politik, baik dalam proses penyusunan kebijakan, pemilihan dewan gubernur, ataupun dalam penyusunan anggaran BI. Apabila benar yang dituduhkan dalam perkara aliran dana BI kepada DPR, kita harus secara jujur melihatnya. Hal tersebut tidak terlepas dari ketergantungan BI kepada proses politik yang terjadi di dalam masalah-masalah yang terkait dengan penetapan kewenangannya di dalam UU atau lainnya. Perlindungan konstitusional itu penting karena begitu banyaknya kepentingan politik yang mungkin dimainkan berbagai pihak terhadap BI.
Kebijakan untuk secara bertahap mengurangi kewenangan BI (creeping out) yang saat ini tampaknya sedang berlangsung tidak akan menguntungkan siapa pun, bahkan pada akhirnya akan meruntuhkan kredibilitas dan daya tahan sistem ekonomi nasional di mata internasional. Oleh karena itu, dari semula harus sudah dapat disepakati apa-apa saja yang menjadi fungsi utama dan fungsi tambahan (auxiliary functions) dari bank sentral berdasarkan kebutuhan riil ekonomi nasional dan international best practices kebanksentralan dan keseluruhannya dicantumkan di dalam konstitusi negara (UUD 1945).
Karena itu, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap BI, agenda yang lebih penting lagi adalah menyelesaikan akar permasalahan dengan memperkuat perangkat hukum dan konstitusi yang dapat menjamin independensi BI di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Konflik BI dengan pemerintah di dalam wewenang tertentu harus diselesaikan once and for all sehingga tidak membuka celah yang dapat dimanfaatkan untuk bargaining politik yang tidak sehat. Pengaturan yang lebih jelas mengenai fungsi dan kedudukan BI sebagai lembaga negara yang bertanggung jawab di bidang moneter di dalam konstitusi diharapkan akan meminimalisasi kemungkinan terjadinya praktik-praktik negosiasi politik yang tidak sesuai dengan prinsip good governance. Tentu saja pilihan itu ada ketika seluruh komponen bangsa masih memegang komitmen untuk menjadikan BI sebagai lembaga negara yang independen. Pilihan lainnya adalah mengembalikan BI di bawah pemerintah. Pilihan terakhir itu jauh lebih baik jika dibandingkan dengan memberikan independensi setengah hati. Kini waktunya untuk MPR, DPR, dan pemerintah merenungkan dengan saksama semua implikasi independensi BI dalam setting politik, hukum, dan ketatanegaraan yang berlaku dewasa ini. Terlalu mahal biaya ekonomi yang harus ditanggung dari setiap tindakan hukum terhadap lembaga yang modal utamanya adalah 'kredibilitas' seperti BI. Oleh karena itu, upaya preventif harus menjadi prioritas di masa yang akan datang.
*) Oleh: Dian Ediana Rae, Ketua Ikatan Pegawai Bank Indonesia (Ipebi)
Tulisan ini disalin dari Media Indonesia,25 Februari 2008