Biaya Politik Harus Dipangkas
Sistem penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah perlu dibuat secara komprehensif, rigid dan rinci, untuk memperbaiki kultur yang cenderung mengedepankan politik uang. Aturan yang mengambang, memberi celah kepada pihak-pihak berkepentingan untuk menyiasati keadaan dan melakukan berbagai upaya kecurangan untuk memenangkan pertarungan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memiliki otoritas penyelenggaran pemilu, harus diberi kewenangan untuk menyusun aturan yang lebih komprehensif. Tarko Sunaryo, Sekjen Institurt Akuntan Publik mengungkapkan, selama ini KPU kurang tegas menyusun aturan dan menerapkan sanksi. Akibatnya, pemilu langsung di tingkat pemiligan presiden, gubernur, bupati dan walikota, cenderung diwarnai berbagai pelanggaran.
Tarko mengatakan, hingga saat ini, berbagai pelanggaran aturan pemilu yang dilaporkan, belum juga ditindak.
Kelemahan yang lain, KPU dan badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) belum dapat memaksa para kandidat yang bertarung dalam Pemilukada untuk melaporkan dana kampanye. Padahal, kata Tarko, ada banyak potensi korupsi dan aliran dana liar dari penyumbang, partai, dan dana-dana pribadi kandidat. "Ada kecenderungan politik uang. Dari data yang dilaporkan, pasangan yang kalah bersaing biasanya memiliki dana kampanye lebih rendah dibandingkan pasangan yang memenangkan Pemilihan," ujar Tarko dalam diskusi "Menyoal Pendanaan Pemilu dan Pemilukada" di sekretariat Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Rabu (2/2/11).
Tarko juga menyoroti kelemahan aturan KPU terkait pengelolaan dana kampanye. "Ada sejumlah kelemahan, diantaranya, sistem pelaporan hanya diberlakukan dalam masa kampanye resmi kandidat yang secara definitif telah maju menjadi calon kepala daerah. Jangka waktunya sangat pendek, hanya 14 hari. Padahal, dana terbesar justru keluar saat sosialisasi, sebelum masa kampanye resmi dimulai," tukas Tarko.
AAGN Ari Dwipayana, S.IP, M.Si, dosen Fisipol UGM, menilai, biaya politik di Indonesia terlalu tinggi. Dana terbesar, menurut Ari, adalah biaya partai yang mencakup dana untuk konsolidasi partai. Tingginya biaya ini, memunculkan zona baru bagi transasksi antara politikus dan pengusaha. Terlebih, pengelolaan dana politik tidak transparan. "Dana politik biasanya dihimpun dan dikelola dalam jaringan personal, sehingga transparansinya rendah," ujar Ari.
Biaya politik tinggi, menurut riset ICW, memunculkan relasi patronase bisnis dan politik. Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW Abdullah Dahlan memaparkan, diperlukan sistem pengaturan dana politik untuk mendorong terbentuknya sistem politik yang terbuka, memunculkan partisipasi politik, serta persaingan yang seimbang. Sistem yang terbuka akan menghindarkan pemilih dari politik uang.
Diperlukan cara-cara efektif untuk memangkas tingginya biaya politik. Abdullah merekomendasikan beberapa langkah awal untuk mencapai titik itu, diantaranya, menggelar pemilu secara serentak. "Ini untuk memangkas biaya penyelengagraan pemilu," ujar Abdullah.
Cara lain, memfasilitasi akses yang sama bagi setiap kandidat untuk menyampaikan pesan kepada pemilih. Dalam hal ini, kampanye dibiayai oleh pemerintah, dengan menyediakan akses informasi kepada kandidat. "Pemerintah dapat memfasilitasi kampanye untuk setiap kandidat dengan porsi yang sama," pungkas Abdullah. Farodlilah