Biaya Kampanye Harus Dibatasi
Tingginya ongkos politik ditengarai sebagai salah satu penyebab banyaknya kepala daerah terjerat masalah hukum. Karena itu, sudah seharusnya Undang-Undang tentang Pemilu Kepala Daerah mengatur pembatasan kampanye, dari waktu, tempat, hingga biaya kampanye.
Pembatasan kampanye itu dapat diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) yang saat ini disusun Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri). Usulan pembatasan dana kampanye itu disampaikan mantan Ketua Komisi II DPR Ferry Mursyidan Baldan di Jakarta, Sabtu (22/1).
Menurut dia, sudah saatnya pemerintah dan DPR memikirkan mekanisme untuk menekan ongkos politik. Besaran maksimal dana kampanye bisa dihitung dengan mempertimbangkan jumlah penduduk atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) suatu daerah. ”Misalnya 10 persen dari PAD (pendapat asli daerah) atau berapa maksimalnya,” kata dia.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR Ganjar Pranowo juga sependapat, pembatasan dana kampanye dapat menekan ongkos politik yang harus dikeluarkan calon kepala daerah. Selain itu, waktu kampanye pun harus dibatasi.
Bahkan, Ganjar mengusulkan, kampanye terbuka sebaiknya dihapus dalam pilkada. Selain tidak mendidik, ongkos yang harus dikeluarkan untuk menggelar kampanye terbuka itu relatif mahal. Akan lebih baik apabila kampanye dilakukan dengan metode diskusi berdasarkan basis konstituen.
Sebaliknya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah selangkah lebih maju dibandingkan dengan pemerintah ataupun DPR. Komisi I DPD telah memasukkan larangan kampanye terbuka dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pilkada yang mereka susun. RUU itu siap disampaikan ke DPR dan pemerintah untuk dibahas dan diperbandingkan dengan draf dari DPR dan pemerintah.
Pragmatis
Khusus mengenai banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus hukum, terutama korupsi, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Agus Poernomo berpendapat, kasus itu disebabkan buruknya pola rekrutmen partai politik (parpol). Parpol masih terlampau pragmatis sehingga mengabaikan kemampuan serta rekam jejak calon kepala daerah yang diusung.
Bahkan, lanjutnya, tidak jarang partai memberikan dukungan kepada orang yang bermasalah hukum. ”Jadi, hulunya memang di pelembagaan parpol. Karena parpol pragmatis, masalah track record calon diabaikan. Jadinya, banyak orang berkasus didukung parpol,” katanya.
Oleh karena itu, lanjut Agus, seharusnya parpollah yang harus memperbaiki pola rekrutmen pimpinan daerah. Parpol harus menjelaskan kepada publik alasan mereka mengusung atau mendukung tokoh tertentu untuk dijadikan calon kepala daerah.
”Kalau kita mau perbaiki, harus ada komitmen parpol untuk menjelaskan secara terbuka, kenapa dia mendukung seorang calon,” tegasnya.
Dosen Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, AAGN Ari Dwipayana, Sabtu, mengakui pula, pilkada pascareformasi memicu banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi. Pilkada dengan biaya mahal membuat kepala daerah mencari sumber dana dengan melanggar peraturan. Untuk itu, dibutuhkan sistem pilkada yang tidak membutuhkan biaya mahal.
Menurut Ari, korupsi yang dilakukan kepala daerah merupakan konsekuensi dari biaya politik yang mahal. ”Salah satu cara untuk memenuhi ongkos politik, calon kepala daerah sering menggunakan dana publik sehingga kemudian menjadi kasus dugaan korupsi,” kata dia.
Ari mengusulkan reformasi penyederhanaan pemilu sehingga bisa membuat pilkada lebih murah. ”Misalnya dengan pemilu nasional dan pemilu lokal sehingga ongkos penyelenggaraan pemilu lebih murah. Selain itu juga membatasi belanja partai untuk pilkada atau membatasi belanja kampanye pilkada,” kata dia lagi.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, minggu lalu, menyatakan, syarat calon kepala daerah akan ditambah dalam RUU Pilkada. Seseorang dengan status terdakwa tidak boleh menjadi calon kepala daerah. Namun, seseorang dengan status tersangka masih dimungkinkan dicalonkan sebagai kepala daerah karena bisa saja diterbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP). (nta/sie)
Sumber: Kompas, 24 Januari 2011