Bibit-Chandra ala Jaksa Agung
Sejak awal, niat kejaksaan menghentikan perkara Bibit-Chandra patut dipertanyakan saat mereka memilih opsi penerbitan surat ketetapan penghentian penuntutan atau SKPP untuk menghentikan kasus ini.
Kejaksaan tentu sadar, alasan penerbitan SKPP sangat sumir. Di satu sisi menurut KUHAP, dasar penerbitan SKPP harus punya alasan yuridis yang bersifat limitatif, sementara dasar pertimbangan SKPP kejaksaan adalah alasan sosiologis yang tidak dikenal dalam KUHAP.
Banyak artikel dalam harian ini antara lain dari Saudara Saldi Isra (Kompas, 21/4/ 2010), Saudara Zainal Arifin Mochtar (Kompas, 7/6/2010), serta saya sendiri (Kompas, 19/11/2009 dan 28/4/2010) mengusulkan agar Jaksa Agung mengambil langkah deponeering dengan menggunakan hak oportunitasnya untuk menghentikan kasus tersebut. Usulan ini bukan tanpa alasan mengingat Jaksa Agung dalam berbagai kesempatan menyatakan kejaksaan memiliki bukti kuat dalam perkara Bibit-Chandra dan kejaksaan telah mengeluarkan P21 yang berarti berkas perkara telah lengkap dan siap dilimpahkan ke pengadilan, tetapi karena desakan masyarakat perkara itu akan dihentikan.
Bukankah deponeering langkah paling tepat? Hal ini didasarkan pada pertimbangan utama adanya deponeering adalah demi kepentingan umum. Artinya, pertimbangan sosiologis-politis lebih dominan daripada pertimbangan hukum. Dengan deponeering, juga tidak dimungkinkan perkara dibuka kembali dengan alasan apa pun termasuk upaya praperadilan. Pejabat penegak hukum selevel Jaksa Agung tentunya sangat mafhum dengan hal ini. Ketika opsi SKPP yang dipilih untuk menghentikan kasus Bibit-Chandra, terdapat indikasi yang kuat bahwa sebenarnya kejaksaan tidak ingin menghentikan kasus tersebut melainkan memberi peluang kepada ”pihak lawan” untuk melakukan gugatan praperadilan atas SKPP yang sarat dengan kelemahan.
Perkembangan selanjutnya, Jaksa Agung telah memutuskan melakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menolak permohonan banding kejaksaan atas praperadilan Anggodo Widjojo. Alasan utama langkah PK karena terdapat kekhilafan nyata dalam putusan hakim. Pertanyaan mendasar kemudian, apakah putusan praperadilan dapat dimintakan upaya hukum PK? Apabila merujuk pada KUHAP, ini tidak secara eksplisit diatur. Untuk menentukan sesuatu yang tidak diatur, boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan, harus berdasarkan pemikiran yuridis yang logis dan sistematis terhadap aturan dalam KUHAP itu sendiri.
PK (herziening) sebagai upaya hukum luar biasa (buitengewone rechtsmiddelen) pada awalnya hanya dikenal dalam hukum acara perdata. Menurut sejarahnya, PK dalam hukum acara pidana baru dikenal pada 1930-an dalam kasus Driffus di Perancis. Berdasarkan putusan cour cassation, Driffus dijatuhi pidana karena melakukan pembunuhan berencana. Beberapa waktu kemudian terdapat bukti baru (novum) bahwa Driffus bukanlah pelaku kejahatan, kemudian mengajukan PK kepada cour supreme dan diputus bebas.
Berdasarkan KUHAP, masalah PK terdapat dalam Pasal 263 hingga Pasal 269 yang pada hakikatnya sebagai berikut. Pertama, PK adalah hak terpidana atau ahli warisnya. Kedua, putusan yang dapat dimintakan PK hanya putusan berupa pemidanaan. Ketiga, alasan mengajukan PK adalah jika terdapat bukti baru, adanya pertentangan antara pertimbangan dan putusan hakim atau adanya kekhilafan nyata dari putusan hakim. Keempat, jika PK diterima Mahkamah Agung, putusan yang boleh dijatuhkan adalah putusan bebas, lepas dari segala tuntutan, tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum atau menjatuhkan pidana yang lebih ringan (reformatio in melius). Kelima, permintaan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan.
Berdasarkan hakikat PK dan bila dihubungkan dengan putusan praperadilan Bibit-Chandra yang dimintakan PK oleh Jaksa Agung, ada beberapa catatan. Pertama, ada kesesatan berpikir jika menganggap kejaksaan memiliki legal standing untuk mengajukan PK. Ketentuan Pasal 263 KUHAP mengenai pihak yang berhak mengajukan PK sangat jelas, yakni terpidana atau ahli warisnya. Dalam konteks hukum acara pidana sebagai hukum formal berlaku asas lex stricta bahwa ketentuan hukum yang sudah tegas tak boleh diinterpretasikan lain dari yang tertulis.
Kedua, kesesatan berpikir juga terlihat jelas jika putusan praperadilan dimintakan upaya hukum PK karena dalam konteks hukum acara pidana substansi perkara yang dapat dimintakan PK hanya putusan berupa pemidanaan. Adapun kewenangan praperadilan sama sekali tidak menyangkut pokok perkara dan tak ada kaitannya dengan putusan berupa pemidanaan. Ketiga, ada kekhilafan nyata dalam putusan hakim sebagai alasan yang didalihkan Jaksa Agung untuk mengajukan PK atas putusan praperadilan, tidaklah terlepas dari putusan perkara pidana (lihat penjelasan Pasal 263 KUHAP). Padahal, sidang praperadilan tidak ada kaitan dengan pokok perkara pidana, melainkan hal-hal yang bersifat administratif dan prosedural sehingga alasan tersebut terlalu mengada-ada. Atas dasar itu, sulit jika MA akan menerima permohonan PK Jaksa Agung atas putusan praperadilan dimaksud. Terlebih, isyarat telah diperlihatkan Ketua MA Harifin A Tumpa yang menyatakan upaya hukum terakhir atas putusan praperadilan adalah banding.
Hal lain yang perlu dicermati dari upaya PK atas putusan peradilan tersebut adalah jika Jaksa Agung konsisten, dengan mengajukan PK, berarti perkara Bibit-Chandra harus diteruskan ke pengadilan karena permintaan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan. Artinya, putusan yang harus dilaksanakan di sini adalah Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dalam sidang praperadilan yang memerintahkan perkara Bibit-Chandra diteruskan ke pengadilan.
Perlu dicermati pula ketentuan Pasal 82 Ayat (1) huruf d KUHAP yang intinya menyatakan jika suatu perkara sudah mulai diperiksa pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan terkait praperadilan belum selesai, permintaan tersebut gugur. Artinya, jika perkara Bibit-Chandra sudah mulai diperiksa di pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan PK atas putusan praperadilan belum selesai, permintaan PK tersebut gugur.
Dampak lebih lanjut, Bibit-Chandra yang kini berstatus tersangka harus diberhentikan sementara sesuai UU KPK dan dua pimpinan KPK tersisa tak akan sanggup mengemban tugas pemberantasan korupsi yang begitu berat. Lengkaplah pembunuhan berencana terhadap KPK sebagai upaya sistematis melemahkan gerakan antikorupsi. Solusi konkret, Panitia Seleksi Pimpinan KPK yang sedang bekerja sudah harus mulai berpikir untuk tak memilih seorang pimpinan KPK menggantikan Antasari Azhar, melainkan memilih lima pimpinan sekaligus untuk masa jabatan empat tahun.
Eddy OS Hiariej Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 14 Juni 2010