Biarkan jika Nilai Gratifikasi Kecil
Tudingan bahwa negeri ini sarangnya para penyuap memang ada benarnya. Pasalnya, banyak terbukti pejabat yang terlibat dalam aksi itu hampir di seluruh instansi negara. Kita masih ingat kasus yang menimpa Mulyana, Probo Sutejo, Endin Wahyudin, dan Harini W. Tindakan para pejabat tersebut baru sekelumit di antara banyak kasus suap menimpa pejabat.
Perilaku suap yang sudah menjadi tradisi tersebut merupakan patologi sosial yang harus segera dibasmi. Tindakan tersebut menciptakan atmosfer yang tidak sehat di dalam kehidupan bernegara.
Betapa tidak, banyak orang yang kalah di pengadilan bukan karena salah, tapi karena tidak ada uang. Banyak orang yang menduduki satu jabatan, bukan karena mereka memiliki kemampuan, tapi ada uang. Banyak koruptor yang tidak diangkat ke pengadilan, mengapa? Lagi-lagi karena ada uang.
Berbicara persoalan suap, akhir-akhir ini muncul wacana baru dengan istilah gratifikasi. Gratifikasi dipahami sebagai seorang memberikan sesuatu kepada orang lain dalam bentuk uang, bingkisan, diskon harga yang rendah, paket wisata, tiket keluar negeri, dan lain-lain.
Secara simbolis kesan yang ingin diberikan dalam gratifikasi adalah sebagai wujud terima kasih atau simpatik si pemberi kepada penerima karena satu hal. Kalau dilihat secara kasat mata, memang tindakan itu cukup baik. Budaya memberi merupakan satu bentuk strategi membangun pola hubungan yang harmonis antarsesama.
Namun, jika gratifikasi diberikan untuk pejabat, itu cukup menjadi persoalan. Pasalnya, itu menyangkut hubungan dengan jabatan yang diemban. Ketika seseorang memberi, secara psikologis sebenarnya telah membentuk mental hubungan pertemanan. Pada tingkat yang lebih jauh, di dalam pemberian tersimpan pesan balas jasa. Artinya, secara mendasar si pemberi berbuat demikian sebenarnya memiliki kepentingan tertentu.
Untuk meloloskan kepentingan tersebut, si pemberi ingin mempengaruhi pejabat melalui hubungan pertemanan yang terbangun dalam gratifikasi.
Dalam konteks ini aroma suap cukup kentara menghiasi gratifikasi. Bedanya, kalau tradisi suap biasanya dilakukan murni dengan maksud untuk menyogok, seperti transfer uang antarrekening atau membawa uang satu kopor besar. Dalam gratifikasi yang ditanamkan adalah kesan pertemanan dengan dalih simpatik dan terima kasih kepada pejabat.
Namun, gratifikasi kepada pejabat tidak selalu dianggap sebagai unsur yang berkonotasi suap. Di dalam UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 pasal 12 B ayat 1 dan ayat 2 di jelaskan, bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Ada dua pesan yang terkandung dalam UU di atas. Pertama, gratifikasi baru dianggap sebagai unsur suap apabila pemberian tersebut dilakukan atas dasar simpatik dalam hubungannya dengan jabatan si pejabat. Misalnya, pemberian gratifikasi atas dasar prestasi pejabat dalam mengemban tugas.
Kedua, pemberian dalam hubungan dengan jabatan baru dianggap melanggar, apabila diiringi pemberian yang bisa bertentangan dengan tugas dan kewajibannya.
Dari gambaran di atas dapat diambil kesimpulan, selama pemberian itu tidak menekan pejabat untuk mengkhianati fungsi dan kewajibannya, gratifikasi dianggap sah. Pertanyaannya kemudian, pemberian seperti apa yang tidak ada unsur tekanan, yang bisa membuat pejabat mengkhianati tugas dan kewajibannya?
Pada prinsipnya tolok ukur untuk menyatakan gratifikasi sebagai unsur suap dapat dilihat dari jumlah pemberian. Misalnya, gratifikasi dalam jumlah jutaan, puluhan juta, bahkan ratusan juta. Dalam konteks itu memang cukup rasional bila gratifikasi dianggap sebagai unsur suap. Sebab, sangat mustahil seseorang memberi dalam jumlah seperti itu kalau memang tidak ada unsur ini dan itunya.
Ketika gratifikasi seperti ini diberikan kepada seorang pejabat, walaupun si pemberi tidak menuturkan kepentingannya, secara implisit telah memberikan tekanan psikologis terhadap pejabat dengan pesan balas jasa. Suatu waktu jika si pemberi memiliki kepentingan dalam hubungannya dengan kewajiban dan tugas pejabat, gratifikasi yang dilakukan sebelumnya ikut mempengaruhi pejabat dalam memberikan keputusan.
Dalam hal itu pejabat bisa saja meloloskan kepentingan si pemberi, bukan berdasarkan profesionalitas kewajiban dan tugasnya, tetapi tidak lebih si anu teman saya.
Ini akan berbeda halnya jika gratifikasi diberikan dalam jumlah yang sewajarnya. Misalnya, dalam bentuk pakaian, makanan ala kadarnya. Gratifikasi seperti itu dapat dipahami sebagai wujud terima kasih dan simpatik kepada pejabat, yang tidak menciptakan tekanan psikologis. Atas dasar itu, menurut saya, pelarangan yang dilakukan KPK terhadap pejabat menerima parsel terlihat terlalu berlebihan. Menerima parsel boleh-boleh saja selama nilai harga parsel tidak terkesan ada unsur suap.
Indra Yani, mahasiswa Fisipol UGM Jogjakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 10 Oktober 2006